Journey to Malang, Bali, Jogja (Part 2 - Bromo dan Museum Angkut)

Cerita sebelumnya;

Journey to Malang, Bali, Jogja (Part 1 - Desa Madiredo)

-----

Perlahan bus yang kami tumpangi bergegas meninggalkan Pujon. Menyusuri jalan yang berkelok dan menurun. Tak lama terlihat hiruk pikuk dan keramaian di pusat Kota Batu. Deretan pegunungan tampak samar di sela-sela pemukiman penduduk. Angkutan kota sesekali membuat perjalanan menjadi tersendat, persis di ibu kota.

Rumput Tetangga Selalu Lebih Hijau

Sekitar 1 jam perjalanan, rombongan kami mulai memasuki Universitas Muhammadiyah Malang yang menjadi salah satu tujuan kami dalam kegiatan KKN-Dik dan studi pengembangan wawasan. Kampus ini tampak begitu luas dan membelah sebuah sungai besar. Gedung perkuliahannya terlihat megah dan terdiri dari beberapa lantai. Fasilitasnya pun tak perlu ditanyakan lagi.

Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

"Beda banget sama kampus kita, ya. Sumpek." Ucap salah satu dari kami.

"Hahaha."

Sesaat kemudian kami diarahkan menuju salah satu aula yang ada di sini. Mengikuti seminar kolaborasi antara Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka). Materi yang dibawakan sangat menarik, mengulik pendidikan di era 5.0. Namun karena beberapa dari kami merasa lelah, materi yang disampaikan semakin lama terasa membosankan. Saya dan beberapa teman diam-diam menjauh dari aula. Berkedok izin ke toilet, kami mengelilingi kampus megah ini. Sore itu begitu cantik. Kami berjalan di atas trotoar yang bersih. Menyusuri sungai besar yang alirannya cukup deras. Memandangi pegunungan sekitar sambil menghembuskan asap dari tembakau yang kami bakar.

Hampir 1 jam cabut dari seminar, kami kembali ke aula untuk menyantap makan siang yang sudah kesorean. Beberapa menit setelahnya kami diarahkan oleh panitia untuk melakukan kegiatan study banding. Beberapa kelompok ditujukan ke ruang lab, beberapa lainnya termasuk saya dipandu menuju ruang seni yang di dalamnya menjadi tempat mahasiswa berlatih drama, teater, dan musik tradisional. Terdapat panggung mini yang dilengkapi oleh peralatan lighting yang cukup mumpuni, hasil karya mahasiswa, serta kumpulan alat musik tradisional. Panitia yang merupakan himpunan mahasiswa PGSD UMM aktif memberikan informasi kepada kami terkait ruang seni ini dan mengenalkan UMM secara keseluruhan

Kebetulan ruang seni ini berada di lantai paling atas. Dari terasnya terlihat gunung-gunung yang ada di kejauhan. Angin sepoi juga terasa menyejukkan. Saya dan beberapa teman yang seharusnya sudah kembali ke bawah sengaja diam tertegun di tempat ini. Menyukai suasana yang berbeda jauh dengan kampus kami. Sesaat menikmati peran sebagai mahasiswa UMM sambil sesekali terlintas sebuah pertanyaan.

"Kenapa rumput tetangga selalu lebih hijau, ya?"

Balkon UMM yang begitu syahdu.

Bromo, I'm Coming!

Setelah menyelesaikan kegiatan seminar dan study banding di UMM, sore itu rombongan kami bergegas menuju Rest Area Alia, salah satu titik poin untuk menuju Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Perjalanan sengaja diperlambat agar tiba di waktu yang tepat. Kami diberi waktu istirahat selama 3 jam di daerah Pantura Probolinggo. Namun tetap saja sesampainya di Rest Area Alia kami masih harus menunggu beberapa jam lagi untuk bisa melanjutkan perjalanan menyaksikan matahari terbit di Penanjakan Point.

