Cerita sebelumnya;
Cerita Perjalanan Solo Backpacking (Part 1 - Menuju Ujung Timur Pulau Jawa)
-----
Antara Banyuwangi–Situbondo, 26–28 Agustus 2023
Malam itu halaman stasiun yang tadinya ramai perlahan kembali sepi. Penumpang Kereta Api Sri Tanjung yang turun telah beranjak menuju tujuannya masing-masing. Sejenak saya meluruskan kaki sambil menikmati sepiring nasi dengan lauk ayam suwir dan sayur tewel di salah satu warung yang terletak di halaman stasiun.
Stasiun Banyuwangi Kota sendiri merupakan stasiun yang paling dekat dengan pusat kota. Halaman depan stasiun ini terdapat beberapa warung dan penginapan yang cukup murah. Tersedia juga parkiran dan tempat penyewaan motor.
Sambil berbincang dengan pemilik warung, saya menghubungi Mas Rahmat, orang yang saya kenal dari grup Backpacker's Indonesia yang dengan senang hati mau menerima saya beristirahat di rumah singgah miliknya tanpa memungut biaya sepeser pun.
"Langsung ke rumah singgah aja, Mas. Nanti di kamar yang ini, ya." Ucapnya sambil mengirimkan foto kamar dalam pesan WhatsApp.
Saya bergegas menuju rumah singgah. Melewati beberapa penginapan murah yang dulu sering saya baca review-nya di tulisan-tulisan travel blogger. Kemudian berjalan ke selatan melewati jalanan gelap berbatu dan perkebunan warga.
"Ini saya langsung masuk aja, Mas?" Tanya saya via WhatsApp.
"Iya langsung masuk aja, Mas. Saya lagi di luar. Malam ini yang tidur di rumah singgah cuma Mas-nya aja. Paling nanti ada temen saya Mas Benny tidur di kamar depan." Balas Mas Rahmat.
Selain menghemat pengeluaran, tujuan saya bermalam di rumah singgah sebenarnya agar bisa mendapatkan teman yang sama-sama bermalam di sana. Namun kenyataannya malam itu hanya saya seorang diri yang bermalam di rumah singgah. Beruntung bangunan di sampingnya merupakan tempat karaoke dan malam itu suara musik terdengar cukup kencang.
Taman Nasional Baluran
Bangun agak kesiangan, keesokan paginya saya langsung bergegas mencari penyewaan motor di depan stasiun. Ternyata penyewaan motor tersebut milik Mas Rahmat. Beberapa jenis motor disewakan dengan biaya Rp100.000 per hari. Pilihannya beragam mulai dari beat, scoopy, dan vario. Namun yang tersedia hari itu hanya motor beat.
Perjalanan menuju Baluran memakan waktu kurang lebih 1 jam. Berkendara santai melalui ringroad pinggiran kota dan kemudian menyusuri poros utama Banyuwangi–Situbondo. Banyak truk berukuran besar di lintasan ini. Namun masih terbilang aman bagi pengendara sepeda motor karena jalannya cukup besar.
Memasuki kawasan Taman Nasional Baluran, saya disambut petugas di Pos Batangan. Membayar retribusi sebesar Rp23.500 dengan rincian tiket masuk domestik Rp17.500, asuransi Rp1.000, dan karcis kendaraan roda 2 sebesar Rp5.000.
Sebelum menuju Savana Bekol, saya beristirahat sejenak di Pos Batangan. Berteduh di bangunan sederhana sambil menikmati angin sepoi. Seorang petugas juga tampak antusias mengajak saya berbicara dan memberikan cukup banyak informasi mengenai Banyuwangi.
"Sampeyan beneran sendiri dari Jakarta, Mas? Emang mau sendiri atau gimana? Kan kalau masih muda biasanya sama pasangan atau temen-temen." Tanyanya membuka obrolan.
"Nanti setelah dari Baluran kalau mau ke De Djawatan waktunya masih cukup, tapi mungkin baliknya kemaleman. Saran saya mending nikmatin suasana kota aja. Sekarang ini lagi banyak festival dalam rangka kemerdekaan." Tambahnya.
"Sampeyan ke Ijen nggak? Kalau ke Ijen hati-hati loh mas, jalan menuju Pos Paltuding curam, pastiin kondisi motornya sehat." Tambahnya lagi.
Cukup lama bercengkrama, saya bergegas melanjutkan perjalanan menuju Savana Bekol. Sebelumnya, petugas tersebut memberikan arahan dan informasi mengenai perjalanan menuju Savana Bekol.
"Dari sini ke Savana Bekol masih 12 km lagi. Pelan-pelan aja karena kecepatan kendaraan dibatasi 20 km/jam. Ini udah agak siang, jadi kemungkinan satwa yang ada di savana nggak banyak. Pesan saya kalau ketemu satwa jangan dikasih makan, ya. Hati-hati di jalan, Mas." Ucap petugas mengarahkan.
