Journey to Malang, Bali, Jogja (Part 3 - Bali)

Cerita sebelumnya;

Journey to Malang, Bali, Jogja (Part 2 - Bromo dan Museum Angkut)

-----

Rahajeng Semeng, Bali

Setengah sadar, mata saya terpana pada laut di luar yang tampak bergerak. Perlahan menjauh dari daratan yang dikelilingi pegunungan. Ternyata bus yang kami tumpangi telah memasuki bagian lambung kapal. Posisinya terjepit dengan kendaraan besar lainnya sehingga pintu tak bisa dibuka. Sopir sengaja tak membangunkan kami. Mungkin agar tak mendapatkan protes dan cibiran dari penumpang. Angan untuk dapat menikmati sunrise dari atas kapal harus terkubur pagi itu. Saya hanya bisa melihat sunrise melalui status WhatsApp yang dikirim teman lain yang berbeda bus. Hanya bus yang saya tumpangi yang penumpangnya tak bisa naik ke atas dek. Sial.

Hampir 1 jam menahan kesal, kami tiba di Pelabuhan Gilimanuk dengan cuaca yang cerah. Langit tampak biru dengan gradasi merah dan jingga di ufuk timur. Terlihat pula teman-teman mahasiswa dari bus lain yang berjalan menuruni tangga kapal. Mereka tampaknya begitu senang bisa beristirahat di atas kapal sambil menikmati pemandangan laut yang indah. Ah, enak sekali jadi mereka.

Keluar dari kawasan Pelabuhan Gilimanuk, iring-iringan rombongan bus kami perlahan menyusuri jalur Bali Utara. Pepohonan rimbun menghiasi kiri kanan jalan. Pemukiman penduduk tak terlihat padat seperti di kota-kota besar. Tampak pula laut biru di sebelah jendela sebelah kiri. Sedangkan jendela sebelah kanan dihiasi pemandangan perbukitan. 

Hampir satu jam perjalanan, kami istirahat di salah satu rumah makan yang sangat luas dengan toilet yang mencukupi. Sarapan yang cukup mengasyikkan karena rumah makan ini terletak di kaki sebuah bukit. Suasananya begitu hangat ditambah hiburan karaoke antar sesama dosen dan mahasiswa. 

Sejenak saya dan Rifki melipir ke salah satu warung di seberang jalan untuk membeli rokok. Hampir sama seperti di tempat-tempat sebelumnya, warung ini hanya menjual rokok sekelas filter, kretek dan rokok merk lokal dengan berbagai varian. Tak ada sampoerna mild di sini.

"Sampoerna mild di sini nggak ada. Adanya arak bali, kamu mau?" Ucap pemilik warung.

Dataran Tinggi Bedugul

Meninggalkan rumah makan, rombongan bus kembali bergegas menyusuri pesisir utara Bali. Nuansa Hindu sudah mulai terasa walau sesekali terlihat sekolah dan lingkungan muslim dengan beberapa wanita berhijab. Memasuki Kota Singaraja, bus mengarah ke pegunungan di bagian selatan. Menempuh jalan lintas Singaraja – Denpasar yang menanjak. Melintasi jalan berkelok dengan tikungan yang cukup tajam. Semakin ke atas terlihat pula lautan di kejauhan. Tampak pula beberapa kapal besar yang hanya terlihat seperti sebuah titik kecil.

Salah satu sudut Dataran Tinggi Bedugul.

Kami melewati kawasan Dataran Tinggi Bedugul yang masih asri. Terlihat kawanan kera berkeliaran di sepanjang jalan. Tak lama bus yang kami tumpangi menyisir pinggiran Danau Beratan. Salah satu danau di Pulau Bali yang di tepiannya terdapat Pura Ulun Danu Beratan yang menjadi latar belakang uang pecahan Rp50.000. Seketika saya teringat dengan kenangan 12 tahun silam ketika mengunjungi tempat ini bersama rekan kerja ayah saya.

Tujuan kami saat itu adalah The Blooms Garden yang letaknya agak masuk ke dalam. Tempat ini merupakan kebun bunga yang mungkin lebih cocok untuk wisata keluarga atau gerombolan wanita paruh baya. Namun kami tetap menikmatinya karena selain udara yang segar, di sini juga terlihat Samudera Hindia di bagian selatan serta deretan Gunung Agung dan Gunung Abang di bagian timur.

