Cerita sebelumnya;
Cerita Perjalanan Solo Backpacking (Part 2 - Banyuwangi; Mutiara dari Timur)
-----
Bali, 28 Agustus–2 September 2023
Siang itu ombak di Selat Bali cukup besar. Membuat kapal terombang-ambing ke kiri dan kanan. Saya dan beberapa penumpang lain memilih duduk di geladak. Menikmati hamparan laut dengan latar belakang pegunungan di berbagai sisi.
Pemandangan Selat Bali |
"Ombaknya masih mending, belum separah ombak arah Lombok." Celetuk salah satu penumpang.
Hampir 1 jam berselang, kapal bersandar di Pelabuhan Gilimanuk. Hanya ada beberapa orang pejalan kaki yang menumpang kapal ini, sisanya merupakan penumpang yang membawa kendaraan. Kami berjalan menyusuri trotoar menuju Terminal Gilimanuk. Sesekali calo menawarkan transportasi menuju berbagai daerah yang ada di Bali.
"Mau ke mana? Denpasar? Singaraja?"
Memasuki area terminal, beberapa bus jurusan Denpasar berbaris menunggu waktu keberangkatan. Beruntung saya tak perlu menunggu terlalu lama karena kedatangan saya hampir berbarengan dengan jadwal keberangkatan Bus Sehati pada pukul 14.30.
Sebagai informasi, rute Gilimanuk–Denpasar pp dilayani oleh beberapa perusahaan otobus. Waktu keberangkatannya pun hampir ada setiap jam. Namun menurut saya Bus Sehati merupakan bus yang paling bisa diandalkan karena memiliki jadwal dan tarif yang pasti. Tarif Gilimanuk–Denpasar atau sebaliknya Rp60.000, sedangkan jika booking terlebih dahulu maka tarifnya hanya Rp50.000. Berbeda dengan bus lain yang tarifnya beragam, mulai dari Rp50.000 hingga 70.000.
Puja Trisandya
Beberapa kilometer selepas Gilimanuk, sopir bus menepikan kendaraannya di salah satu pura kecil. Menyalakan dupa wangi, menyiapkan canang sari, lalu bergegas masuk ke dalam pura untuk sembahyang. Begitu pula ketika waktu menunjukkan pukul 18.00, sopir memutarkan lantunan Puja Trisandya melalui siaran radio lokal. Mungkin terlihat biasa bagi warga Bali, tapi bagi saya ini adalah pengingat untuk selalu mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa di mana pun kita berada. Terlebih ini merupakan kali pertama saya ke Bali dengan cara ngeteng menggunakan transportasi umum yang secara langsung lebih dekat dengan masyarakat dan kebudayaannya. Berbeda dengan perjalanan sebelumnya yang tak menemukan momen seperti ini karena semua telah diatur oleh pihak travel agent.
Membawa dupa dan canang untuk sembahyang |
Drama
Bus tiba di Terminal Ubung setelah menempuh waktu sekitar 4 jam. Cukup banyak penumpang yang turun di terminal ini. Saya dan beberapa penumpang berjalan melipir ke warung nasi tempong di sebelah terminal. Sejenak mengisi perut sebelum kembali melanjutkan perjalanan menuju hotel di daerah Kuta.
Kenyang dengan menu makan yang cukup nendang, dengan santainya saya berjalan masuk ke dalam terminal. Menumpang Trans Metro Dewata jurusan Kuta. Duduk selonjor sambil menikmati macetnya Kota Denpasar dari dalam bus yang nyaman. Terlalu santai, akhirnya saya menyadari sesuatu.
"Goblokkk, tas gue ketinggalan di terminal!"
Tinggal beberapa menit lagi sampai Kuta, segera saya turun di perhentian terdekat. Memesan grab kembali ke arah terminal dengan perasaan panik.
"Ngebut ya, Pak! Tas saya ketinggalan di terminal."
Driver grab saat itu sangat pengertian. Memacu kendaraannya dengan cepat. Tak sampai 15 menit sudah kembali tiba di Terminal Ubung. Namun sial, tas saya tak ada di sana.
"Pak, coba kita ke warung sebelah barangkali ada di sana."
