Antara Malang–Surabaya dan Cerita di Dalamnya

Berawal dari salah satu postingan instagram @kai121_, saya dan Bang Abi—teman baru yang tak sengaja bertemu di Banyuwangi pada perjalanan backpacking beberapa waktu lalu—berencana untuk berburu promo tiket kereta ekonomi yang dibandrol dengan harga Rp50.000 untuk semua tujuan. Segera kami menyusun rencana dan menentukan tanggal yang cocok. Jogja di akhir pekan merupakan pilihan tepat bagi kami berdua.

Sayangnya, setelah antri hampir 6 jam di salah satu booth penjualan tiket KAI Expo, tiket tujuan Jogja—terutama di akhir pekan—telah habis semua. Hanya ada tiket jurusan lain yang waktunya kurang cocok untuk kami berdua. Terpaksa kami harus membatalkan rencana ini.

Namun jiwa impulsif mengarahkan saya untuk mengambil tiket promo Jakarta–Malang dan Surabaya–Jakarta yang masing-masing tiketnya dibandrol Rp50.000. Walau perjalanan ini sangat singkat—sampai di Malang pagi hari dan sore hari langsung kembali ke Jakarta via Surabaya, tapi setidaknya saya beruntung bisa mendapatkan promo tiket murah ketika tiket normal harganya semakin tak masuk akal.

----------

Antara Jakarta–Malang–Surabaya, 2–3 Oktober 2023

----------

Pasar Senen, How Are You?

Memasuki area Stasiun Pasar Senen, rasanya masih sama seperti perjalanan sebelumnya. Lalu-lalang penumpang dengan barang bawaan yang banyak. Porter paruh baya yang menawarkan jasanya. Instrumen keberangkatan kereta yang memutarkan lagu kicir-kicir. Juga salam perpisahan melepas orang tersayang menuju tanah rantau. 

Sejenak saya melipir ke area merokok. Menghisap sebatang kenikmatan setelah hampir sebulan tak merasakannya. Berbincang dengan penumpang lain yang sama-sama hendak pergi ke Malang. Menikmati langit malam ibu kota yang perlahan mulai terlepas dari jeratan polusi udara.

Oh, hi! Pasar Senen, we meet again!

Perjalanan Panjang KA Majapahit

Sekitar pukul 19.00, saya melakukan boarding pass dan kemudian memasuki area peron. Tak lama, kereta pun masuk di jalur 1. Perlahan penumpang mulai memadati pintu-pintu kereta. Bergantian memasuki lorong kereta yang sempit dengan barang bawaan besar. 

Perjalanan kali ini saya menumpang KA Majapahit dengan relasi Jakarta–Malang yang akan menempuh perjalanan selama hampir 14 jam. Duduk tegak dan berhadapan dengan penumpang lainnya. Namun saya harus bersyukur karena hanya perlu merogoh kocek Rp50.000 di saat penumpang lain membeli tiket normal dengan harga di atas Rp300.000.

"Selamat datang kami ucapkan kepada seluruh penumpang. Saat ini anda berada di dalam Kereta Api Majapahit yang akan mengantar kita ke tujuan akhir Stasiun Malang..."

Suara pengumuman dari pengeras suara di dalam gerbong mengawali perjalanan ini. Perlahan kereta meninggalkan gemerlap ibu kota. Berdampingan menyusuri jalan raya dan menyusul roda karet yang terjebak jam pulang kantor.

Selepas Bekasi, perjalanan terasa agak membosankan. Pemandangan di balik jendela hanyalah gelap. Banyak pula penumpang yang terlelap dengan posisi ala kadarnya. Begitu pula penumpang di depan dan sebelah saya, tidur dengan posisi tubuh yang tak karuan.

Beberapa jam tertidur, saya terbangun ketika kereta memasuki Madiun. Langit perlahan mulai terang. Mentari menampakkan sinarnya malu-malu. Beberapa penumpang pun tampak terjaga. Menikmati persawahan hijau yang membentang dengan latar belakang Gunung Wilis.