Samudera Hindia di kejauhan sana.

The Blooms Garden.

Sebelum turun ke Kota Denpasar, kami berkunjung ke Pusat Oleh-oleh Joger. Terkesan wating time sebenarnya, karena sebagian besar dari kami hanya melihat-lihat saja. Harganya tidak pas di dompet, bahkan banyak dari kami yang justru membeli oleh-oleh dan cinderamata di salah satu toko yang terletak di seberang jalan karena harganya lebih miring. Saya dan beberapa teman-teman kelas H memilih santai di kedai jus sebelah sambil bercengkrama seputar pulau dewata dengan penjualnya.

Malam Hangat di Kota Denpasar

Hari kian gelap, rombongan kami beranjak menuju Neo Hotel yang terletak di kawasan Gatot Subroto. Perjalanan malam menembus keramaian Kota Denpasar amat mengasyikkan. Banyak sekali hal unik di balik jendela bus mulai patung-patung kepercayaan umat Hindu yang tersebar di berbagai sudut jalan hingga warga sekitar yang baru saja menyelesaikan upacara pembersihan pura.

Kami bermalam di hotel yang cukup mewah. Kamarnya memiliki desain minimalis. Pendingin udaranya mampu membuat kami merasa nyaman. Pencahayaan ruangannya enak dipandang. Kasurnya sudah pasti empuk, seakan-akan gravitasinya begitu kuat, membuat kami malas beranjak darinya.

Tak mau melewati kesempatan, saya dan teman-teman kelas H melipir ke angkringan samping hotel. Satu meja semua saling bercerita tentang banyak hal hingga larut di tengah angin malam Kota Denpasar. Selain di dalam bus, tampaknya ini merupakan kali pertama kami bisa berhubungan lebih intens selama perjalanan.

Malam hangat di Kota Denpasar.

Beberapa teman laki-laki se-angkatan yang jumlahnya memang bisa dihitung jari juga ikut menyusul. Perkumpulan malam itu layaknya sebuah reuni karena beberapa dari kami sempat menghubungi kawan semasa sekolah yang berdomisili di Bali dan jadilah angkringan itu sebagai tempat pertemuannya.

Waktu semakin larut, kami kembali masuk ke dalam hotel. Lagi-lagi berbincang banyak hal di kamarnya Fakhri. Sebagian terhanyut di tengah nikmatnya hangat arak Bali. Malam yang hampir sama seperti di rumah Bude Zurufa.

Living With a Culture

Keesokan paginya beberapa dari kami yang isi dompetnya mulai habis mencoba berjalan keliling sekitar hotel untuk mencari bank. Sepanjang kami berjalan kaki banyak sekali sesajen canang sari yang diletakkan di pelinggih sepanjang jalan. Beberapa canang sari juga terlihat di jembatan, pohon, bahkan sengaja diletakkan di tengah trotoar. Telihat begitu cantik walau mungkin menimbulkan kesan mistis bagi orang awam.

Saya begitu terpana dengan budaya yang ada di Bali. Rumah-rumah dengan ornamen dan arsitektur yang khas. Orang-orang dengan pakaian dan perlengkapan adat yang tak pernah lupa sembahyang. Anak sekolah yang rambutnya wajib dikuncir 2. Masyarakat yang masih menggunakan sistem penamaan berdasarkan kasta dan urutan kelahiran. Pelinggih dan tempat peribadatan yang dibangun di setiap sudut rumah. Hingga tempat-tempat modern seperti gerai makan KFC, McD, Richeese, dan bank-bank milik pemerintah ataupun swasta yang selalu mencantumkan aksara Bali dalam penamaan merk dagang mereka. Sebuah definisi living with a culture.

Canang sari yang diletakkan di pelinggih.

Canang sari yang diletakkan di jembatan.

Canang sari yang diletakkan di pohon.

Pantai Pandawa dan Garuda Wisnu Kencana

Sekitar pukul 8 kami beranjak menuju Pantai Pandawa. Melalui beberapa titik kemacetan. Melewati indahnya Tol Bali Mandara yang berada tepat di atas laut. Juga melintasi elitnya kawasan Bali Selatan. Perjalanan yang ditemani seorang tour guide bernama Bu Made ini sangat interaktif karena beliau juga membuka sharing session tentang apa saja yang ada di Bali.

