Cerita Perjalanan Solo Backpacking (Part 5 - Akhir yang Mengesankan)

Cerita Sebelumnya;

Cerita Perjalanan Solo Backpacking (Part 4 - Pendakian Gunung Agung via Taman Edelweis)

-----

Antara Bali–Jakarta, 3–5 September 2023

Setelah membersihkan diri di toilet basecamp, saya bergegas menuju parkiran. Memanaskan motor sambil memandangi beberapa momen perpisahan. Seorang pendaki asal Bekasi dengan gayanya yang nyentrik—memakai kaos bertuliskan tahanan rumah sakit jiwa dan dengan gaya rambut berantakan—terlihat melambaikan tangan ke beberapa pendaki lain. Pendaki yang sepanjang perjalanan turun berdampingan dengan saya tersebut buru-buru mengejar penerbangan pukul 20.00 dan kembali ke pekerjaan kantor keesokan harinya. Bang Arbi, Bang Uston, Bang Sadam, dan Bang Abi juga berpamitan lebih dulu—padahal mereka berjalan turun di belakang saya. Juga seorang pendaki asal Depok yang sebelumnya tak sengaja saya temui saat menuju Campsite. Ia terlihat berdiskusi dengan pemuda desa mengenai rute terbaik menuju salah satu desa di Bali Utara. Tak mau menyebutkan tujuannya, ia hanya berpamitan dan melambaikan tangan kepada saya.

"Gua duluan, Bang. Next time semoga bisa ketemu di pendakian yang lain, ya!" Ucapnya sedikit berteriak sambil perlahan meninggalkan basecamp.

Agak terharu dengan momen tersebut, saya pun beranjak meninggalkan Basecamp Taman Edelweis. Chandra dan Laksmi tampak bergurau sambil berebut mendapatkan jatah uang parkir. Sial, lucu sekali mereka.

"Dadah, Kakak!" Teriak mereka ketika saya mulai meninggalkan basecamp.

Sore itu desa di bawah Taman Edelweis tampak berkabut. Terlihat beberapa orang dengan pakaian adat sedang melakukan persembahyangan di sebuah pura. Saling sapa kemudian mereka memberikan senyum.

Menuruni pegunungan ke arah selatan, saya menyempatkan diri untuk sholat di salah satu masjid di daerah Semarapura. Masjid adalah hal yang sulit ditemukan di pedesaan Bali, kebanyakan hanya ada di pusat kota seperti Denpasar, Semarapura, Gianyar, Bangli, dan beberapa lainnya.  

Sama seperti Gianyar dan Bangli—dan mungkin beberapa kota kecil lainnya di Bali—yang sebelumnya pernah saya lalui, Semarapura sore itu tampak begitu tenang. Kawasan perniagaan terlihat banyak yang sudah tutup. Beberapa orang tampak menikmati sore di sebuah simpang jalan yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah patung kearifan lokal. 

Kembali ke Denpasar dengan menyusuri Bypass Ida Bagus Mantra, tak sadar ternyata hari perlahan mulai gelap. Buru-buru memulangkan peralatan mendaki yang saya sewa di daerah Monang Maning dan kemudian mengembalikan motor sewaan di daerah Kuta.

Bergegas menuju Terminal Ubung, ternyata jalanan Denpasar saat itu padat. Orang pulang kerja ditambah wisatawan yang akan kembali ke kota membuat perjalanan menjadi terhambat. Belum lagi lampu merah yang hampir ada di setiap simpang jalan.

"Pak agak ngebut, ya. Saya lagi ngejar bus arah Gilimanuk yang berangkat jam 8." Ucap saya ke driver grab.

Pertemuan dengan Thomas dan Pak Made

"Bus Sehati udah jalan, Mas. Kira-kira 5 menit yang lalu." Ucap salah satu calo ketika saya tiba di Terminal Ubung. Sial! Malam itu saya tertinggal bus terakhir ke arah Gilimanuk.

"Naik yang ini aja, nanti berangkat jam 9. Barang-barangnya boleh simpan di atas dulu." Tambahnya sambil menunjuk salah satu bus bernama Yusa Darmadi.