Sambil meregangkan badan yang mulai terasa sakit, saya berjalan menuju gerbong restorasi. Menikmati seporsi nasi goreng dan segelas teh panas dengan ditemani pemandangan pagi yang silih berganti. 

Menyesap teh panas sambil ditemani pemandangan pagi

Sesekali saya juga turun dari kereta ketika berhenti di stasiun. Menikmati suasana sambil bercengkrama dengan penumpang lain. Ah, nikmat sekali.

Ketika berhenti di Stasiun Tulungagung

Bersilang dengan KA Kertanegara di Stasiun Kesamben

Stasiun Blitar

Kembali ke kursi, ternyata suasana sudah mulai ramai dengan obrolan sesama penumpang. Di sebelah saya merupakan seorang mahasiswa yang baru saja menghadiri acara ulang tahun Luhut Panjaitan. Berbincang banyak hal tentang dunia kampus, ternyata ia merupakan ketua umum salah satu forum mahasiswa tingkat nasional yang berbasis di Malang. Ia juga sempat menawarkan saya untuk istirahat dan bermalam di basecamp-nya, namun saya jelaskan bahwa saya hanya punya waktu yang sedikit selama di Malang.

Suasana pagi KA Majapahit

Gerbong kami juga sempat heboh ketika ada anak kecil kisaran 10 tahun yang naik kereta sendiri dari Jakarta hingga Malang. Untungnya ia dikelilingi orang-orang baik. Banyak yang menawarkannya makanan, sekadar mengajak ngobrol, menganggapnya seperti anak sendiri, bahkan bersedia mengantarkannya dari Stasiun Malang sampai ke rumah neneknya yang berada di Kabupaten Malang. 

"Anakku, kamu udah makan belum?"

"Nanti bareng Bude aja, ya. Mau gak?"

"Nanti jangan ke mana-mana dulu, ya. Aku tunggu sampai kaluargamu datang."

"Minta nomor keluargamu, biar aku hubungi."

Suasana juga tambah seru ketika salah satu rombongan asal Sulawesi yang hendak berlibur di Malang banyak bercerita tentang Sulawesi dan kebudayaan yang ada di sana. Penumpang lain termasuk saya sangat tertarik mendengar cerita tersebut. Seperti sedang sharing session, penumpang lain pun juga menceritakan hal-hal menarik yang ada di daerahnya, khususnya Malang.

Tepat pukul 10.07, KA Majapahit mulai memasuki Stasiun Malang. Segera kami menyiapkan barang masing-masing dan bergegas turun. Berjabat tangan kemudian berpamitan satu sama lain. Ah, rasanya sama seperti kebersamaan di KA Sri Tanjung beberapa waktu lalu.

Hi, Malang!

Langit yang agak mendung menyambut kedatangan saya di Kota Malang. Angin sejuk berhembus, menemani saya berjalan melewati area bangunan lama Stasiun Malang yang 10 tahun lalu hanya bisa saya lihat dari film 5 cm. 

Stasiun Malang

Berbekal petunjuk dari google maps, saya berjalan kaki menuju Kampung Heritage Kayutangan, kawasan perkampungan tua yang telah berdiri sejak abad ke-13. Kawasan yang mengusung konsep kampung heritage ini menjadi salah satu daya tarik wisata city tour di Kota Malang. 

Sebelum memasuki area perkampungan, pengunjung ditarik retribusi sebesar Rp5.000 dan kemudian diberikan sebuah cenderamata berupa kartu pos dengan salah satu foto rumah di Kayutangan sebagai bukti telah membayar retribusi.

Pintu masuk Kampung Heritage Kayutagan

Berjalan kaki di Kayutangan rasanya cukup menyenangkan. Menyusuri lorong-lorong teduh dan deretan rumah tua dengan arsitektur era kolonial yang khas. Menyisir sebuah kanal yang kiri kanannya telah dipercantik. 

Lorong di pinggiran kanal

Banyak terdapat spot foto di kampung ini, seperti pohon bougenville yang bunganya sedang bermekaran dan salah satu rumah tua yang berisi barang-barang antik. Terdapat pula beberapa cafe estetik bergaya klasik yang cocokp untuk bersantai. Beberapa cafe tersebut antara lain adalah Kios Mera dan Hamur Mbah Ndut yang sama-sama menjual aneka kudapan dan minuman berbahan dasar kopi.

