Journey to Malang, Bali, Jogja (Part 1 - Desa Madiredo)

Cerita sebelumnya;

Prolog

-----

Sedikit terburu-buru, saya bergegas meninggalkan ruang guru—tempat mengabdi sekaligus mengais sedikit rezeki. Pamit dan memohon doa restu kepada rekan guru lainnya agar diberikan kelancaran selama 11 hari ke depan. Agak berat sebenarnya meninggalkan tanggung jawab sebagai tenaga pengajar kelas rendah. Seringkali terbesit dalam hati; "Nanti anak-anak berisik nggak, ya? Nanti anak-anak ngerepotin guru lain nggak, ya?" Namun lagi-lagi, dukungan dari atasan dan rekan sejawat membuat keputusan saya meninggalkan pekerjaan selama 11 hari menjadi keputusan yang tepat.

"Tenang aja, selama di sana kamu nggak usah mikirin urusan sekolah. Anak-anak biar sama saya." Ujar salah satu rekan guru yang membuat saya sedikit lega.

Memang berat rasanya meninggalkan tanggung jawab di sekolah, terlebih yang ditinggalkan anak-anak kelas 2 yang sedang aktif-aktifnya. Tapi bukan tanpa alasan, ada tanggung jawab yang lebih besar, kewajiban utama demi terwujudnya gelar sarjana pendidikan; mengikuti rangkaian kegiatan Kuliah Kerja Nyata Pendidikan (KKN-Dik) dan studi pengembangan wawasan yang dilaksanakan di Malang, Bali, dan Yogyakarta.

Sepulang dari sekolah, saya bergegas mengurus perlengkapan untuk perjalanan besok. Membuat rekening baru di BCA Dewi Sartika. Berbelanja di salah satu swalayan legendaris di daerah Ciracas. Juga mencicip nasi padang yang katanya paling enak di daerah Condet, hitung-hitung makan nasi padang terakhir sebelum makanan beberapa hari ke depan tak dapat dipastikan bagaimana bentuknya.

Tak lupa mengemas barang seadanya. Bermodalkan tas carrier lapuk yang menjadi saksi bisu perjalanan-perjalanan sebelumnya. Grasak-grusuk dengan barang bawaan, petualangan panjang segera dimulai!

Long Journey Is Begin!

"Mi, di mana? Udah mau berangkat nih."

"Dikit lagi sampe. Tunggu!"

Chat masuk dari salah satu teman cukup membuat saya kelimpungan. Kondisi Jalan Raya Bogor yang tiap paginya macet tak karuan menyebabkan saya sedikit terlambat pagi ini. Enam buah bus berukuran besar terlihat sudah berjejer di parkiran ketika saya memasuki di halaman kampus. Terlihat pula para orang tua yang melepas anaknya pergi. Saling bersalaman lalu dilanjut dengan lambaian tangan.

"Cepetan masuk, tas carrier simpen di bagasi, barang-barang lain sama makanan bawa ke atas aja. Tempat duduk lo udah gue tag, anak-anak kelas H semuanya duduk di belakang." Ujar Saomi sedikit geregetan.

Beruntung dalam perjalanan ini saya dan teman-teman sekelas bisa duduk berdekatan di barisan kursi belakang. Rasanya seperti kembali menjadi mahasiswa baru. Pasalnya, pertemuan  dengan teman-teman sekelas ini baru terjalin lagi setelah sekian tahun kebanyakan komunikasi hanya melalui dunia maya.

Segera bus yang kami tumpangi bergegas meninggalkan kampus. Menjauh dari panasnya hiruk pikuk ibu kota. Menyusuri ribuan kilometer menuju kota apel. Mengantar ratusan mahasiswa untuk melaksanakan KKN-Dik dan studi pengembangan wawasan tahun 2023. 

Perjalanan menuju Malang sangat mengasyikkan. Walaupun saya dan teman-teman kelas H hanya 10 orang karena sebagian lainnya telah melaksanakan KKN di Banten, namun sepanjang perjalan tak henti-hentinya kami dengan teman-teman kelas G dan I yang ada di barisan kursi depan saling ngebanyol. Belum lagi alunan musik yang setia menemani kami hingga memasuki daerah Jawa Timur. 

