Cerita Perjalanan Solo Backpacking (Part 1 - Menuju Ujung Timur Pulau Jawa)

Cerita sebelumnya;

Cerita Perjalanan Solo Backpacking (Sebuah Ilham)

-----

Antara Jakarta–Surabaya–Banyuwangi, 25–26 Agustus 2023

Langkah saya sempat tersendat ketika melintasi area halaman Stasiun Gondangdia. Banyak sekali manusia di tempat ini. Jam makan siang membuat warung-warung dan gerobak penjual makanan dipenuhi pegawai kantoran yang sedang beristirahat. Berjalan menyelinap, terlihat TransJakarta jurusan Pasar Senen singgah di Halte Gondangdia. Lantas saya berlari mengejar bus tersebut. Khawatir jarak dengan bus selanjutnya jauh.

Meninggalkan area Stasiun Gondangdia, nyatanya bus masih saja tersendat. Jalan di depan Masjid Cut Meutia ini dijadikan pasar kaget. Lapak pedagang dan juga pembeli memenuhi badan jalan. Di tengah pekatnya kabut polusi yang menyelimuti ibu kota, tampak pula keributan antara kurir makanan dengan seorang lelaki muda karena kurir tersebut tak sengaja menyenggol mobil mewah milik si lelaki muda. Pemilik mobil tampak begitu kesal, sedangkan kurir tak henti-hentinya mengucapkan permohonan maaf. 

Memasuki area Stasiun Pasar Senen, banyak sekali orang berlalu-lalang dengan barang bawaannya. Rombongan keluarga dengan koper besarnya. Mahasiswa yang akan kembali memasuki perkuliahan di kota rantau. Bapak-bapak kaum PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad) yang hendak melepas rindu dengan keluarganya. Lambaian tangan seorang wanita kepada pujaan hatinya. Juga orang-orang dengan tas carrier besar di punggungnya. 

"Sendiri aja, Mas?" Tanya seorang bapak paruh baya.

"Hehe. Iya, Pak." Jawab saya singkat.

"Mau ke mana, Mas?" 

"Surabaya. Bapak mau ke mana?"

"Sama, Mas. Saya mau pulang ke Surabaya. Mas-nya mau pulang juga?"

"Enggak, Pak. Mau main-main aja."

Hari itu calon penumpang Kereta Api Kertajaya hampir didominasi oleh pekerja ibu kota yang hendak kembali ke kota asalnya. Maklum saja, Jumat menjadi hari yang tepat bagi para pekerja untuk melepas rindu dengan keluarga setelah lima hari mengumpulkan rupiah. Mungkin saya hanya sebagian kecil penumpang yang tak memiliki tujuan pasti. Menjadikan Surabaya sebagai tempat singgah sebelum kembali melanjutkan perjalanan menuju ujung timur Pulau Jawa. 

Long Journey is Begin!

"Selamat datang kepada seluruh penumpang. Saat ini anda berada di Kereta Api Kertajaya yang akan menempuh jarak sekitar 718 km menuju Surabaya Pasar Turi. Selamat menikmati perjalanan anda."

Kereta Api Kertajaya

Pengumuman dari speaker kereta mengawali perjalanan sore itu. Perlahan kereta berjalan meninggalkan Stasiun Pasar Senen. Menyusuri kawasan pemukiman padat di pinggir rel hingga beberapa menit kemudian tiba di Stasiun Bekasi. Banyak penumpang yang naik dari stasiun ini. Termasuk seorang bapak muda yang duduk di sebelah saya. Cukup banyak ia bercerita mengenai dirinya yang baru saja menghadiri acara pameran barang-barang China. Barang bawaannya pun terlihat banyak. Dua buah tas besar dan satu buah tas jinjing yang berisikan barang-barang yang baru saja ia beli.

"Ini isinya barang-barang yang baru saya beli semua, Mas." Ucapnya singkat.