Perjalanan dari Pos Batangan menuju Savana Bekol sangat mengasyikkan. Melewati jalan aspal mulus sejauh 12 km dan hanya 3 kali berpapasan dengan pengendara lain. Melintasi Hutan Evergreen yang pepohonannya sedang meranggas karena musim kemarau. Sesekali saya juga dibuat parno karena ada beberapa titik jalan yang aromanya seperti aroma satwa liar. Khawatir tiba-tiba ada yang menerkam dari dalam rimbunnya Hutan Evergreen, haha.
Pepohonan yang meranggas |
Sekitar 30 menit berkendara, saya tiba di Savana Bekol; Sebuah padang rumput seluas 10.000 hektar yang dijuluki Africa van Java. Musim kemarau adalah waktu yang tepat untuk berkunjung ke tempat ini. Padang rumput mengering berwarna kekuningan dengan latar belakang Gunung Baluran yang menawan. Beberapa satwa liar seperti kera, banteng, rusa, dan merak bisa terlihat jika berkunjung di waktu yang tepat. Namun sayang, saat itu saya hanya menjumpai kawanan kera dan banteng yang sedang berteduh di bawah pepohonan.
Savana Bekol dengan latar belakang Gunung Baluran |
Monyet! |
Salah satu spot foto |
Salah satu spot foto |
Kawanan banteng sedang berteduh |
Menaiki menara pandang yang ada di savana ini, saya berjumpa dengan Pak Iskandar. Salah satu petugas Taman Nasional Baluran yang cukup banyak bertanya tentang perjalanan saya.
"Kamu beneran sendiri dari Jakarta? Tidur di mana? Habis dari sini mau mau ke mana? Lanjut ke Bali nggak?" Tanyanya penasaran.
Sambil menikmati suasana, kami berdua larut dalam obrolan. Pria kelahiran Sumatera Barat ini ternyata dulunya pernah merantau di Jakarta. Bercerita banyak tentang kehidupannya yang menyukai penelitian dan ilmu biologi. Awal bekerja di Baluran untuk memandu para peneliti yang melakukan eksplorasi di Baluran hingga akhirnya mengabdikan diri sebagai petugas pemantau. Berbekal sebuah teropong, ia berusaha memastikan taman nasional ini terbebas dari para penyusup yang berupaya merusak.
Sebelum berpindah tempat, saya diberi kesempatan untuk melihat keindahan Baluran melalui teropong milik Pak Iskandar. Bukan teropong mainan yang dijual di depan sekolah, melainkan teropong merk nikon yang harganya pasti jutaan. Agak susah ternyata untuk mengoperasikannya.
"Semoga bisa ketemu lagi, ya. Hati-hati di jalan." Ucap Pak Iskandar saat kami sama-sama meninggalkan menara pandang.
Bersama Pak Iskandar |
Melalui cerita Pak Iskandar, saya tertarik mengunjungi Pantai Bama yang letaknya tak jauh dari savana, hanya 5 menit berkendara. Namun saya hanya singgah sebentar di pantai itu karena banyaknya kawanan kera yang nakal.
Pantai Bama |
Watu Dodol
Sekitar pukul 1 siang saya bergegas meninggalkan Baluran. Terik matahari dan perut yang kosong membuat perjalanan menjadi cukup melelahkan. Saya putuskan untuk istirahat di Pantai Watu Dodol yang terletak di pinggir jalan besar.
Sambil menyantap semangkuk bakso panas, saya menikmati Selat Bali yang mempesona. Memandangi lalu lalang kapal ferry di kejauhan. Putihnya pasir di pantai seberang yang sudah masuk kawasan Taman Nasional Bali Barat. Juga semilir angin yang berbisik.
Pemandangan Selat Bali dari Pantai Watu Dodol |
Pusat Kota
Menyusuri pusat kota adalah hal yang mengasyikkan bagi saya. Melintasi kawasan perniagaan dengan bangunan lawas. Singgah di Masjid Agung dan mengelilingi Taman Sri Tanjung di seberangnya. Samar-samar mendengar percakapan warga lokal dengan bahasa yang khas. Bahasa Jawa dengan dialek dan logat yang cukup asing bagi saya.
Salah satu sudut kota |
Tak banyak hal yang saya lakukan di kota kecil ini. Sebenarnya ada beberapa coffee shop yang cukup menarik. Namun udara sore dan angin yang berhembus mampu membuat saya betah berdiam diri di Taman Sri Tanjung.