"Beneran berangkat nih, Pak?" Tanya saya tak percaya.

"Iya tunggu aja, Mas. Baru ada 3 penumpang." Jawabnya lagi.

Jawaban dari salah satu calo cukup membuat lega karena beberapa orang di berbagai media sosial mengatakan kalau bus dari Terminal Ubung ke Gilimanuk terakhir berangkat pukul 8 malam, bahkan ketika sedang turun dari Gunung Agung ada seorang pendaki lain yang mengatakan bahwa bus terakhir dari Terminal Ubung berangkat pukul 6 sore dan ia menyarankan saya untuk menunggu bus arah Jawa di Jalan Cargo.

Sambil menunggu keberangkatan, saya melipir di salah satu warung di sudut terminal. Membeli sebotol minumanan dingin kemudian duduk di emperan. Seorang bule yang sedang menyantap popmie di hadapan saya memberi senyum terlebih dahulu kemudian saling berbasa-basi menanyakan asal dan tujuan. Ia juga sedang menunggu keberangkatan bus menuju Gilimanuk. Awalnya saya sempat salah memahami bahasa yang diucapkannya, namun ternyata ia sedang menjalani program magang di salah satu koperasi penghasil cokelat di daerah Melaya, sebuah desa beberapa kilometer sebelum Gilimanuk.

Obrolan perlahan semakin seru ketika ia bercerita bahwa ia baru saja pulang dari Labuan Bajo. Ia juga cukup penasaran dengan perjalanan saya mendaki Gunung Agung. Jadilah kami saling menunjukkan foto-foto perjalanan kami. Memperlihatkan keseruan selama di Labuan Bajo dan Gunung Agung.

"What's your name, bro?" Tanya saya setelah cukup lama berbagi cerita.

"Oh, i'm sorry. I am Thomas, and you?" Agaknya ia meminta maaf karena kami belum kenalan dari awal.

"I am Hilmi."

Thomas

Di sela-sela obrolan, pemilik warung yang bernama Pak Made juga ikut nimbrung. Ternyata ia lahir di sebuah desa di kaki Gunung Agung. Dulunya pun bekerja sebagai tour guide yang mengantar wisatawan asing mendaki Gunung Agung. 

Pak Made

"Kampung saya itu di Gunung Agung." Ucapnya dengan logat Bali yang khas.

"Dulu saya sering antar bule-bule ke sana lewat Pura Pasar Agung. Jalurnya parah itu." Tambahnya lagi.

Obrolan pun menjadi semakin seru, terlebih ketika Thomas menanyakan seputar Gunung Agung yang menurut teman-temannya berbahaya. Pak Made pun sedikit membantahnya dan mengatakan kalau Gunung Agung sudah biasa didaki oleh orang lokal maupun asing. Ia juga memberikan referensi tempat liburan lainnya kepada Thomas dengan bahasa inggris yang fasih. Memang kemampuan bahasa Inggris orang Bali menurut saya patut diacungkan jempol.

Pembahasan pun berubah menjadi sebuah topik tentang Pulau Bali yang aman bagi siapa pun. Pak Made menceritakan kisahnya beberapa tahun silam ketika barang bawaan salah satu mahasiswa yang sedang menunggu bus tertinggal di warungnya. Barang tersebut pun masih ia simpang hingga saat ini. 

"Masih saya tunggu orangnya buat ambil barangnya ke sini." Ucap Pak Made.

Ia juga bercerita tentang usaha produksi arak bali miliknya yang sukses. Hingga saat ini ia punya banyak langganan tetap dari berbagai daerah, khususnya sopir bus antar kota antar provinsi.

"Kami nggak berani tipu-tipu, entah itu ke pelanggan atau orang luar yang liburan. Kalau nggak gitu, nanti Bali nggak dipercaya lagi sama orang luar." Tambah Pak Made. Thomas yang kemampuan bahasa Indonesianya minim hanya bisa tertawa.

