Cerita Perjalanan Solo Backpacking (Part 4 - Pendakian Gunung Agung via Taman Edelweis)

Cerita sebelumnya;

Cerita Perjalanan Solo Backpacking (Part 3 - Bali, Aku Kembali)

-----

Gunung Agung, 2–3 September 2023

Pagi itu saya arahkan motor sewaan menuju Kabupaten Karangasem, sekitar 60 km dari Denpasar ke arah timur laut. Memandangi Kepulauan Nusa Penida yang terlihat dari Bypass Ida Bagus Mantra. Melintasi Semarapura, kota kecil yang nuansa Bali-nya begitu terasa. Terus menanjak ke utara menuju kawasan pura terbesar di Pulau Bali, Pura Agung Besakih.

Gunung Agung terlihat jelas dari kompleks pura ini. Perjalanan masih terus berlanjut ke utara. Menyusuri jalanan desa dengan rumah-rumah khas dan tempat pemujaan di setiap sisi. Beberapa menit kemudian akhirnya saya tiba di Basecamp Taman Edelweis.

Gunung Agung terlihat jelas dari Pura Agung Besakih

Mengenal Gunung Agung

Gunung Agung merupakan gunung yang menyandang predikat sebagai gunung tertinggi di Bali. Gunung dengan ketinggian 3142 mdpl ini berada di Kabupaten Karangasem, bagian timur laut Pulau Bali. Gunung ini juga dianggap suci oleh masyarakat Hindu Bali. Makanya ada salah satu larangan yang harus dihindari ketika naik Gunung Agung, yaitu membawa dan mengkonsumsi daging sapi.

Beberapa jalur pendakian Gunung Agung yang terkenal antara lain:

  • Pendakian via Pura Agung Besakih.
  • Pendakian via Pura Pengubengan.
  • Pendakian via Taman Edelweis.
  • Pendakian via Pura Pasar Agung.

Mulai pertengahan 2023, ada peraturan wajib bagi para pendaki dari setiap jalur pendakian untuk menggunakan jasa guide. Hal ini sebagai antisipasi dari resiko pendaki yang hilang. Selain itu, hal ini juga merupakan jalan tengah dari keputusan kontroversional gubernur I Wayan Koster yang menutup semua gunung di Bali, kecuali untuk kegiatan keagamaan. 

Biaya guide Gunung Agung rata-rata berkisar antara Rp700.000–Rp800.000. Tetapi bisa lebih murah jika kita memiliki teman barengan karena biaya tersebut bisa dibagi lagi untuk 4–5 orang.

Opsi lain jika tak mau menggunakan jasa guide adalah ikut open trip. Beberapa penyelenggara open trip Gunung Agung yang terkenal adalah Raja Rimba dan Tiga Dewa. Ada juga beberapa penyelenggara lain yang biasanya mempromosikan jasanya di instagram. Rata-rata biaya open trip adalah Rp700.000-Rp1.000.000 per orang. Saat itu saya menggunakan jasa open trip yang diselenggarakan oleh Raja Rimba. Cukup worth it untuk harga Rp700.000 selama 2 hari 1 malam.

Basecamp - Pos 1

Basecamp Taman Edelweis hanyalah sebuah warung kecil yang di sekitarnya terdapat tempat untuk berteduh. Di pojokan terdapat sebuah rumah yang sepertinya milik pengelola. Tak seperti basecamp kebanyakan gunung di Pulau Jawa, basecamp ini hanya ramai ketika weekend. Itu pun biasanya hanya beberapa rombongan yang mendaki.

Basecamp Taman Edelweis

"Ramenya kalau Sabtu-Minggu aja, Kak. Seringnya sepi." Ucap Chandra, salah satu anak penjaga toilet yang saat itu sedang bergurau dengan sepupunya, Laksmi.

Open trip Raja Rimba diikuti oleh 5 orang peserta. Tiga orang termasuk saya berasal dari Jabodetabek, sedangkan 2 lainnya merupakan keturunan Jawa yang berdomisili di Denpasar. Saat itu yang bertugas sebagai guide adalah Bli Yudha, pemuda asli Bali yang juga dibantu beberapa temannya. 