Berbekal review dari media sosial, saya menyempatkan diri melipir ke salah satu warung makan legendaris di Banyuwangi, Sego Tempong Mbok Nah. Seporsi nasi dengan isian sayur kol, bayam, kenikir, kemangi, dan lauk seperti tahu, tempe, bakwan jagung, dan telur dadar hanya dihargai Rp11.000. Harga murah untuk seporsi makan yang banyak.
Sego Tempong Mbok Nah |
Mocoan Lontar Banyuwangi
Malam ke-2, rumah singgah tak kunjung disinggahi orang lain. Masih saya seorang diri seperti malam sebelumnya. Suara musik dari tempat karaoke di sebelahnya pun tak terdengar. Hanya suara samar-samar yang terdengar dari kejauhan. Seperti sinden, tapi saya rasa bukan sinden. Yang jelas suara lelaki seperti sedang melantunkan sesuatu. Seketika suasana terkesan mistis, apalagi Mas Rahmat dan Mas Benny sedang tidak ada di rumah singgah.
Sekitar pukul 11 malam, suara itu semakin jelas terdengar. Murrotal Alquran yang diputar tak mampu meredam kesan mistis. Mata terasa sulit dipejamkan. Istirahat yang dimaksudkan untuk mengisi tenaga sebelum ke Kawah Ijen pun gagal. Saya langsung bergegas mempersiapkan diri dan beranjak menuju halaman stasiun, menunggu mobil jemputan menuju Kawah Ijen.
"Lagi ada hajatan, itu namanya Mocoan Lontar Banyuwangi. Biasanya dibaca sampai subuh, Mas. Yang dibaca kisah-kisah nabi." Ucap penjaga warung kopi di depan stasiun.
Kawah Ijen
"Morning." Sapa salah satu bule saat mobil jemputan merapat di halaman Stasiun Banyuwangi Kota.
Mobil jemputan menuju Kawah Ijen saat itu isinya bule semua. Hanya saya dan sopir yang merupakan warga lokal. Agak terbata-bata, saya berusaha ngobrol dengan 3 orang bule untuk menghilangkan rasa kantuk. Mereka adalah Hana dan 2 orang temannya yang berasal dari Jerman. Mereka baru saja turun dari Bromo dan langsung bergegas ke Kawah Ijen. Selanjutnya mereka juga akan meneruskan perjalanan menuju Bali, Lombok, dan Labuan Bajo. Ah, seketika saya ingat Lidia dan Eleonora, 2 gadis cantik asal Italy yang saya temui di Kereta Api Sri Tanjung.
Tak lama berselang, ternyata mobil masih menjemput 2 peserta lagi. Adik kakak asal Cileungsi yang awalnya saya kira sepasang kekasih. Mereka adalah Bang Alwi dan Kak Nabila yang sedang berlibur di Banyuwangi.
Sesampainya di Basecamp Paltuding, kami dipersilahkan istirahat sambil menunggu gerbang dibuka pukul 2 dinihari. Saat itu saya berkenalan dengan John, bule asal Wallace yang juga melakukan perjalanan seorang diri. Ia cukup pandai berbahasa Indonesia dan tak malu mengajak berbicara orang-orang di sekitarnya sambil memamerkan baju batik yang ia kenakan. Tampaknya ia menyukai budaya Indonesia.
Tak lama, peserta open trip dibagi lagi menjadi beberapa team. Peserta yang berasal dari luar negeri dibagi menjadi 2 team, sedangkan peserta domestik digabung menjadi 1 team yang terdiri dari saya, Bang Alwi, Kak Nabila, Mas Adit dan istrinya–Mbak Siska.
Saya sengaja memilih open trip untuk ke Kawah Ijen karena perhitungannya lebih murah jika dibandingkan dengan menyewa motor. Belum lagi biaya bensin dan simaksi. Ikut open trip juga tak mengharuskan saya berkendara tengah malam seorang diri di hutan dengan kondisi jalan yang berkelok. Saat itu saya ikut open trip-nya Mas Rahmat dengan biaya Rp200.000. Sudah termasuk transportasi pp, guide, simaksi, headlamp, masker respirator, air mineral, dan sarapan ringan.
Tepat pukul 2 kami memulai pendakian. Diawali dengan seorang guide yang bernama Mas Hari, kami berlima berjalan beriringan. Beberapa menit berjalan, Mbak Siska tampak sedikit terkendala. Kami pun berhenti sejenak sambil mengatur nafas.
Tak lama kemudian, Mas Hari mempersilahkan saya, Bang Alwi, dan Kak Nabila untuk berjalan lebih dulu. Ia dan Mas Adit berjalan perlahan mendampingi Mbak Siska yang terkendala di bagian kakinya.