"Kalau nggak gitu, nanti Bali nggak dipercaya lagi sama orang luar." Omongan Pak Made ini seketika mengingatkan dengan kejadian tertinggalnya tas saya beberapa hari sebelumnya. Terlepas dari cerita buruk para pelancong yang dulu sering transit di terminal ini, mungkin benar kalau orang-orang Bali kini berusaha menjaga kepercayaan dari orang luar, selain tentunya mereka juga teguh terhadap kepercayaan karma. 

Mendekati pukul 9, saya dan Thomas berpamitan dengan Pak Made. Saling bersamalam satu sama lain dan bergegas naik ke atas bus.

"Hati-hati, ya! Kapan-kapan mampir ke sini lagi." Ucap Pak Made sambil tersenyum.

Beranjak memasuki bus, sopir berkata bahwa bus miliknya tak jadi berangkat malam itu karena kekurangan penumpang. Ia mengoper kami ke sebuah bus non-ac yang ukurannya lebih kecil..

"Mohon maaf dan maklum, ya. Naik bus sebelah aja, nanti berangkat jam 10." Ucapnya.

"Santai aja, Pak. Saya juga masih nunggu kereta dari Banyuwangi jam 7, kok. Makanya nggak terlalu buru-buru." Molornya keberangkatan bus setidaknya membuat saya tak harus lama menunggu keberangkatan kereta di Stasiun Ketapang.

Segera saya dan Thomas memindahkan tas ke dalam sebuah bus rombeng berwarna biru. Udara pengap membuat kami memilih menunggu di luar. Berbagi cerita sambil menghisap sebatang tembakau lokal. Thomas bercerita tentang dirinya yang menyukai sepak bola dan setiap sore tak pernah absen menonton liga tarkam di Melaya.  Tentang dirinya yang lumayan kepo dengan perkuliahan saya. Juga banyak hal lain yang membuat kami seakan-akan seperti teman lama.

Bus tua (1)

Bus usang (2)

"Kamu tidak rindu rumah?" Tanya saya dalam bahasa Inggris.

"Tentu rindu, rindu keluarga, teman-teman, dan yang paling kurindukan adalah makanan Prancis. Di sini semua serba nasi, nasi, dan nasi." Jawabnya dalam bahasa Inggris.

"Aku sebentar lagi juga pulang ke negaraku. Ini sudah memasuki bulan ke-3 magang dan awal Oktober nanti akan kembali ke Prancis." Tambahnya lagi.

Larut dalam obrolan hangat, sekitar pukul 22.30 bus perlahan meninggalkan Terminal Ubung dengan membawa 8 orang penumpang. Bus usang yang awalnya saya kira bakal berjalan lambat ternyata langsung tancap gas. Bergerak ke ujung barat pulau dengan ditemani sepoi angin malam.

Belum 2 jam terlelap, saya terbangun karena beberapa penumpang yang turun. Ternyata bus telah memasuki Kota Negara. Thomas tampaknya begitu serius memperhatikan jalan, khawatir tempat tujuannya terlewat. Saya bantu bilang ke sopir untuk menurunkannya di GOR Melaya menggunakan bahasa Indonesia, ia sedikit lega karena ternyata perjalanan masih sekitar 15 menit lagi.

Beberapa menit berlalu, sopir menepikan bus di sebuah koperasi kecil tempat Thomas magang. Sebelum berpisah, saya dan Thomas bersalaman lalu saling merangkul. Melambaikan kedua tangan kemudian perlahan bus meninggalkannya. Ah, rupanya saya baru saja melewati bagian paling menyebalkan; sebuah perpisahan.

"Be careful and success for you, Thomas!" 

Untung Ada Mas Nur

Menjelang tujuan akhir, saya berkenalan dengan Mas Nur, seorang pria yang kira-kira usianya 5 tahun di atas saya. Kami berdua menjadi penumpang terakhir di bus itu dan sama-sama hendak menyebrang ke Pulau Jawa.

Sopir menurunkan kami beberapa ratus meter sebelum pintu masuk pelabuhan. Berjalan santai melewati deretan ruko yang telah tutup. Menyusuri trotoar yang sepi tanpa ada siapa pun selain kami. Sambil berjalan, Mas Nur menceritakan sisi gelap pelabuhan; preman, calo, dan sebagainya. Segera kami mempercepat langkah ke arah dermaga.