Hamur Mbah Ndut

Kios Mera

Convex mirror

Salah satu mural

Cukup lama mengitari Kampung Heritage Kayutangan, saya bergegas menuju Stadiom Gajayana untuk mencoba bus Macito yang beroperasi untuk mengangkut wisatawan mengelilingi Kota Malang secara cuma-cuma. Sayangnya Bus Macito belum memenuhi kota penumpang, sehingga terpaksa tak beroperasi. 

Tak mau berlama-lama, saya langsung order ojek online menuju Kampung Warna Warni. Kampung yang sempat viral beberapa tahun lalu ini tampaknya perlahan mulai redup pesonanya. Tak banyak pengunjung yang datang seperti di Kampung Heritage Kayutangan. Hanya ada beberapa bule yang sedang beraksi menggunakan kameranya. Saya pun tak mau ketinggalan, mengabadikan beberapa momen di kampung ini. Duduk santai sambil memotret kereta api yang melintas jembatan di atas kampung ini, apik sekali.

KA Penataran melintasi Kampung Warna Warni

Hari perlahan semakin sore, saya segera bergegas kembali ke Stasiun Malang. Menunggu keberangkatan kereta lokal bersama ratusan penumpang lainnya yang akan mengantarkan kami menuju ibu kota Jawa Timur, Surabaya.

Kehangatan di Kereta Lokal

Kereta Penataran yang saya tumpangi menuju Surabaya sore itu dipadati penumpang. Maklum saja, kereta lokal kelas ekonomi ini menjadi andalan karena tiketnya yang murah, relasi Blitar–Surabaya via Malang hanya dibandrol Rp12.000.

KA Penataran memasuki Stasiun Malang

Saya terlelap ketika kereta perlahan mulai meninggalkan Stasiun Malang. Baru terbangun ketika kereta memasuki Stasiun Lawang. Pemandangan di luar begitu menarik. Hamparan terasering persawahan dengan latar Gunung Arjuno, Welirang, dan Penanggungan di kejauhan. 

Sambil menikmati pemandangan, saya larut dalam obrolan penumpang di barisan kursi sebelah. Seorang bapak tua dengan anak perempuannya  yang memasuki usia 40. Mereka duduk di depan dua lelaki muda asal Pakisaji dan temannya yang hendak kembali ke tanah rantau di Maluku. Banyak hal yang mereka ceritakan sepanjang perjalanan. Mulai dari wejangan dan kisah hidup dari si bapak yang masa mudanya berprofesi sebagai tentara, percakapan after married, tetek bengek rumah tangga, dan pekerjaan kantoran yang gajinya sangat menjanjikan.

"Usahakan punya rumah, sekalipun itu kecil. Daripada kamu numpang sama mertua, rasanya pasti gak enak..." Salah satu dari sekian banyak ucapan si bapak kepada dua lelaki muda di depannya. 

Memasuki Sidoarjo, si bapak dan anaknya bersiap turun. Dua lelaki muda tersebut sigap membantu menyiapkan koper dan barang bawaan si bapak yang cukup banyak. Mereka pun berpamitan dan dua lelaki muda tersebut mencium tangan si bapak tua. Walau saya tak terlibat langsung, rasanya begitu syahdu bisa larut dalam percakapan hangat tersebut, terlebih sambil menikmati pemandangan sore yang silih berganti.

Pun ketika kereta memasuki Stasiun Waru, dua lelaki muda tersebut saling berpamitan melepas satu sama lain. Mereka adalah dua sahabat sejak masa SMA. Kini sama-sama berjuang menghidupi diri dan keluarga. Yang satu telah berkeluarga di Surabaya, sedang satunya lagi hendak terbang ke Maluku melalui Bandara Juanda yang tak jauh dari Stasiun Waru.

"Ketemu lagi nanti, ya! Sehat-sehat di sana, ditunggu kabar baiknya!" Ucap salah satu dari mereka kemudian saling berpeluk hangat.