Pukul 10.15 kami memulai pendakian. Perjalanan diawali dengan menyusuri perkebunan warga. Masih landai tetapi cukup membuat ngos-ngosan. Terdapat pula jasa ojek dari basecamp hingga ujung perkebunan dengan biaya sekitar Rp30.000–Rp50.000, tergantung dengan kemampuan negosiasi.

Awal pendakian

Memasuki area vegetasi, rombongan kami terpisah menjadi beberapa bagian. Tiga orang berjalan lebih dulu, sedangkan saya dan Bang Arbi berjalan lebih santai. Bli Yudha berjalan paling belakang karena ia juga punya tamu lain. Sedangkan temannya sudah berangkat lebih awal untuk mendirikan tenda di Pos 3 Campsite.

"Santai aja, Gunung Agung nggak akan ke mana-mana." Celetuk Bli Yudha.

Sekitar pukul 12.10 saya dan Bang Arbi tiba di Pos 1. Terlihat pula beberapa pendaki lain yang ternyata kebanyakan berasal dari Jawa. Makan siang yang disediakan Bli Yudha begitu nikmat. Sebungkus nasi jinggo dengan ukuran jumbo. Lumayan untuk menambah energi.

Sebelum menyantap makan, Bli Yuda tampak sibuk menyiapkan peralatan sembahyang. Mengeluarkan canang dan menyalakan dupa. Aromanya begitu semerbak. Ia juga mengambil beberapa butir nasi yang hendak dimakan. Sesaat kemudian bergerak menuju pelinggih yang terletak di sudut pos. Duduk berlutut sambil menyembah.

Pelinggih yang terletak di Pos 1.

Pos 1 - Pos 2

Pukul 12.35 saya dan Bang Arbi kembali melanjutkan pendakian. Medannya semakin menanjak dengan kontur jalan yang beragam; tanah, pasir, dan kerikil. Vegetasinya pun semakin rapat. Ada kalanya saya dan Bang Arbi ritmenya tak sama. Berjalan seorang diri di tengah rimbunnya hutan. Syahdu sekali.

Trek menuju Pos 2

Sekitar 2 jam berjalan kami tiba di Pos 2. Hanya ada 3 pendaki lain di tempat ini. Tak lama saya beristirahat di sini karena paparan sinar matahari yang cukup menyengat. Sedangkan Bang Arbi memilih menikmati sebatang rokok kretek terlebih dahulu.

"Gua duluan, Bang. Nanti ketemu lagi di depan."

Pos 2 - Pos 3 Campsite

Pukul 14.45 saya bergegas melanjutkan pendakian. Berjalan seorang diri sambil sesekali duduk di bawah naungan pohon. Sekian lama, akhirnya tersadar bahwa saya sudah berada di atas awan. Aih!

Selepas Pos 2 sudah berada di atas awan

Beberapa menit berlalu, Bang Arbi segera menyusul. Memberikan posisi duduk kepadanya kemudian saya melanjutkan perjalanan lagi. Siklus pendakian kami terus berulang seperti itu. Seperti bus yang sedang menunggu penumpang, ia baru akan berangkat jika bus selanjutnya datang. 

Selepas Pos 2 saya juga bertemu dengan 2 orang pendaki asal Gianyar, Bli Ardiyasa dan Bli Mika, saudara sepersepupuan yang sudah beberapa kali mendaki Gunung Agung. Jadilah kami berjalan iring-iringan sampai Pos 3, tentu saja ditemani oleh cerita masing-masing dari kami.

Saat sedang beristirahat, saya bertemu dengan seorang pendaki asal Depok. Benar kata Mbak Siska yang saya temui ketika di Ijen, kalau lagi pergi jauh dan bertemu orang yang 1 domisili rasanya kayak ketemu saudara sendiri. Pendaki tersebut baru saja menyelesaikan kuliahnya di salah satu universitas ternama dan bercerita tentang perjalanannya yang sudah hampir 1 bulan.