Beberapa jenis rokok lokal yang dijual di rest area.

Selama di rest area, saya berusaha memejamkan mata. Namun bisik obrolan hangat teman-teman yang terdengar membuat saya memilih untuk ke sana. Berbincang santai dengan teman seperjuangan, menyeruput secangkir kopi panas. Saya, Rifki, dan Alif juga mencuri waktu berbincang di sudut rest area yang sedikit remang sambil memandangi kerlip lampu di kejauhan sana.

Sekitar pukul 02.00 kawasan rest area mulai dipadati rombongan pengunjung lain. Rombongan kami yang jumlahnya sekitar 200 orang perlahan bergegas menuju Penanjakan Point menggunakan mobil jeep yang jumlahnya puluhan. Iring-iringan rombongan kami beberapa kali sempat berhenti di jalan. Selain karena mesin jeep yang bermasalah, kabarnya ada salah satu mahasiswa yang kesurupan.

Jalan yang berkelok dan menanjak curam, ditambah selentingan tentang salah satu mahasiswa yang kesurupan membuat perjalanan menuju Penanjakan Point terasa cukup mencekam. Sesekali terlihat pemukiman penduduk suku tengger yang di terasnya terdapat pelinggih atau tempat pemujaan. Tampak sunyi dan tenang.

Kabut Oh Kabut

Cukup lama terlelap, kami tiba di kawasan Penanjakan. Saya cukup kaget dengan udara yang begitu dingin, sangat berbeda saat sebelum terlelap. Setengah sadar, saya terjatuh ketika hendak turun dari mobil. Terperosok di tanah dan rerumputan yang basah. Ah, sial sekali.

Kami menyusuri jalan aspal yang di kiri kanannya terparkir banyak mobil jeep. Tak jauh, terdapat sebuah warung yang menyewakan banyak sekali model pakaian hangat. Beberapa dari rombongan kami memilih untuk menyewa jaket agar kondisi tubuh tetap stabil. Beruntung jaket yang saya bawa dari rumah mampu menahan dinginnya udara pagi itu. 

Sambil menunggu waktu, kami menghangatkan badan di warung-warung sekitar. Menyeruput wedang jahe panas dan menyantap semangkuk indomie soto. Diselingi obrolan hangat tentang keseruan dan bagaimana mencekamnya perjalanan tadi. Juga beberapa dari kami yang tak sabar beranjak menantikan terbitnya matahari.

Beberapa menit kemudian kami berjalan sedikit menanjak ke sebuah amplitheater. Duduk bersusun seperti di bioskop untuk menantikan matahari terbit dengan latar belakang Kaldera Tengger, Gunung Bromo, Gunung Batok, dan Gunung Semeru. Pedagang asongan tak henti-hentinya menawarkan cinderamata yang khas. Mulai dari gantungan kunci, kaos, hingga bunga edelweis. 

Cukup lama menunggu, sayang sekali kabut tak kunjung pergi. Alhasil hingga terang kami hanya menyaksikan kabut putih yang tebal. Seperti sedang berada di ruangan dengan latar belakang tembok putih. Agak kecewa sebenarnya, namun kami tetap menikmati dan mengabadikan momen yang mungkin takkan terulang ini.

Di depan jeep sebelum turun ke kaldera.

Di atas Penanjakan Point.

Sebagian Kelompok 11 KKN-Dik.
Kaldera Bromo

Setelah terang kami bergegas menuju Kaldera Tengger. Perjalanan menuju lautan pasir yang indah itu harus ditempuh dengan menuruni jalan yang begitu curam. Mobil jeep tua yang kami tumpangi pun tampaknya agak kewalahan. Beberapa menit berjalan, kabut perlahan menghilang. Hamparan padang pasir dengan rerumputan hijau yang begitu indah jelas terlihat di depan mata. Sulit dijelaskan dengan kata-kata. MasyaAllah.