"Untung kita bareng, Mas. Kalo enggak kayaknya nyali saya bakal ciut lewatin jalan ini. Haha." Ucap saya kepada Mas Nur.

Setelah membeli tiket via aplikasi ferizy, kapal yang kami naiki perlahan meninggalkan Pelabuhan Gilimanuk. Sepanjang perjalanan kami habiskan dengen bercerita. Mulai dari kesibukan sehari-hari hingga cerita tentang sisi gelap kota asal kami.

Satu jam berlalu, kapal mulai bersandar di Pelabuhan Ketapang. Syukurlah, kami tiba di Pulau Jawa dengan selamat. Kami langsung berjalan menuju area Stasiun Ketapang dengan yang letaknya berdekatan.

Waktu masih menunjukkan pukul 02.30, ternyata cukup banyak orang yang beristirahat di halaman stasiun. Beberapa tertidur di kursi, beberapa lainnya merebahkan badan di lantai. Mencoba coba untuk terus terjaga, akhirnya kami terlelap. Hampir 1 jam tidur sambil bersandar tembok, kami terbangun dengan suara pujian subuh yang terdengar dari masjid sekitar. Segera kami beranjak menuju masjid. Menunggu waktu shalat sambil merebahkan badan di sana.

Cukup banyak yang istirahat di Stasiun Ketapang

Lagi-lagi Seperti Bertemu Teman Lama; Bang Abi dan Bang Najib

Selepas subuh, Mas Nur memilih istirahat di stasiun, sedangkan saya lebih memilih bebersih kemudian merebahkan badan di halaman masjid. Masih di halaman masjid, terlihat seseorang dengan barang bawaan banyak yang juga sedang beristirahat. Sebuah pertanda kalau sepertinya ia sedang melakukan perjalanan jauh.

"Lagi nunggu kereta juga, Bang?" Tanya saya memberanikan diri.

"Iya. Abangnya juga? Dari mana mau ke mana, Bang?"  Jawabnya sambil kembali menanyakan beberapa hal.

"Iya Bang lagi nunggu Sri Tanjung yang berangkat jam 7. Saya dari Bali mau pulang ke Bogor. Abang dari mana?" Jawab saya menjelaskan.

"Sama dong, saya juga dari Bali, ini mau pulang ke Indramayu." Jawabnya.

"Sendiri aja, Bang?" Tanya saya lagi.

"Sendiri, tapi tadi di stasiun ketemu orang yang dari Bali, dia dari Bogor juga, Bang. Nah, itu orangnya." Jawabnya sambil menunjuk seseorang yang baru saja sholat.

Seketika pagi itu diwarnai oleh cerita dan obrolan hangat antara kami bertiga. Bang Abi, pria asal Indramayu ini baru saja menyelesaikan perjalanan solo backpacker ke Nusa Penida selama 5 hari. Ia menceritakan keseruan perjalanannya. Mulai dari tidur di emperan toko, jalan kaki dari Terminal Ubung ke Sanur, dan yang membuatnya berkesan ketika kembali ke Pelabuhan Gilimanuk ia dipertemukan dengan orang baik yang membayarkan ongkos bus.

Bang Abi dan Bang Najib yang sama-sama sedang istirahat di masjid dekat stasiun

"Gua di jalan ketemu sama orang baik terus. Pernah jalan kaki ke Sanur, pas di tengah jalan mampir ke pemancingan dulu buat liat keseruan di sana, ngobrol sama bapak-bapak ternyata dia juga orang Indramayu, akhirnya gua dianterin sampe Sanur. Tadi juga ke Gilimanuk gua dibayarin ongkosnya sama ibu-ibu. Alhamdulillah banget pokoknya." Cerita Bang Abi.

Cerita juga datang dari Bang Najib, pria asal Bogor yang sedang mengisi libur semester dengan bekerja dan berlibur di Bali. 