"Gua berangkat awal Agustus. Awalnya ke Prau dulu sama temen-temen gua. Terus mampir ke Wonosobo sama Jogja. Abis itu gua sendirian ke Ijen. Ini ke Agung gua juga sendiri." Ucapnya seru.

Sekitar pukul 15.45 kami tiba di Pos 3 yang dijadikan campsite di jalur Taman Edelweis. Total waktu mendaki kami habiskan 5,5 jam mulai basecamp hingga Pos 3 Campsite. Waktu yang normal untuk mendaki Gunung Agung, kata Bli Yudha.

Sudah banyak tenda yang berdiri saat kami tiba, namun tetap saja tak seramai gunung-gunung yang ada di Jawa. Tiga orang yang lebih dulu sampai tampak merebahkan badan di undakan tanah. Sore itu kami berbincang dan beristirahat sambil memandangi lautan awan.

Menikmati Sunset dari Atas Awan

Setelah beberes dan ganti pakaian kering, kami semua ke depan tenda untuk menikmati sunset. Begitu pula pendaki lain yang semuanya keluar tenda. Sore itu suasana begitu hangat. Kami semua saling berbagi cerita, tak peduli dengan siapa dan rombongan dari mana. 

Sunset

After sunset

Sambil menikmati sunset, cerita menarik datang dari Bli Ardiyasa yang hampir saja menyelesaikan misi mendaki semua gunung yang ada di Bali. Hanya Gunung Batukaru yang belum ia daki karena katanya terlalu berat. Ia juga menceritakan pengalamannya yang sering bolak balik mengantar tamu hotel ke Gunung Batur sambil menjelaskan deretan pegunungan yang ada di kejauhan.

"Yang di sana Batukaru, di deketnya ada Sanghyang, Adeng, Pohen, banyak lah pokoknya. Kalo Abang sama Batur di sana, agak ketutupan pepohonan." Jelasnya.

Sambil menunjukkan foto yang ada di handphone-nya, Bli Ardiyasa juga bercerita bahwa hanya Gunung Agung yang puncaknya tidak memiliki pura, berbeda dengan gunung lainnya di Bali yang puncaknya memiliki pura.

Cerita lain datang dari Bang Uston yang baru saja mendaki Gunung Raung beberapa waktu lalu. Tak mau kalah, Bang Sadam dan Bang Abi juga menceritakan kisah pertemanannya yang berawal dari pendakian Gunung Slamet dan kemudian berlanjut ke gunung-gunung lainnya, termasuk Gunung Agung. Juga cerita Bang Arbi tentang Gunung Lawu yang begitu dingin. Kemudian obrolan berlanjut dengan cerita mengenai kota asal dan kesibukan masing-masing dari kami. Rasanya hangat sekali.

"Nanti kapan-kapan mampir, ya!."

Kehangatan sore itu

Kami juga berbagi cerita dengan Julia, bule asal Inggris yang sedang menetap sementara di Ubud. Julia begitu terpesona dengan keindahan Gunung Agung dan berencana akan melanjutkan pendakian ke Gunung Batur. Bli Ardiyasa tampak antusias mendengarkan cerita Julia. Ia juga fasih berbicara bahasa inggris dengan Julia. Tampaknya ini merupakan makanan sehari-hari Bli Ardiyasa yang bekerja di salah satu hotel di Ubud.

Ngobrol ngalor ngidul dengan pendaki lain, ternyata ada juga yang satu almamater dengan saya. Seorang adik tingkat dari fakultas sebelah yang sedang berlibur di kampung halamannya, Bali. Ah, dunia sempit sekali.