Terburu-buru menuju warung sebelah, nasib baik masih mengiringi. Tas ransel eiger yang baru pertama kali dipakai ini ternyata masih rezeki saya. Entah bagaimana ceritanya bisa tertinggal, yang jelas saya ucapkan terima kasih banyak kepada pemilik warung yang telah mengamankan, juga Pak Gede selaku driver grab yang benar-benar cekatan membantu. Semoga hal baik selalu menyertai kalian.
Desa Adat Penglipuran
Sial, rencana trekking ke Gunung Batur pagi itu terpaksa gagal. Hotel capsule di kawasan Kuta ini mampu membuat saya terlelap dengan nyaman hingga menjelang pukul 11 siang. Terlebih malam sebelumnya saya tidak tidur sama sekali.
Segera saya bebersih diri kemudian mencari informasi rental motor. Berselancar di media sosial, akhirnya menemukan salah satu rental motor yang direkomendasikan banyak orang. Yoko Rental Motor Bali; Link facebook klik di sini, link instagram klik di sini.
Siang itu saya memacu honda beat yang biaya sewanya Rp70.000 per hari menuju Desa Adat Penglipuran. Google maps yang memperkirakan waktu tempuh selama 1,5 jam nyatanya molor menjadi 2 jam. Walau begitu perjalanan sungguh menyenangkan. Melintasi kota-kota kecil seperti Sukawati, Gianyar, dan Bangli. Belum lagi suasananya yang belum lepas dari hari raya Galungan. Penjor yang terbuat dari janur kuning menjulang tinggi di sepanjang jalan. Ditambah aroma dupa wangi dari pelinggih yang ada di setiap sudut rumah. Semerbak sekali.
Memasuki desa yang dinobatkan sebagai desa terbersih di dunia, suara gamelan khas Bali mengalun di setiap sudut. Berjalan menyusuri rumah warga yang tertata rapi. Terpana dengan bangunan khas yang bentuknya sama antara satu dengan lainnya. Menurut beberapa sumber, desa ini memenuhi konsep Tri Hita Karana, tiga falsafah terbentuknya kebahagiaan masyarakat Bali.
Desa Adat Penglipuran |
Penjor yang dipasang ketika hari raya Galungan |
Berkunjung ke rumah warga adalah hal yang menyenangkan selama berada di Desa Adat Penglipuran. Saat itu saya mampir di kediaman Pak Wayan. Sambil menikmati secangkir kopi, Pak Wayan banyak bertanya tentang perjalanan saya. Sama seperti Pak Iskandar, tampaknya orang-orang paruh baya yang saya temui begitu penasaran dengan perjalanan ini.
"Kamu beneran sendiri? Dari Denpasar ke sini naik apa? Kerja atau kuliah? Ke sini liburan aja atau ada tugas? Mau ke mana lagi setelah dari sini?" Tanya Pak Wayan penasaran.
Pak Wayan dan istrinya juga bercerita tentang Desa Adat Penglipuran yang seluruh warganya masih menjalankan tradisi dari nenek moyang. Beliau juga mempersilahkan saya melihat-lihat bagian dalam rumahnya. Sama seperti rumah lainnya, rumah Pak Wayan memiliki bangunan baru dan bangunan yang masih tradisional. Terdapat juga sebuah pura di halaman belakangnya. Rasanya betah berlama-lama di sini, seperti di kampung sendiri.
Salah satu bangunan tradisional di rumah Pak Wayan |
Pak Wayan dan istrinya |
Saat hendak meninggalkan desa, ada beberapa anak yang sedang asyik bermain. Berlarian ke sana ke mari, bersembunyi di celah-celah bangunan, menghindar dari mainan barong ketek yang menyeramkan. Mereka adalah Kenzi, Sandhika, dan Made, anak-anak lucu asli Penglipuran
Anak-anak Penglipuran |
Tari Kecak Uluwatu
Menyaksikan pertunjukan tari kecak di Uluwatu merupakan wish list saya sejak lama. Sebelumnya pernah 2 kali ke Bali, tapi sayang belum jodohnya ke tempat ini. Buru-buru saya mencari informasi mengenai tiket online. Scroll grup Backpacker's Indonesia dan akhirnya menemukan rekomendasi tiket yang dijual di shopee. Membeli tiket online tentunya sangat mempermudah. Selain tak perlu antre di loket, harganya juga lebih murah.