Memasuki daerah Indramayu, langit terlihat lebih cerah dibanding kota-kota sebelumnya. Biru sempurna dengan hiasan awan putih di beberapa titik. Berbanding terbalik dengan langit kelabu ibu kota yang diselimuti oleh kabut polusi.

Sepanjang perjalanan, kereta seringkali berhenti di stasiun-stasiun kecil. Banyak pula penumpang yang turun sejenak untuk menghisap sebatang rokok atau sekadar meluruskan kaki. Sesekali saya juga turun. Ikut bergabung dengan perkumpulan anak muda yang akan kembali ke Surabaya setelah mengunjungi keluarga mereka di Jakarta. Menghirup udara malam sambil berbincang dengan salah satu mahasiswa Unair asal Tangerang yang akan kembali ke tanah rantau.

Selepas Semarang, lampu di dalam kabin penumpang dibuat redup. Lantas suasana terasa hangat sambil menikmati pemandangan malam di luar sana. Rel kereta berdampingan dengan jalan raya yang telah sepi, hanya dilintasi beberapa truk saja. Melihat seorang ibu dan anaknya yang turun di Bojonegoro. Si anak tampak setia menunggu hingga kereta kembali berangkat. Terus memandangi kereta yang perlahan meninggalkannya, dengan seragam sekolah hari Jumat yang masih ia pakai.

Night mode

Singgah di Surabaya

Lagu Surabaya Oh Surabaya menyambut kedatangan Kereta Api Kertajaya di Stasiun Surabaya Pasar Turi. Angin malam berhembus cukup kencang. Jam menunjukkan pukul 1 dinihari. Area stasiun masih saja diramaikan oleh orang-orang yang sedang mencari peruntungan. Petugas porter yang membantu mengangkat barang-barang penumpang. Sopir ojek dan taksi yang menawarkan jasanya. Serta pedagang makanan yang masih enggan menutup lapaknya.

Stasiun Surabaya Pasar Turi

Tengah malam menyusuri jalanan Surabaya cukup membuat beban perlahan menghilang. Terlebih ketika driver gojek sengaja memperlambat kecepatannya ketika memasuki kawasan Jalan Tunjungan. Terlihat deretan pertokoan tua yang cantik di sepanjang jalan. Kemerlip lampion juga tampak menghiasi jalan. Juga dengan muda mudi yang masih betah berlama-lama menikmati malam.

"Ini namanya Jalan Tunjungan, Mas. Jalan paling legendaris di Surabaya." Ucap driver gojek.

Malam itu saya putuskan untuk bermalam di Tab Capsule Hotel Kayoon. Sebuah hotel capsule yang tak jauh dari Stasiun Surabaya Gubeng dengan biaya Rp110.000 per malam. Niat awal beristirahat di halaman Stasiun Surabaya Pasar Turi saya urungkan, mengingat kereta ke arah Banyuwangi yang saya tumpangi baru akan berangkat dari Stasiun Surabaya Gubeng sekitar pukul 2 siang. 

Istirahat di hotel capsule sangat nyaman. Tempat ini cocok bagi para solo backpacker untuk menghemat pengeluaran. Terlebih bagi mereka yang hanya butuh tempat untuk tidur atau sekadar meluruskan badan.

Tujuh jam terlelap, saya terbangun sekitar pukul 9 pagi. Buru-buru mandi dan merapikan barang, kemudian bergegas meninggalkan hotel. Berjalan menyusuri trotoar sambil memantau aplikasi google maps. Sedikit mencari tempat yang sekiranya asyik untuk dikunjungi. Monumen Kapal Selam (Monkasel) menjadi pilihan pertama karena lokasinya ternyata tak jauh dari tempat saya bermalam.

Setelah membayar tiket masuk Rp15.000, saya langsung diarahkan masuk ke dalam kapal selam yang bernama KRI Pasopati. Kapal selam ini merupakan saksi sejarah dalam merebut Irian Jaya dari cengkraman Belanda di Laut Arafuru pada 1962.