Foto bersama teman-teman kelas H.

Belasan jam menyusuri berbagai kota, bus yang kami tumpangi tiba di Kabupaten Jombang. Sejenak kami diberi kesempatan untuk meluruskan kaki dan membuang sisa-sisa proses ekskresi dari dalam tubuh.

"Pujon berapa lama lagi, Pak?" Tanya saya kepada penjual pentol.

"Kurang lebih 1,5 atau 2 jam lagi, Mas. Di sana daerah dingin, lho." Jawabnya.

Segera kami meninggalkan tempat peristirahatan. Hari telah beranjak gelap. Bus yang kami tumpangi menyusuri remang-remang rumah warga. Nuansa klasik amat terasa di perjalanan malam ini. Rumah-rumah bergaya arsitektur tahun 70-an mendominasi perjalanan di sepanjang Kabupaten Jombang hingga perbatasan Kediri.

Memasuki Kabupaten Malang, perjalanan didominasi oleh tanjakan curam dan tikungan tajam. Kiri dan kanan jalan pun kini bukan lagi pemukiman warga, melainkan hutan dengan pepohonan rimbun. Jalan yang kami lewati memang membelah pegunungan, melintasi daerah Ngantang hingga berakhir di Pujon. 

"Nanti di perjalanan mendekati Pujon, kita bakal lewat hutan milik Perhutani." Kata Bu Ika, salah satu dosen kami.

Tiba Di Pujon

Bus yang kami tumpangi akhirnya mengakhiri perjalanan di Pasar Agrobisnis Pujon. Udara dingin dan gerimis rintik menyambut kedatangan kami di daerah penghasil susu ini. Sejenak menghirup udara segar, kami bergegas mengambil barang-barang di bagasi bus dan melanjutkan perjalanan menuju Desa Madiredo—lokasi pelaksanaan KKN-Dik—dengan menggunakan mobil losbak milik warga sekitar.

Dari pusat Kecamatan Pujon, perjalanan menuju Desa Madiredo memakan waktu sekitar 20 menit dengan melewati perkebunan warga di tengah kegelapan. Kondisi jalan yang berkelok dan tak ada pengendara selain kami cukup membuat nyali sedikit ciut. Namun beruntung, gemerlap lampu pemukiman di kejauhan terlihat cantik dari atas mobil losbak yang berjalan terengah-engah.

Tak lama, kami tiba di Balai Desa Madiredo. Malam itu kami dijamu dengan hidangan malam dari warga sekitar. Duduk bersama menikmati santap malam di tengah dinginnya udara Madiredo. Kegiatan dilanjut dengan pembukaan dan pengarahan dari pihak program studi dan perangkat desa.

Selepas acara pembukaan, para mahasiswa dilepas ke desanya masing-masing. Saya dan beberapa kelompok stay di Desa Madiredo, sedangkan sebagian kelompok lainnya melanjutkan perjalanan menuju Desa Tawangsari dan Wiyurejo untuk melaksanakan KKN-Dik selama beberapa hari ke depan.

Selama pelaksanaan KKN-Dik di Desa Madiredo saya tergabung di kelompok 11 yang berjumlah 12 orang. Namun karena kelompok saya dan kelompok lainnya lebih dominan mahasiswi, maka rumah singgah untuk mahasiswa laki-laki semuanya digabung. Otomatis saya dan teman-teman mahasiswi kelompok 11 berbeda rumah singgahnya. Saya dan 6 mahasiswa laki-laki lainnya diarahkan menuju rumah Pak Badar dan Bu Zurufa—tempat kami menciptakan sebuah cerita indah selama beberapa hari ke depan. 

Buru-buru beberes dan membersihkan badan dari kotoran yang menempel, segera kami memejamkan mata. Menyiapkan diri untuk kegiatan esok hari. Menyiapkan diri untuk mengukir cerita di desa yang cantik ini.