Sore itu matahari bersinar cukup terik. Saya dan ratusan pengunjung lainnya menantikan dimulainya tarian di sebuah amphitheater yang langsung menghadap ke Samudra Hindia. Terlihat aktivitas beberapa perahu nelayan di kejauhan. Asyik sekali memandanginya.
Tarian dimulai tepat pukul 18.00. Diawali dengan masuknya sekitar 50 orang laki-laki yang duduk melingkar sambil berteriak "cak cak cak cak cak cak."
Bagian awal tari kecak |
Tari kecak sendiri merupakan tarian asal Bali yang tidak diiringi musik, tetapi diiringi oleh suara 50 orang laki-laki. Alur ceritanya mudah dipahami dan setiap pengunjung diberikan kertas penjelasan. Singkatnya tarian ini menceritakan epos Ramayana yang di mana Rahwana terpikat dengan kecantikan Dewi Sita lalu menculiknya dari Rama menuju Alengka Pura. Dengan bantuan Hanoman, Dewi Sita dapat bersatu kembali dengan Rama
Adegan ketika Hanoman dibakar para Raksaga |
Adegan akhir tari kecak |
Pertunjukan selesai ketika matahari terbenam |
Saya sangat merekomendasikan teman-teman untuk menyaksikan tarian ini. Dengan latar belakang matahari terbenam di Samudra Hindia, ini merupakan pengalaman yang tak boleh dilewatkan. Cantik sekali!
Drama Part 2; Pilih Lombok atau Gunung Agung?
Rencana awal perjalanan ini sebenarnya dimulai pada tanggal 28 Agustus dan berakhir sekitar 2 minggu setelahnya dengan memasukkan Gunung Agung sebagai salah satu list tujuan perjalanan. Namun 5 hari sebelum keberangkatan, lamaran kerja saya diterima dan diminta mulai aktif kerja pada 1 September. Alhasil saya mengubah rencana perjalanan menjadi tanggal 25–31 Agustus tanpa memasukkan Gunung Agung sebagai tujuan perjalanan.
Persetan, ketika pulang dari Baluran saya dikabarkan melalui pesan WhatsApp bahwa kontrak kerja tersebut dibatalkan karena beberapa hal. Antara sedih, senang, bingung, dan dilema. Semua rasa campur aduk.
Kembali menyusun rencana perjalanan karena waktu yang dimiliki menjadi yang lebih panjang. Tiket pulang segera di-refund. Sialnya pengeluaran tetap saja bengkak, terutama jika saya memaksakan ke Gunung Agung pada tanggal 2–3 September. Tapi ada rasa sayang jika tak menjejaki keindahannya.
Setelah browsing di berbagai media sosial, melanjutkan perjalanan ke Lombok selama 3 menjadi pilihan tepat. Terlebih ketika saya ngobrol dengan Bang Tomy, driver grab yang sedang istirahat di warung jawa yang terletak tak jauh dari hotel. Ia begitu meyakinkan bahwa perjalanan ke Lombok tak semahal yang dibayangkan.
Namun ketika sedang menunggu pertunjukan tari kecak dimulai, saya dipertemukan dengan Kak Tia, salah satu solo backpacker asal Jakarta yang duduk di sebelah saya. Kami menceritakan tentang perjalanan kami masing-masing. Saat itu juga Kak Tia memantapkan saya untuk ke Gunung Agung karena kebetulan ia juga mau ke sana tanggal 3–4 September.
"Mending ke Gunung Agung. Tanggal 2 masih 2 hari lagi, bisa dipake buat nyiapin barang-barang atau lanjut keliling Bali. Daripada ke Lombok cuma 3 hari apa yang dicari, mending puas-puasin di sini." Ucapnya meyakinkan.
Ubud; Campuhan Ridge Walk
Melengkapi tempat-tempat yang belum dikunjungi selama di Bali, tujuan saya selanjutnya adalah Ubud. Sengaja saya menumpang Trans Metro Dewata dari pusat kota. Hanya membayar Rp4.400 dan duduk manis menikmati pemandangan. Perjalanan ditempuh selama 1 jam lebih.