KRI Pasopati dengan latar langit cerah

Memasuki bagian dalam kapal, seorang petugas menyambut ramah. Mempersilahkan para pengunjung untuk mendokumentasikan atau sekadar melihat bagian-bagian kapal yang terdiri dari ruang mesin, ruang komunikasi, ruang torpedo haluan, dan beberapa bagian lainnya.

Meninggalkan kawasan Monkasel, saya berjalan menuju pemberhentian bus terdekat. Berbekal peta transportasi umum yang saya dapatkan dari sini, saya berniat mengunjungi Jalan Tunjungan dengan menumpang Suroboyo Bus—semacam TransJakarta-nya Surabaya. 

Suroboyo Bus

Menyusuri pedestrian Jalan Tunjungan di siang hari bukanlah hal yang buruk. Naungan pepohonan rindang cukup menghalau teriknya sinar matahari. Belum lagi bangunan-bangunan lawas yang memanjakan mata. Cafe-cafe ala vintage yang tersebar di sepanjang jalan. Cantik sekali.

Salah satu bangunan lawas di Jalan Tunjungan

Salah satu cafe di Jalan Tunjungan

Be a solo backpacker

Salah satu sudut Jalan Tunjungan

Hal unik lainnya adalah lampu lalu lintas bagi pejalan kaki yang hendak menyebrang jalan ini. Jika lampu berwarna hijau, maka terdengar senandung lagu keroncong "Semanggi Suroboyo" dan kemudian para pejalan kaki dipersilahkan menyebrang.

"Semanggi Suroboyo, lontong balap Wonokromo..."

Sri Tanjung dan Hangat Obrolan di Atasnya

Beberapa jam singgah di Surabaya, saya kembali melanjutkan perjalanan menuju Banyuwangi dengan menumpang Kereta Api Sri Tanjung, kereta legendaris yang menghubungkan antara Yogyakarta–Surabaya–Banyuwangi. Keretanya para backpacker yang dulu sering saya baca ulasannya di forum semboyan35.com ataupun catatan perjalanan para travel blogger.

Menuju Banyuwangi

Saya duduk di kursi dengan susunan 2-2 yang saling berhadapan. Belum banyak penumpang yang naik selepas kereta meninggalkan Stasiun Surabaya Gubeng. Di susunan kursi sebelah, tampak seorang pemuda dan ibu paruh baya sedang berbincang. Sambil menunjukkan foto seorang bayi, sang ibu antusias bercerita terkait kunjungan menjenguk cucu pertamanya.

Memasuki Probolinggo, banyak bule yang naik dari stasiun ini. Perkiraan saya mereka baru turun dari Bromo dan akan melanjutkan perjalanan menuju Ijen dan Bali.

Banyak bule yang naik dari Probolinggo

"Saya naik dari Probolinggo isinya bule semua, Mas. Kayaknya saya doang deh yang orang lokal." Ucap ibu di depan saya yang baru naik dari Probolinggo.

Kereta terus berjalan ke arah timur. Banyak berhenti di stasiun kecil dan beberapa kali bersilang dengan kereta lain yang menyebabkan kereta harus berhenti cukup lama. Namun momen seperti ini dimanfaatkan penumpang untuk merokok ataupun menikmati suasana sekitar stasiun yang masih alami. Sesekali saya juga berbincang dengan bapak-bapak yang sama-sama sedang menunggu persilangan di Stasiun Grati. Beberapa dari mereka sedang melakukan perjalanan sambang ke rumah keluarga mereka di Banyuwangi. Juga salah satu lelaki muda yang hendak pulang kampung ke Temuguruh setelah sekian lama hidup di Maluku.

"Kangen rumah, Mas. Udah lama banget gak pulang. Sekalinya pulang cuma sebentar, hari Senin langsung ke Maluku lagi."