Kuliah Kerja Nyata, Katanya

Beberapa jam terlelap, hari mulai sedikit terang. Dingin masih saja merambah masuk ke dalam tubuh, meskipun semalaman saya meringkuk di dalam sleeping bag. Samar-samar terdengar suara kresek-kresek. Rupanya Faiq baru saja mandi dan membereskan baju kotornya. Vander, Bintang, dan beberapa teman yang lain tak lama juga bersiap membersihkan diri, tentu saja dengan air yang sangat dingin. Agak lama membulatkan niat, akhirnya dengan sedikit terpaksa saya mandi walau awalnya badan terasa sedikit kram.

Pagi ini kami semua memperkenalkan diri ke pemilik rumah. Pak Badar dan Bu Zurufa yang selanjutnya kami panggil pakde dan bude, sepasang suami istri yang bersahaja ini dengan hangat menerima kami selama beberapa hari ke depan. Senyum mereka berdua tampak begitu tulus, membuat kami betah di sini.

Selama 6 hari di Madiredo, rutinitas kami setiap harinya adalah membantu kegiatan di beberapa sekolah di sekitar dan terjun bersama masyarakat sepulang dari sekolah. Mengelilingi Madiredo yang bersahaja. Dilanjut dengan menghabiskan malam panjang di rumah pakde dan bude.

Saya dan teman-teman kelompok 11 ditugaskan di SDN 2 Madiredo. Awal berkenalan dengan pihak sekolah yang ternyata tak kalah hebat dengan sekolah-sekolah di ibu kota, kami disambut hangat dengan senyum dari guru dan anak-anak di sana. Kami juga berbincang dengan kepala sekolah tentang banyak hal. Mulai dari cerita tentang daerah Pujon yang masih banyak kekurangan guru dan kepala sekolah. Beberapa guru dan kepala sekolah yang merangkap di 2 sekolah. Guru-guru yang merupakan putra putri kebanggan Madiredo. Anak-anak yang berasal dari berbagai daerah. Sekolah negeri berbasis agama. Hingga celotehan tentang Desa Madiredo yang sangat dingin, bahkan guru dan anak-anak yang notabene asli Madiredo pun banyak yang memakai jaket saat kegiatan pembelajaran.

Bersama anak-anak kelas 3.

Kelompok 11.

Foto bersama dosen pembimbing dan guru perwakilan sekolah.

Sebagai informasi, sekolah-sekolah yang ada di dataran tinggi ini seluruhnya berbasis agama, sekalipun sekolah negeri. Maka tak heran jika ada julukan sekolah rasa madrasah bagi sekolah-sekolah di sana. Hal inilah yang menyebabkan anak-anak cukup baik pengetahuan agamanya, yang paling terlihat ketika mereka melantunkan doa-doa pendek atau surah-surah yang ada di Al-Quran, sebelas dua belas dengan qori ternama.

Kami cukup takjub dengan kegiatan ekstrakurikuler yang lengkap, terlebih untuk sekolah di pedesaan seperti SDN 2 Madiredo. Kelasnya juga dihias dengan rapi dengan dekorasi unik yang terbuat dari origami. Sekolah ini ternyata juga memiliki channel YouTube yang aktif mendokumentasikan kegiatan sekolah. Belakangan kami ketahui channel ini dikelola oleh Pak Al, salah satu guru kreatif di sekolah ini.

Selain mengajar, kami juga membantu mengoptimalkan perpustakaan sekolah. Walau sebenarnya kondisi perpustakaan sudah cukup baik, namun karena kotor dan kurang terawat kami berinisiatif untuk membantu merapikan dan menghias dengan dekorasi dari origami. Saat pengerjaan optimalisasi perpustakaan cuaca sangat dingin dan berkabut. Hujan rintik membasahi sekolah sepanjang hari. 

Kegiatan optimalisasi dan pembersihan perpustakaan.

Kegiatan optimalisasi dan pembersihan perpustakaan.