Sesaat kemudian mobil jeep yang kami tumpangi mulai memasuki area kaldera dan kemudian menyusuri lautan pasir yang begitu luas. Kaldera ini tampak seperti bagian dasar sebuah mangkuk yang dikelilingi oleh pegunungan hijau. Di bagian tengahnya terdapat sebuah Kawah Bromo. Terdapat pula Gunung Batok yang berwarna hijau kekuningan di sebelahnya. 

Pagi itu kami melakukan breakfast with a view. Sarapan yang cukup mewah dan estetik. Menggunakan alas kain piknik yang dihiasi tenda ala-ala dan beratapkan langit biru. 

Breakfast with a view.

Background di tempat sarapan.

Kelompok 11 KKN-Dik.

Keluarga Haji Mukidi.

Selepas sarapan kami diarahkan menuju Pasir Berbisik. Di tempat ini kami istirahat sejenak sambil menikmati suasana. Terlihat pula beberapa sesajen yang diletakkan penduduk sekitar di beberapa titik. Rasanya begitu syahdu ketika melamun di tengah lautan pasir yang luas. Memandangi lalu lalang jeep di kejauhan yang tampak seperti sebuah titik yang berjalan dengan latar belakang pegunungan hijau. Duduk berbaring ditemani hembusan angin sejuk. 

Sesajen umat Hindu yang diletakkan di pelinggih.

Motor.

Jarwo Squad, katanya.

Jeep

Cukup lama berada di Pasir Berbisik, kami bergegas menuju Bukit Teletubbies yang letaknya di balik Kawah Bromo. Perjalanan ditempuh cukup lama karena kami harus mengitari hampir setengah dari Gunung Bromo. Namun saya dan teman-teman di dalam jeep sangat terpesona melihat pemandangan iring-iringan jeep dengan latar belakang pegunungan dan lautan pasir. Hampir mirip seperti berada di Radiator Springs dalam film Cars.

Iring-iringan jeep.

Iring-iringan jeep.

Selama di Bukit Teletubbies, banyak dari kami yang mulai lelah. Hanya sebagian kecil yang terlihat excited meng-explore kawasan ini. Sedangkan saya dan sebagian besar lainnya memilih tetap berada di area parkiran jeep. Istirahat meluruskan kaki sambil menghisap lisong sisa yang kami beli semalam.

Istirahat di parkiran jeep.

Sayang sekali Kawah Bromo tidak termasuk ke dalam list kunjungan rombongan kami. Hemat saya, mungkin karena rombongan kami yang jumlahnya sangat banyak dan dominan perempuan tak memungkinkan jika ke harus kawah. Medannya cukup terjal ditambah aroma belerang yang kuat mungkin menjadi pertimbangan panitia dan pimpinan program studi untuk meniadakan kunjungan ke kawah.

Bahasa Jawa atau Madura?

Dalam perjalanan kembali ke rest area, beberapa kali jeep yang saya tumpangi mogok. Sopir mengira bahwa penyebab mogok adalah mesin yang bermasalah. Beberapa kali berhasil jalan, namun kemudian mogok lagi. Hal ini terus berulang selama beberapa kali

"Jancok, matek maneh." Ucap sopir kesal.

Beruntung sekali sopir jeep yang lain ikut membantu mengutak-atik mesin. Beberapa kali mereka terlihat berdebat menggunakan bahasa jawa yang khas dituturkan masyarakat Probolinggo. Bahasa jawa timuran dengan campuran kosakata dan logat Madura. Agak lucu bagi kami yang baru pertama kali mendengar.

"Di sini memang bahasa Jawanya begini, Mas. Beda dari yang lain karena ada pengaruh bahasa Madura. Solidaritas sesama sopir juga bagus, tiap ada jeep yang mogok pasti dibantu sama yang lain." Ucap pak sopir ketika mobil jeep kami terpaksa ditarik menggunakan tali dengan mobil jeep lain.

Ditarik mobil lain.