Persilangan di Stasiun Grati

Berhenti di Stasiun Tanggul

Selepas Jember, kereta mulai lengang. Banyak penumpang yang turun di kota ini. Tak terasa langit perlahan mulai gelap. Deru roda kereta menyusuri Pegunungan Gumitir. Melintasi dua terowongan legendaris, Mrawan dan Grahan. 

"Turun di mana, Mas?" Tanya ibu di depan saya yang naik dari Probolinggo.

"Banyuwangi Kota. Ibu turun di mana?" Tanya saya penasaran.

"Kalisetail, Mas. Mau sambang keluarga di sana. Mas-nya mau jalan-jalan, ya?"

"Hehe. Iya, Bu. Mau main-main aja."

"Wah seru. Kalau lagi di Banyuwangi jangan lupa ke Ijen, ya."

Obrolan yang awalnya hanya basa-basi, perlahan menjadi lebih hangat. Seorang ibu yang tinggal di Sidoarjo ini bercerita tentang anaknya yang ternyata juga sama seperti saya, kuliah di fakultas pendidikan, hanya saja berbeda jurusan. Namun sayang, kelulusan anaknya masih harus tertunda karena ada sedikit permasalahan. Si ibu juga bercerita banyak hal. Tentang sistem penggajian guru di Surabaya, pendidikan yang ada di Jawa Timur, tentang dirinya yang pernah merantau ke Bali, dan lain sebagainya. Kami juga berbagi cerita tentang orang-orang yang melakukan perjalanan jauh. Orang-orang yang sering naik turun gunung dan menyusuri berbagai tempat indah. Juga cerita tentang tetangga ibu tersebut yang 'ketempelan' setelah turun dari Gunung Penanggungan dan tak lama kemudian meninggal.

"Mas-nya setelah ini mau lanjut PPG–Program Profesi Guru, nggak? Anak saya tertarik, tapi sayang dia belum lulus." Tanya si ibu lagi.

Obrolan terasa lebih intim ketika si ibu menyinggung perihal PPG. Program profesi yang menjanjikan kesejahteraan bagi para calon guru, namun banyak sekali persoalan dan dilema di dalamnya. Terlebih bagi mahasiswa angkatan 2019 seperti saya yang ijazahnya belum keluar, sedangkan waktu pendaftaran akan segera ditutup. Ah, semoga saja kabar baik terkait karir selalu menghampiri saya dan juga anak si ibu tersebut. 

Sesekali saya juga mengobrol dengan dua orang bule asal Italy, Lidia dan Eleonora. Gadis cantik yang baru saja turun dari Bromo itu akan melanjutkan trekking ke Ijen dan kemudian langsung menuju Bali. Ibu di depan saya dan beberapa orang di sekitar hanya bisa tertawa menanggapi obrolan kami. Apalagi ketika saya mulai kebingungan dengan bahasa Inggris dan langsung membuka google translate.

Bersama Lidia dan Eleonora

Memasuki Kalisetail, ibu di depan saya mempersiapkan barang bawaannya dan bergegas turun. Saling berjabat tangan dengan saya dan dua orang bule di kursi sebelah. Penumpang sekitar yang hendak turun pun ikut-ikutan berjabat tangan. Ah, seru sekali bisa saling berbaur di kereta ekonomi.

"Sukses ya, Mas. Hati-hati di jalan." Ucap ibu tersebut.

Sekitar pukul 8 malam, Kereta Api Sri Tanjung tiba di Stasiun Banyuwangi Kota. Cukup banyak penumpang yang mengakhiri perjalanan di stasiun ini. Orang-orang dari berbagai penjuru dunia dengan tas carrier di punggungnya yang begitu tertarik dengan kota cantik di ujung timur Pulau Jawa ini.

Stasiun Banyuwangi Kota

Bersambung...

Cerita Perjalanan Solo Backpacking (Part 2 - Banyuwangi; Mutiara dari Timur)

Posting Komentar

0 Komentar