"Gua sebulan di Bali. Bantu-bantu sodara kerja di Semarapura sambil beberapa kali liburan di Nusa Penida. Ini tadi lagi jalan dari pelabuhan ke stasiun nggak sengaja ketemu Bang Abi, dia yang nyapa duluan dan akhirnya kita berdua sama-sama istirahat di depan stasiun. Dia tidurnya beneran ngemper di lantai, haha." Cerita Bang Najib.

"Kenapa kita baru ketemu sekarang, ya? Kenapa nggak di Bali aja? Kan enak bisa liburan bareng." Celetuk salah satu dari kami.

"Haha. Bener juga, ya." Kami pun tertawa.

Sambil bertukar akun instagram, kami saling memperlihatkan foto-foto liburan kami. Perbincangan pun semakin meluas, tak hanya tentang liburan, tapi juga seputar perkuliahan dan pekerjaan. Bang Abi, mahasiswa semester akhir yang sebentar lagi memperjuangkan kelulusannya. Bang Najib, mahasiswa yang tampaknya masih disibukkan dengan kegiatan organisasi. Juga obrolan tentang kota asal kami masing-masing.

Tak terasa hari telah terang. Sekitar pukul 6 kami bergegas mencari sarapan di halaman stasiun.

Pagi itu kami menyantap sebungkus nasi dengan isian ayam suwir, mie goreng, potongan telur balado, tempe orek, sambal, dan tentunya kerupuk. Makanan yang hampir mirip dengan nasi jinggo ini dijual setiap pagi oleh beberapa pedagang keliling di area Stasiun Ketapang. Harganya pun terjangkau, hanya Rp6.000.

"Ini pada naik kereta yang jam 7?" Tanya Bang Abi sambil mengunyah.

"Gua jam 7." Jawab saya singkat.

"Gua juga jam 7. Sri Tanjung. Emang kenapa, Bang?" Jawab Bang Najib sambil kembali melempar pertanyaan.

"Gua naik kereta yang jam 4 sore. Probowangi." Ucap Bang Abi sambil tertawa kecil.

"Anjir masih lama cok." Sontak kami semua tertawa mendengar Bang Abi yang ternyata masih harus menunggu 9 jam lagi. 

Sambil tertawa, kami merekomendasikan Bang Abi untuk meng-explore Banyuwangi terlebih dahulu. Ia pun tertarik dan berencana akan mencari tempat rental motor di sekitar stasiun.

Kenyang menyantap sarapan, kami langsung menuju salah satu tempat rental motor yang disarankan oleh ibu penjual nasi bungkus. Letaknya tak jauh dari Stasiun Ketapang, hanya selemparan batu saja. 

Setelah negosiasi dan agak ribet merapikan barang Bang Abi yang cukup banyak, pemilik rental motor tampak bingung dengan kami bertiga.

"Loh, ini yang rental motor cuma 1 aja? Yang lain kok enggak?" Tanya pemilik rental heran.

"Iya dia aja yang rental, Pak. Soalnya dia salah jadwal kereta. Kami berdua naik kereta yang jam 7, dia naik yang jam 4." Celetuk Bang Najib yang membuat kami semua tertawa.

Persetan dengan Perpisahan

Sebelum kembali ke stasiun dan Bang Abi beranjak pergi, kami bertiga mengabadikan momen ini. Saling berjabat tangan yang diikuti oleh rangkul hangat layaknya melepas kepergian sahabat lama. Sama-sama melambaikan tangan kemudian meninggalkan tempat rental motor tersebut. Ah sial, lagi-lagi saya harus merasakan bagian yang paling menyebalkan; sebuah perpisahan.

Foto sebelum berpisah dan kembali ke kota masing-masing

Memasuki area stasiun, saya kembali bertemu dengan Mas Nur. Saat itu pula kami mengucapkan salam perpisahan karena gerbong yang kami naiki berjauhan.