"Sebentar ya, Mas. Tunggu di sini sekitar 10-15 menit. Saya cari bensin dulu di atas."

Sesampainya di perbatasan jalan aspal yang menanjak kami baru paham ternyata penyebab mobil mogok bukan karena mesin yang rusak, tetapi karena bensin yang habis. Cukup lama kami menertawakan hal itu karena sebelumnya beberapa sopir tersebut saling berdebat dan terkesan marah-marah mempertahankan argumennya masing-masing, namun prediksi mereka semua salah.

Hampir 15 menit menunggu, akhirnya sopir kembali datang diantar seseorang dengan membawa 1 jirigen bensin eceran. Wajahnya tampak senang karena masalah dapat teratasi. Mobil pun dapat kembali berjalan dengan normal.

"Kon onok duwet gak? Aku pinjem dulu, tadi beli bensin belum bayar." Ucap pak sopir kepada salah satu tukang ojek di Desa Ngadisari dengan bahasa yang khas. Walah-walah, ternyata bensinnya tadi masih ngutang. Lagi-lagi siang itu kami dibuat tertawa oleh tingkah pak sopir,

Selesai dengan urusan bensin, sopir bergegas melajukan jeep-nya dengan cepat. Pasalnya kami merupakan jeep terakhir yang sudah ditunggu di rest area oleh panitia dan teman-teman yang lain. Perjalanan ditempuh 1 jam lebih dan kami semua tertidur sangat pulas.

"Kamu tidur kepalanya sampe keluar kaca, lho. Untung nggak kesabet pohon, Mas." Ucap pak sopir dengan logatnya yang lucu.

Tanpa basa-basi, sesampainya di rest area kami langsung bergegas naik ke atas bus. Sekelebat kemudian rombongan kami perlahan meninggalkan rest area. Menuruni pegunungan hingga tiba di Probolinggo Kota. Menyusuri jalan raya pantura yang legendaris. Memasuki tol Trans Jawa yang baru terhubung hingga Probolinggo. Kembali ke Kota Malang untuk melanjutkan ke destinasi berikutnya, Museum Angkut.

Museum Angkut

Setelah sebelumnya membersihkan diri di salah satu rumah makan, kami tiba di Museum Angkut ketika hari menjelang sore. Selama di Museum Angkut terlihat para mahasiswa saling berkumpul dengan teman kelas atau circle-nya masing-masing. Hal ini sangat wajar karena kami semua sama-sama berpikir "Kapan lagi bisa jalan-jalan bareng sama temen, apalagi temen deket."

Saya dan teman-teman kelas H yang jumlahnya 10 orang berjalan beriringan menyusuri lorong-lorong yang ada. Berjalan santai sambil melihat beberapa pameran. Mulai dari mobil-mobil tua, kendaraan tanpa motor penggerak, pesawat bersejarah, hingga miniatur perkotaan. Kami juga sempat menikmati indahnya Kota Batu dari sebuah ruang terbuka dan berfoto di sana.

Pesawat bersejarah.

Pemandangan Kota Batu dari salah satu sudut Museum Angkut

We are H!

Salah satu sudut Museum Angkut.

We are H!

We are H!

Menjelang gelap, kami terjebak hujan deras di salah satu zona yang bernama Broadway. Beruntung ada beberapa cafe es krim yang bisa ditumpangi untuk berteduh. Ditambah saat itu di Broadway sedang ada sebuah party. Alhasil kami menikmati party tersebut sambil sama-sama memakan es krim.

Hujan-hujan makan es krim.

Party dan pertunjukan mobil di Broadway.

Hari semakin larut, rombongan kami beranjak meninggalkan museum angkut. Dengan diiringi rintik hujan kami mengarah ke ujung timur Pulau Jawa. Menghabiskan malam panjang di atas bus sebelum akhirnya menyebrang ke pulau seribu pura, Bali.

Bersambung...

Journey to Malang, Bali, Jogja (Part 3 - Bali)

Posting Komentar

0 Komentar