Siluet with Julia

Summit Attack; Puncak Tertinggi Tanah Bali

Cukup lelap tertidur, sekitar pukul 03.15 kami bergegas menuju puncak. Lagi-lagi rombongan kami terpisah, sama seperti awal pendakian menuju Pos 3. Saya dan Bang Arbi berjalan perlahan. Medan menuju puncak cukup menantang. Bebatuan besar yang jika salah perkiraan bisa saja terpeleset atau bahkan tersasar. Pasir halus yang bertebaran juga cukup mengganggu pernapasan.

Langit dinihari bertaburan bintang. Seringkali kami berhenti. Mengambil nafas, sekadar menikmati konstelasi dan citylight di kejauhan. Sinar rembulan juga bersinar cukup terang. Ah, cantik sekali.

Dalam perjalanan menuju Puncak (1)

Dalam perjalanan menuju Puncak (2)

Jalan santai dan tak terhitung berapa kali istirahat, akhirnya saya dan Bang Arbi tiba di Puncak 1 sekitar pukul 06.00. Matahari mulai terbit. Semburat jingga dengan perpaduan langit biru begitu indah. Terlihat Puncak Rinjani di sebelah timur. Sedangkan di sebelah barat terlihat Puncak Abang, Batur, Batukaru, Adeng, Pohen, Sanghyang. Bahkan Puncak Raung yang ada di Pulau Jawa juga terlihat.

View dari Puncak 1; Puncak Sejati dan Puncak Rinjani

View dari Puncak 1; Abang, Batur, Batukaru

Beberapa menit di Puncak 1, kami beranjak menuju Puncak Sejati. Katanya ini merupakan jalur paling ikonik di Gunung Agung. Punggungan Naga, jalan setapak menuju Puncak Sejati yang kiri dan kanannya jurang. Harus hati-hati melewatinya karena jika tidak bisa langsung pindah alam.

Punggungan Naga

Punggungan Naga

Di pertengahan Punggungan Naga terlihat beberapa orang berjalan menuruni jurang yang berbatu. Bli Yudha bilang ini merupakan jalur via Pura Pasar Agung, jalur pendakian paling ekstrem yang pernah diceritakan Fiersa Besari melalui vlog-nya. Saya yang melihatnya merinding sambil berteriak di dalam hati; "Gilaaakk!"

Terlihat beberapa orang turun melalui jalur Pura Pasar Agung

Kondisi Puncak Sejati saat itu cukup ramai. Harus bergantian dengan pendaki lain kalau mau mengambil foto. Puncak Rinjani terlihat lebih jelas dibandingkan dari Puncak 1. Beberapa guide dan warga lokal terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Membakar dupa wangi, menyiapkan canang dan kemudian duduk menyembah.

Puncak Sejati 3142 mdpl

Our team!

Sembahyang di ketinggian

Rinjani dan canang sari

Satu hal yang cukup mengejutkan, ternyata Wendy Walters juga muncak ke Gunung Agung. Rombongan kami sempat berbincang cukup lama dan mengambil foto dengannya. Cantiknya real, haha.

Wendy Walters

Kembali Turun

Berjalan santai dari area Puncak menuju Pos 3 memakan waktu 2 jam. Perjalanan turun sepenuhnya didampingi guide karena cukup banyak percabangan. Sesampainya di Pos 3 kami beristirahat dan kemudian menyantap sarapan yang telah dibuat Bli Yudha. 

Batukaru dan Raung terlihat saat turun

Trek turun dari area Puncak ke Pos 3

Sekitar pukul 12.00 saya memilih turun lebih awal karena mengejar bus ke arah Gilimanuk yang berangkat terakhir dari Terminal Ubung pukul 20.00. Perjalanan turun agak ngeselin karena tiba-tiba banyak sekali kerikil di sepanjang jalur. Padahal ketika berangkat, kerikil masih dalam kondisi wajar. Entah hanya perasaan atau bagaimana. Berkali-kali saya terpseleset hingga pakaian saya kotor. Beruntung perjalanan turun dari Pos 3 hingga basecamp hanya memakan waktu 3 jam.

Bersambung...

Cerita Perjalanan Solo Backpacking (Part 5 - Akhir yang Mengesankan)

Posting Komentar

0 Komentar