Stasiun Ketapang (1)

Stasiun Ketapang (2)

Bergerak meninggalkan Banyuwangi, tak banyak hal yang saya lakukan di atas kereta. Hanya sesekali mendengarkan cerita sepasang suami istri paruh baya asal Rogojampi yang duduk berhadapan dengan saya. Turun sejenak ketika kereta berhenti cukup lama di Probolinggo kemudian memejamkan mata hingga tak sadar kereta telah memasuki Kota Surabaya.

Stasiun Probolinggo

Saya dan Bang Najib berpisah ketika kereta yang kami tumpangi tiba di Stasiun Surabaya Gubeng. Ia tetap melanjutkan perjalanan hingga Yogyakarta dan kemudian kembali ke Bogor menggunakan bus. Persetan! Lagi-lagi saya harus merasakan bagian paling menyebalkan; sebuah perpisahan.

"Kapan-kapan ketemu lagi, ya! Sukses buat kita."

Sepi itu Indah, Percayalah!

Cukup lelah dengan perjalanan BanyuwangiSurabaya, ditambah dengan beberapa momen perpisahan, sesampainya di Surabaya saya memilih untuk diam. Hanya mendengarkan cerita orang tanpa banyak komentar. Mulai dari cerita ibu pemilik warung pecel di depan Stasiun Gubeng hingga driver grab yang mengantarkan saya ke Stasiun Pasar Turi.

Pukul 16.05, Kereta Api Gumarang yang saya tumpangi bergerak meninggalkan Kota Surabaya. Ada hikmah di balik tak mendapatkan tiket KA Airlangga—kereta ekonomi jurusan SurabayaJakarta yang paling murah. Saya tak perlu duduk tegak dan berhadapan selama 12 jam. Hanya perlu duduk santai di gerbong kelas bisnis yang nyaman dengan waktu tempuh yang lebih cepat.

Gerbong bisnis KA Gumarang

Perjalanan pulang saya gunakan sepenuhnya untuk istirahat, terlebih kursi di sebelah saya kosong. Menikmati senja di balik jendela kereta kemudian terlelap ketika hari mulai gelap sambil menikmati alunan musik Banda Neira - Hujan di Mimpi.

"Sepi itu indah, percayalah. Membisu itu anugerah."

Selesai.

-----

Ucapan Terima Kasih

12 days of solo backpacking was done; Jakarta-Surabaya-Banyuwangi-Bali.

Kembali menikmati langit biru tanpa polusi, gemerlap bintang di tengah kegelapan Hutan Ijen dan Gunung Agung, ngemper di Stasiun Ketapang, makan nasi jinggo biar hemat, tidur di hotel capsule yang per malamnya cuma 87k, jalan kaki dan naik bus Trans Metro Dewata untuk mengepress budget, numpang di rumah singgah biar bisa tidur gratis, dan yang paling epic adalah menapaki puncak tertinggi Bali; Gunung Agung 3142 mdpl, walau ternyata budget semakin bengkak.

Terima kasih kepada teman-teman dan keluarga baru yang membuat perjalanan ini menjadi lebih berwarna. Lidia dan Eleonora; Ibu-ibu di KA Sri Tanjung; Mas Rahmat yang telah memberikan tumpangan tidur gratis; Pak Iskandar; Bang Alwi dan Kak Nabila; Mas Adit dan Mbak Siska; Keluarga Pak Wayan di Penglipuran; Bang Soleh dan seluruh staff Capsule Inn Bali; Bang Tomy, driver grab yang membagikan banyak cerita tentang Bali dan Lombok; Kak Tia yang membantu membulatkan tekad ke Gunung Agung; Teman-teman pendakian Gunung Agung, khususnya Bang Arbi, Bli Ardiyasa, dan Bli Mika; Bli Yudha dan Bli Komang yang telah membantu pendakian; Thomas dan Pak Made; Mas Nur; Bang Abi dan Bang Najib; Juga banyak pihak yang tak bisa disebutkan satu per satu.

Sungguh, sebuah perjalanan seorang diri tapi tak selamanya sendiri.