Hi, Surabaya! We Meet Again!

Sekitar pukul 18.30, kereta yang saya tumpangi tiba di Stasiun Surabaya Gubeng. Stasiun yang mengingatkan saya pada perjalanan solo backpacking beberapa waktu lalu. Masih saja saya disambut ramah di kota ini.

Potret kereta lokal

Senyum masinis di Stasiun Surabaya Gubeng

Keluar dari Stasiun Gubeng Lama, saya berjalan menyusuri malam. Jalanan Surabaya saat itu cukup ramai. Jam pulang kantor membuat jalanan dipadati kendaraan. 

Beberapa menit berjalan, saya memasuki area Monumen Kapal Selam (Monkasel). Bukan untuk berwisata sejarah seperti beberapa waktu lalu, tujuan saya ke tempat ini adalah untuk menikmati malam Surabaya dengan menaiki Perahu pWisata Kalimas yang menyusuri aliran Sungai Kalimas mulai dari Dermaga Monkasel sampai Dermaga Taman Prestasi

Menaiki Perahu Wisata Kalimas begitu menyenangkan. Menikmati kerlip lampion dan gedung-gedung tinggi di sekitarnya. Menghirup udara segar bebas polusi sambil memandangi langit yang terlihat cerah, sekalipun gelap malam.

Menikmati malam di Surabaya

Dua puluh menit berlalu, perahu yang saya tumpangi kembali bersandar di Dermaga Monkasel. Kembali saya menyusuri jalur pedestrian menuju Stasiun Gubeng Lama. Menyantap semangkuk indomie panas sambil ditemani obrolan bersama pemilik bakul. 

"Hayo, makan yang banyak!"

"Kamu mau ke Jakarta?"

"Naik dari Gubeng atau Pasar Turi?"

Percakapan tersebut kembali mengingatkan saya dengan pemilik bakul krengsengan di depan Stasiun Gubeng Baru pada beberapa waktu lalu. Gelagatnya yang ramah seperti ibu sendiri membuat saya betah berlama-lama di sini. Ah, Surabaya dan kota-kota di belahan timur Jawa memang menyenangkan.

Hampir setengah jam larut dalam obrolan hangat, saya pun berpamitan. Memasuki Stasiun Gubeng Lama lalu menumpang kereta komuter terakhir yang akan mengantarkan saya menuju Stasiun Surabaya Pasar Turi. 

Kembali ke Ibu Kota

Sesampainya di Stasiun Surabaya Pasar Turi, masih banyak waktu untuk menunggu keberangkatan KA Dharmawangsa—sekitar 1,5 jam— yang akan mengantarkan saya kembali ke ibu kota. Saya memilih duduk santai di salah satu warung kopi di halaman stasiun. Menyeruput kopi panas sambil bercengkrama dengan ibu pemilik warung yang cukup banyak bercerita tentang kehidupannya yang ditinggal merantau oleh anak-anaknya.

"Informasi bagi para calon penumpang KA Dharmawangsa kami persilakan anda untuk melalukan boarding pass."

Samar-sama pengumuman membuat saya bergegas masuk ke stasiun. Stasiun Surabaya Pasar Turi malam itu ramai sekali. Banyak penumpang dengan berbagai tujuan di Pulau Jawa. Adegan perpisahan haru pun tak terlepaskan. Terlihat beberapa orang diantar sanak famili. Ada pula yang diantar oleh teman dan sahabatnya. Salam perpisahan sama-sama menghiasi momen ini. Ah, memang benar kalau stasiun merupakan saksi tangis dan perpisahan yang tulus.

Tepat pukul 22.30, KA Dharmawangsa perlahan meninggalkan Stasiun Surabaya Pasar Turi. Mengantarkan ratusan penumpang menuju ibu kota dan beberapa kota lain yang disinggahinya. Perjalanan malam itu terasa agak haru. Lagi-lagi saya harus meninggalkan Jawa Timur, juga Surabaya, kota transit yang paling ramah dan menyenangkan. 

KA Dharmawangsa persiapan berangkat Stasiun Surabaya Pasar Turi

Posting Komentar

0 Komentar