Cerita sebelumnya;
-----
Sehari setelah upacara kemerdekaan, kegiatan belajar mengajar di MI Miftahussholah 2 mulai berjalan normal. Tentu saja ini menjadi hari pertama bagi para relawan untuk berbaur langsung dengan anak-anak di sekolah ini.
Saya dan relawan lain yang tergabung di divisi pendidikan sedari malam sibuk mempersiapkan keperluan penunjang pembelajaran. Beberapa dari kami menyiapkan media pembelajaran. Beberapa lainnya menyiapkan ice breaking.
Fadhliah, Putri, Syaira, dan Nadhira kebagian tugas meng-handle anak-anak kelas rendah. Mereka terlihat membaur dengan tingkah lucu anak-anak yang kadang sedikit menyebalkan. Satu ruang kelas bagian tengah dijadikan kelas gabungan untuk anak-anak kelas rendah. Hal ini terpaksa dilakukan karena ruangan kelas yang ada di sekolah ini terbatas. Beruntung jumlah peserta didik kelas rendah dari masing-masing kelas berkisar antara 5-8 orang saja.
"Pada hari Minggu kuturut ayah ke kota..."
Suara yang dinyanyikan anak-anak kelas rendah dari dalam kelas terdengar samar di telinga saya yang sedang memimpin perkenalan anak-anak kelas tinggi di lapangan sekolah. Berbantuan Aya, Aura, dan Dila, kami kedapatan tugas meng-handle anak-anak kelas tinggi yang luar biasa sekali perbedaannya.
Anak-anak kelas 4 dan 5 yang jumlah totalnya hanya 7 orang terbilang anak-anak yang kalem dan mudah diatur. Jauh sekali perbedaannya dengan anak-anak kelas 6 yang jumlahnya 12 orang. Kelas dengan jumlah anak terbanyak. Kelas dengan anak-anak paling aktif dan susah diatur di sekolah ini. Bahkan sejak hari pertama, Aura dan Dila sebagai penanggungjawab kelas 6 dibuat kelimpungan dengan kelakuan anak-anaknya.
"Kayaknya gue gak sanggup megang kelas 6 deh." Keluh Aura saat evaluasi malam harinya.
"Mereka susah banget diatur, apalagi si Adit." Tambahnya lagi.
"Iya, udah gitu kelas 6 kebanyakan cowo." Sahut Dila.
Teman-teman yang lain ikut menanggapi cerita Aura dan Dila. Fadhliah, Putri, dan Syaira tak mau ketinggalan dengan cerita hari pertamanya bersama anak-anak kelas rendah yang lucu dan sedikit membuat mereka kewalahan. Sedangkan Aya yang anak-anak kelasnya tidak begitu banyak tingkah memilih untuk menjadi pendengar yang baik. Saya sejenak terdiam mendengar percakapan mereka sambil berbicara di dalam hati.
"Apa gue megang kelas 6 aja, ya? Soalnya dari pertama di sini anak-anak kelas 6 banyak yang ikut main dan nanya-nanya ke gue."
Setelah sebelumnya ragu, saya menawarkan diri untuk tukar kelas dan disepakati oleh teman-teman yang lain. Saya yang awalnya bertanggungjawab di kelas 4, ke depannya akan bertanggung jawab untuk anak-anak kelas 6. Begitu pula Aura dan Dila yang sebelumnya bertanggung jawab di kelas 6, mulai besok bertanggung jawab untuk anak-anak kelas 4.
Keesokan harinya, kali pertama memasuki kelas 6, memang benar anak-anak di sini bisa dibilang hiperaktif dan susah diatur. Adit yang seringkali berteriak kencang. Rendi yang hobi memukul meja menggunakan botol kosong. Kevin dan Dapin yang selalu bercanda. Rafa yang dikit-dikit keluar kelas. Juga anak-anak lainnya yang tak kalah berisik. Menyanyikan lagu yang saya pun tak tahu lagu apa yang mereka nyanyikan.
"Kak, boleh jajan?"
"Kak, kapan pulang?"
"Kak, mau ke toilet."
Kata-kata yang menjadi makanan sehari-hari di kelas ini. Cukup membuat kewalahan memang. Untungnya, berkat iming-iming skor bintang di akhir pembelajaran, anak-anak kelas 6 perlahan bisa menuruti perkataan saya.
Ada satu hal yang membuat saya takjub di balik gaduh dan rusuhnya anak-anak kelas 6 ini, mereka sangat excited terhadap matematika. Terlebih Adit, si biang rusuh di kelas ternyata doyan dikasih soal matematika. Begitu juga Rafa, tipikal anak pecicilan ini juga begitu antusias dengan matematika. Anak-anak yang lain pun terlihat sangat kompetitif, tak mau kalah melihat temannya berhasil memecahkan soal matematika.
Pun ketika saya coba menjelaskan materi KPK dan FPB yang menurut saya cukup rumit, pandangan mata saya dibuat terpesona oleh mimik wajah Topan ketika sedang menyimak dan berpikir. Persis seperti tokoh Lintang yang ada di film Laskar Pelangi.
"Aku mau maju, Kak." Ucap Topan saat saya memberikan soal di papan tulis.
Benar saja, Topan dapat menyelesaikan soal dengan menggunakan cara pohon faktor. Teman-teman lainnya pun tak mau ketinggalan. Saling sahut-menyahut. Memberanikan diri maju ke depan memecahkan sebuah soal.
"Kak, aku!"
"Kak, aku mau maju tapi berdua."
"Kak, aku, Kak!"
Keren, satu kata yang mewakili perasaan saya untuk anak-anak kelas 6. Ketika anak-anak lain takut dengan matematika—termasuk anak kota dengan fasilitas pembelajaran yang memadai, mereka justru sangat excited. Generasi emas sekaligus peluang bagi kemajuan Cibuyutan di masa mendatang. Semoga.
Bersambung...
0 Komentar