-----

Tips dan Detail Pengeluaran

  • Jakarta–Surabaya (KA Kertajaya) Rp275.000. Sebenarnya ada opsi KA Airlangga Rp104.000, tetapi saya tak kebagian tiket.
  • Surabaya–Banyuwangi (KA Sri Tanjung) Rp88.000. Opsi lain KA Probowangi Rp56.000, lagi-lagi saya tidak kebagian tiket.
  • Pembelian tiket dan info lebih lanjut tentang kereta api silakan download "Access by KAI." Saran saya kalau mau mendapatkan tiket murah jangan booking dadakan, paling lambat H-7.
  • Tab Capsule Hotel Kayoon Surabaya Rp110.000. Opsi lain bisa menunggu kereta arah Banyuwangi di Stasiun Gubeng atau Pasar Turi.
  • Rumah Singgah Banyuwangi tidak dipungut biaya. Silakan hubungi Mas Rahmat (081231973933)
  • Opsi lain ada beberapa penginapan murah di area Stasiun Ketapang dan Banyuwangi Kota seperti Subur Homestay, Sritanjung Homestay, Olivia Homestay, dan Ijenbackpacker.
  • Rental motor di depan Stasiun Banyuwangi Kota Rp100.000 per hari. Opsi lain di depan Stasiun Ketapang Rp75.000.
  • Bensin di Banyuwangi Rp25.000.
  • HTM Baluran plus parkit Rp23.500.
  • Open Trip Ijen via Mas Rahmat Rp200.000 sudah include transportasi pp, guide, air mineral, masker respirator, dan headlamp. Opsi lain bisa cek instagram @amazingbanyuwangi.
  • Tiket Ketapang–Gilimanuk Rp10.500, pembelian via aplikasi ferizy.
  • Bus Gilimanuk–Denpasar Rp60.000 (Sehati), kalai booking dulu Rp50.000. Opsi lain naik bus apa saja ke arah Denpasar, tiket antara Rp50.000–Rp70.000.
  • Rental motor 4 hari di Bali Rp280.000 plus biaya antar jemput ke hotel Rp20.000. Silakan cek instagram @yoko_sewamotordibali.
  • Bensin di Bali selama 4 hari Rp60.000.
  • HTM Desa Penglipuran Rp25.000.
  • Tari kecak Rp135.000 (via shopee) plus HTM Uluwatu Rp30.000.
  • HTM wisata di Bali rata-rata Rp5.000–Rp30.000, bahkan ada yang gratis (Bukit Campuhan).
  • Open trip Gunung Agung Rp700.000. Silakan cek instagram @rajarimba_adventure.
  • Fyi, Gunung Agung dan hampir semua gunung di Bali saat ini menerapkan aturan wajib guide yang biayanya Rp800.000. Selain ikut open trip, opsi lain supaya lebih murah adalah mencari teman barengan  untuk patungan guide, biaya per orangnya cuma kisaran Rp150.000–Rp200.000.
  • Ongkos Trans Metro Dewata Rp4.400. Waktu itu saya naik bus ini selama 2 hari (4 kali trip), bulatkan saja menjadi Rp20.000
  • Capsule Inn Bali 5 malam Rp435.000 (per malam Rp87.000) via aplikasi Traveloka.
  • Ongkos pulang Denpasar–Gilimanuk Rp60.000.
  • Kapal Gilimanuk–Ketapang Rp10.500.
  • Banyuwangi–Surabaya (KA Sri Tanjung) Rp88.000.
  • Surabaya–Jakarta (KA Gumarang) Rp320.000.
  • Referensi makan murah di Bali dan Banyuwangi bisa makan di warung jawa atau nasi tempong yang rata-rata sekali makan Rp10.000–Rp12.000. Kalau mau lebih murah bisa makan nasi jinggo yang per bungkusnya Rp5.000. Silakan disesuaikan dengan selera dan kemampuan.
  • Biaya total tanpa makan Rp3.075.500
  • Biaya di atas dapat lebih murah jika merencanakan perjalanan dari jauh-jauh hari sehingga bisa mendapatkan biaya transportasi yang paling murah. 
Semoga cerita dan tulisan di atas bisa menjadi referensi. Terima kasih dan selamat berlibur!

Posting Komentar

0 Komentar