Beberapa hari membantu kegiatan sekolah, kami juga berinisiatif membersihkan toilet sekolah yang kondisinya cukup kotor. Lantainya berlumut, bak penampungannya kotor. Hari itu sebenarnya sekolah sedang libur karena guru-guru ada agenda rapat di kecamatan. Untungnya Bu Ummu dan Bu Bella tetap menyempatkan untuk menjamu kami dengan pentol sambal kacang dan teh manis hangat. Beberapa anak seperti Andre, Aji, Farid, dan Hana yang seharusnya libur juga ikut membantu kami. Jadilah jamuan dari pihak sekolah kami santap bersama-sama di saung pinggir lapangan setelah toilet bersih. Nikmat sekali.

Proses pembersihan toilet.

Anak-anak Madiredo.

Explore Madiredo

Tak hanya di sekolah, kami juga terjun bersama masyarakat Madiredo pada sore hari. Salah satu kegiatan yang kami lakukan adalah berkebun. Kebetulan Pak Muslimin—pemilik rumah yang disinggahi teman-teman mahasiswi—memiliki kenalan yang memiliki kebun sawi putih. Sore itu Pak Muslimin berkenan mengantar kami ke kebun tersebut. Sawi di ladang kenalannya Pak Muslimin dijual dengan harga Rp1.200/kg, kemudian dijual ke daerah Batu dan Malang Kota. Pemilik lahan bercerita kalau sawinya tidak dijual sampai ke Jakarta karena memakan cukup banyak waktu dan biaya.  

Sambil berbincang dengan pemilik lahan, kami juga diberi kesempatan untuk ikut memanen sawi. Tak ketinggalan, kami juga diminta membantu memanen kacang merah. Sore itu suasana begitu mengasyikkan, terlebih latar belakang dari kebun ini sangat memukau mata, pegunungan yang menjulang sejauh mata memandang.

Berkebun (1).

Berkebun (2).

Berkebun (3).

Di lain hari, Pak Muslimin juga mengajak kami memerah susu sapi di salah satu peternakan milik warga. Agak menakutkan bagi kami karena baru pertama kali memerah susu. Belum lagi kami harus memegang puting dari si sapi ini, hal yang cukup menggelikan bagi kami. But we enjoyed dan hal tersebut menjadi bahan tertawaan kami semua. Salut juga untuk bapak pemilik peternakan kecil ini yang setiap harinya mampu memerah 15 liter susu sapi.

Proses pemerahan susu sapi.
Proses pemerahan susu kuda, haha.

Kecamatan Pujon dan desa-desa di dalamnya memang terkenal sebagai daerah penghasil susu di Kabupaten Malang. Susu dari masing-masing peternak disalurkan melalui koperasi untuk kemudian dipasarkan dan diolah lagi di kota. Kami juga berkesempatan melihat bagaimana para pemilik susu menjual susu mereka ke koperasi. Satu hal unik yang kami temui di koperasi tersebut yaitu alat deteksi kemurnian susu. Jika sampel susu yang dimasukkan ke dalam alat tersebut murni, maka alat itu akan mengambang.

Salah satu petugas koperasi sedang mendeteksi kemurnian susu.

Selama di Madiredo kami juga berkenalan dengan Mas Saiful, putra salah satu perangkat desa yang berbaik hati mengantarkan kami menjelajah Pujon dan sekitarnya menggunakan mobil losbak miliknya. Mulai dari mengunjungi kebun apel milik keluarga Mas Saiful yang terletak di Pujon Kidul. Deep talk sambil menikmati indahnya Kota Batu dari atas Paralayang Gunung Banyak. Tak sengaja diajak thrifting di Pasar Pujon. Hingga hujan-hujanan di atas mobil losbak. Sebuah keberuntungan ditakdirkan bisa mengenal Mas Saiful.

Bersama Mas Saiful di Paralayang Gunung Banyak.

Bincang hangat di atas Paralayang Gunung Banyak.

Salah satu sudut Paralayang Gunung Banyak.

Salah satu sudut Desa Madiredo.

Thrifting di Pasar Pujon.
Berkunjung ke kebun apel milik keluarga Mas Saiful.