Bukit Campuhan menjadi tujuan utama ketika berada di Ubud. Menjawab rasa penasaran sekaligus melakukan pemanasan sebelum ke Gunung Agung. Berjalan sekitar 800 meter dari Pasar Seni Ubud bukanlah hal yang melelahkan. Sepanjang jalan kita akan diperlihatkan dengan deretan pertokoan ala negeri-negeri di Eropa. Banyak pula wisatawan asing yang menyusuri jalan ini. Seperti berada di belahan bumi yang lain.
Patokan menuju Bukit Campuhan adalah sebuah resort yang bernama Ibah. Dari situ sudah ada petunjuk yang jelas menuju Bukit Campuhan. Berjalan menurun melewati pepohonan rimbun menuju Pura Gunung Lebah sebagai titik awal menuju Bukit Campuhan.
Petunjuk menuju Bukit Campuhan dari Resort Ibah |
Masuk ke area Bukit Suci Gunung Lebah ini tak dipungut biaya sepeser pun. Tak ada puncak di Bukit Campuhan. Tempat ini hanyalah sebuah jalan setapak di punggungan bukit yang biasa dilalui warga ataupun wisatawan. Sore itu Bukit Campuhan cukup ramai oleh wisatawan asing dan beberapa warga lokal. Jalan santai menyusuri punggungan bukit sangat menyenangkan. Sesekali saya duduk terdiam sambil menikmati suasana sore.
Bukit Campuhan |
Bukit Campuhan |
Trans Metro Dewata
Untuk kembali ke kota, saya menumpang Trans Metro Dewata lagi. Menunggu sekitar 15 menit di depan Pasar Seni Ubud, bus yang saya tumpangi akhirnya tiba. Perjalanan menuju pusat kota memakan waktu yang lebih lama. Kawasan Ubud di sore hari tak pernah lepas dari kemacetan. Banyak wisatawan yang juga bergegas meninggalkan Ubud menuju tempat lain.
Trans Metro Dewata |
Satu setengah jam perjalanan sama sekali tak membosankan. Penumpang Trans Metro Dewata cukup beragam. Mulai dari wisatawan, warga lokal, penjual kipas di Pasar Ubud yang hendak kembali ke rumahnya di Batubulan, pegawai sebuah resort yang baru pulang kerja, hingga anak sekolah dengan pakaian adat yang khas. Seperti itulah definisi transportasi umum. Milik semua dan dapat dinikmati oleh siapa pun.
Penumpang yang beragam |
Selain Ubud, Trans Metro Dewata juga menjangkau beberapa daerah seperti Denpasar, Tabanan, Sabur, Kuta, dan Bandara Ngurah Rai. Transportasi umum yang tarifnya hanya Rp4.400 ini cukup menghemat pengeluaran saya selama di Bali. Waktu tunggunya pun hanya sekitar 10 menit. Untuk peta dan informasi lainnya silakan klik di sini atau di sini
Terima Kasih, Capsule Inn Bali
Tak terasa 6 hari 5 malam telah saya lalui di salah satu hotel dengan pelayanan yang baik, Capsule Inn Bali. Hotel murah yang per malamnya hanya Rp87.000 via aplikasi Traveloka. Hampir tiap malam menghabiskan waktu di balkon sambil menikmati alunan musik dari cafe seberang. Sesekali berbasa-basi dengan bule yang juga bermalam di sini. Bercengkrama dengan Bang Soleh, salah satu staff asal Pulau Sapeken yang telah beberapa tahun merantau di Bali. Saling berbagi cerita, terutama tentang jalan hidupnya yang beberapa kali mengalami pasang surut di perantauan. Walau begitu, ia sudah terlanjur nyaman hidup di Bali, dapat jodohnya pun di Bali.
Bagian dalam Capsule Inn Bali |
Sabtu pagi saya pamit dari hotel ini. Berjabat tangan sambil mengucapkan terima kasih atas pelayanan yang luar biasa selama 5 malam. Bergegas ke arah timur laut menuju gunung tertinggi di pulau ini; Gunung Agung.
Bersambung...
Cerita Perjalanan Solo Backpacking (Part 4 - Pendakian Gunung Agung via Taman Edelweis)
0 Komentar