Tol Bali Mandara.

Sesampainya di kawasan Pantai Pandawa kami terpesona dengan tebing-tebing kapur yang terdapat di sepanjang jalan. Pantai yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia ini memang terletak di balik perbukitan kapur. Perbukitan tersebut dibelah sehingga menghasilkan tebing-tebing indah di sekitarnya. Terdapat pula beberapa patung Pandawa Lima dan Kunti yang dipahat di salah satu sisi tebing tersebut.

Menyusuri bibir pantai kami dibuat terpukau dengan gradasi warna air yang jernih serta pasir putih dengan sedikit campuran warna pink. Beberapa perahu nelayan tampak bersandar di tepi pantai.  Ombaknya tenang, tetapi mandi di sini bukan hal yang disarankan. Sambil menikmati suasana, kami memilih menepi di salah satu warung kelapa muda.





Sama seperti di tempat lainnya, terlihat banyak sekali canang sari yang diletakkan di berbagai sudut. Beberapa sengaja ditempatkan di sepanjang garis pantai. Kami sempat memperhatikan salah satu warga lokal yang baru saja menyiapkan sesembahan ini di atas pasir putih. Tangannya kemudian mengayunkan dupa dan bunga berwarna putih sambil membacakan lantunan doa.

"Untuk memohon keselamatan." Katanya singkat.

Patung dan sesajen yang ada di Pantai Pandawa.

Canang sari yang diletakkan di bibir pantai.

Seorang pria yang sedang memberi sesembahan.

Cukup lama berpelesir di Pantai Pandawa, kami melanjutkan perjalanan menuju Garuda Wisnu Kencana. Taman budaya yang biasa disebut GWK ini di dalamnya terdapat patung yang menjadi salah satu patung tertinggi di dunia. Patung tersebut adalah patung Dewa Wisnu yang sedang menunggangi burung garuda.

Tak banyak yang kami lakukan di tempat ini. Selain karena ada revitalisasi, teriknya sinar matahari membuat kami hanya mengelilingi sebagian tempat sambil mengabadikannya untuk kenang-kenangan. 


Hari semakin sore, segera kami menuju Pusat Oleh-oleh Krisna yang terletak di Sunset Road. Kami mengabiskan waktu selama berjam-jam di tempat ini. Selain untuk mengganjal perut, barang-barang yang dijual sangat beragam. Terdapat banyak sekali cinderamata mulai dari gantungan kunci, kaos oblong, hingga tote bag yang unik. Oleh-olehnya pun beragam mulai dari camilan seperti pie susu hingga kacang bali. Harganya yang miring membuat kami kalap. Kantung-kantung besar hingga kardus yang jumlahnya banyak akhirnya memenuhi bagasi serta kabin penumpang di atas bus.

Terima Kasih, Bu Made. Terima Kasih, Bali

Sebelum meninggalkan Pulau Bali, Bu Made yang setia memandu perjalanan selama 2 hari ini pamit. Perpisahan itu rasanya agak mellow, selain orangnya yang informatif, Bu Made selalu mendoakan kesuksesan kami. Beliau menganggap kami seperti anaknya sendiri karena kebetulan anaknya juga sama-sama mahasiswa semester akhir yang bernama Bintang. Semoga kesehatan dan kebahagiaan selalu menyertai Bu Made, Bintang, dan keluarga.

"Kalian tahu bangunan apa yang paling tinggi di dunia? Masjid, karena kubahnya dapat meraih bulan dan bintang. Sukses untuk kalian semua meraih apa yang kalian inginkan." Sedikit kata-kata terakhir dari Bu Made.

Bu Made yang baik hati.

Menjelang malam kami segera meninggalkan Kota Denpasar. Bergeges kembali ke arah barat. Meninggalkan pulau cantik yang kami singgahi selama 2 hari ini. Menyusuri jalan yang membelah Bali Selatan. Hingga akhirnya tiba di Pelabuhan Gilimanuk untuk menunggu penyebrangan ke Pulau Jawa.

Bersambung...

Journey to Malang, Bali, Jogja (Part 4 - Jogja; Akhir Kebersamaan Kita)

Posting Komentar

0 Komentar