"Udah jauh-jauh ke sini sayang kalo nggak diajak jalan-jalan." Katanya singkat.

Kehangatan di Rumah Bude

Seharian sibuk dengan program kerja dan kelompoknya masing-masing. Selepas magrib adalah waktu kami—para mahasiswa laki-laki yang biasa disebut Keluarga Haji Mukidi—beristirahat di rumah pakde dan bude. Kopi, teh, jahe, dan coklat panas setia menemani malam kami yang panjang. Sesekali kartu domino juga menghiasi malam panjang yang hangat.

Teman setia obrolan malam.

Obrolan malam tak lepas dari pahit manis kehidupan, tentang pendewasaan, cinta, pekerjaan, masa depan, perkuliahan, aib kampus, juga sisi pahit masing-masing dari kami. Seringkali kami juga terbahak-bahak dengan banyolan dari Fakhri, Daffa, dan Fatur yang selalu mengkambinghitamkan Bintang.

Tak jarang, teman-teman mahasiswa yang bertugas di Desa Tawangsari dan Wiyurejo juga datang. Bercengkrama bersama sambil menghembuskan asap dari tembakau lokal yang dijual di warung-warung sekitar. Sesekali kami mencuri waktu untuk berbincang di teras atas. Mengenakan jaket tebal sambil memandangi gemerlap lampu di kejauhan. Syahdu sekali rasanya.

Malam panjang di Rumah Bude bersama Keluarga Haji Mukidi.

Terima Kasih, Madiredo

Enam hari di Madiredo ada banyak sekali pengalaman dan cerita manis. Mulai dari SDN 2 Madiredo yang memberikan banyak inspirasi. Hangatnya senyum pakde dan bude. Syahdunya obrolan malam di tengah suhu yang semakin tak karuan. Ramahnya warga lokal. Hingga ketulusan keluarga Pak Muslimin dalam menjaga teman-teman mahasiswi kelompok 11.

Setelah malam sebelumnya kami mengikuti kegiatan penutupan KKN di balai desa, pagi ini kami berpamitan dengan pihak sekolah dan warga sekitar. Satu hal yang cukup mengharukan adalah ketika bude yang kesehariannya sangat sederhana tetapi beliau rela bersolek ketika foto dengan kami.

"Mau foto buat kenang-kenangan harus cantik." Ucap bude seraya kami semua tertawa dan saling berpelukan.

Foto bersama Bude Zurufa yang telah banyak membantu kami.

Saya juga berpamitan kepada keluarga Pak Muslimin yang telah menjaga teman-teman mahasiswi kelompok 11 dan mengenalkan banyak hal tentang Malang, khususnya Desa Madiredo. Keluarga muda ini begitu welcome, termasuk menerima saya yang seringkali hampir bermalam di rumahnya karena larut bermain dengan Farid dan Hana, buah hati Pak Muslimin. 

Hana dan Farid, buah hati Pak Muslimin.

Setelah berpamitan dan saling berharap dapat berjumpa di lain hari, kami meninggalkan Madiredo dengan diiringi lambaian tangan yang semakin menjauh ketika mobil losbak Mas Saiful perlahan meninggalkan desa ini.

Barisan bus di Koperasi Pujon Sae telah siap meninggalkan Pujon. Untuk terakhir kalinya kami berpamitan dengan Mas Saiful yang begitu banyak mengeluarkan effort untuk kami. Saling bertukar kontak dan menunggu pertemuan selanjutnya yang entah kapan. 

Pukul 11.30 rombongan kami bergegas meninggalkan Pujon dengan segala kenangan manisnya. Berjalan menyusuri jalan yang berkelok. Menuruni perbukitan sampai dengan Kota Batu dan melanjutkan rangkaian kegiatan di beberapa kota berikutnya.

"Semoga kita bisa ke sini lagi, ya." Harap kami walau sepertinya tak akan mungkin.

Bersambung...

Journey to Malang, Bali, Jogja (Part 2 - Bromo dan Museum Angkut)

Posting Komentar

0 Komentar