Kami bertiga jalan santai menyusuri jalur pendakian yang terbilang cukup landai di awal, namun semakin lama semakin menanjak. Tak terburu-buru, beberapa kali kami berhenti mengatur nafas sambil menikmati gemerlap bintang yang baru bisa kami lihat setelah sekian lama hidup di tengah kabut polusi. Sesekali kami juga mematikan headlamp supaya rasi bintang bisa terlihat lebih jelas.
Kami juga berbincang tentang perjalanan kami. Tentang kesibukan di kota dan pengalaman mendaki gunung sebelumnya. Bang Alwi yang telah mendaki beberapa gunung. Kak Nabila yang baru kali pertama mendaki gunung tetapi sebelumnya aktif nge-gym. Pantas saja langkahnya terbilang konstan. Beruntung sekali saya bisa mendapatkan teman seperjalanan. Dan lucunya ternyata di hari sebelumnya kami menaiki kereta yang sama, haha.
Hampir 2 jam berjalan, kami tiba di bibir kawah. Mas Hari pun menyusul. Kami berjalan menuruni bebatuan terjal menuju lokasi blue fire. Aroma belerang tercium begitu pekat. Masker respirator mampu meredamnya, namun nafas menjadi tak karuan. Di tengah perjalanan menuruni bebatuan besar, beberapa rombongan yang berlawanan arah berkata bahwa blue fire tak bisa disaksikan malam itu. Ditambah kontur jalan yang membuat kami bertiga mager. Belum lagi aroma belerang yang begitu kuat membuat kami memilih kembali naik menuju Sunrise Point.
Cukup lama kami berada di Sunrise Point. Menikmati terbitnya matahari dengan view Selat Bali dan Gunung Baluran di kejauhan. Gunung Raung yang bersanding dengan Gunung Rumput. Dan yang menjadi daya tariknya adalah Kawah Ijen yang berwarna hijau tosca.
Kawah Ijen |
Bersama Bang Alwi dan Kak Nabila |
Kawah Ijen |
Salah satu sudut Gunung Ijen |
Semakin Intim Ketika di Akhir
Sesampainya di Basecamp Paltuding, barulah kami berlima dapat berbincang lebih intim. Sambil menikmati pisang goreng hangat, saya begitu tertarik dengan cerita Mas Adit dan Mbak Siska yang sedang melakukan perjalanan roadtrip Surabaya–Lombok. Juga menjawab pertanyaan mereka tentang kami bertiga.
"Kalian bertiga temen kuliah, ya?" Tanya Mas Adit.
"Bukan, Mas. Temen ketemu di jalan." Jawab Bang Alwi dan seketika kami berlima tertawa.
"Ketemu di jalan tapi ternyata 1 domisili, makanya kayak temenan udah lama." Tambah saya.
"Kalo lagi pergi jauh terus ketemu orang yang 1 domisili rasanya kayak ketemu sodara sendiri, ya." Celetuk Mbak Siska.
Kami berlima juga digabung di mobil yang sama saat kembali ke kota. Rombongan bule telah lebih dulu meninggalkan Basecamp Paltuding. Sepanjang jalan kami menceritakan banyak hal. Mulai dari obrolan seputar kehidupan di Jabodetabek. Tentang penumpang ojek online di Surabaya Pasar Turi yang harus berjalan cukup jauh. Tentang rencana Bang Alwi dan Kak Nabila yang siang itu mau langsung ke arah selatan. Cerita Mas Adit dan Mbak Siska yang sejak beberapa tahun silam sering bolak balik Surabaya–Banyuwangi–Bali–Lombok. Tentang perjalanan Mas Adit menuju Baluran pada tahun 2017 yang masih berupa hutan dengan jalan makadam. Perbincangan seputar perjalanan backpacker yang menyenangkan. Juga salah satu rencana Mas Adit mendaki Bukit Anak Dara yang merupakan satu dari seven summits sembalun, bersamaan dengan Gunung Rinjani dan beberapa lainnya yang ada di Lombok Timur.
"Next? Semoga bisa ikut jejaknya Mas Adit. Bepergian jauh hingga ke Nusa Tenggara dan menapaki puncak-puncak cantik yang ada di sana." Harap saya di dalam hati.
Siang itu kami berpisah. Bang Alwi dan Kak Nabila turun lebih dulu di penginapannya, melanjutkan perjalanan menuju arah selatan. Mas Adit dan Mbak Siska turun di Ketapang, melanjutkan perjalanan menuju Lombok. Sedangkan saya turun di halaman Stasiun Banyuwangi Kota untuk meneruskan perjalanan menuju Pulau Dewata.
"Semoga bisa ketemu lagi di tempat lain, ya!" Ucap kami sebelum berpisah.
Bersambung...
Cerita Perjalanan Solo Backpacking (Part 3 - Bali, Aku Kembali)
0 Komentar