Danau, Lapang, dan Batu Besar (Bag. 5)

Cerita sebelumnya;

Bagian 4 - Matematika? Siapa Takut!

-----

"Kak, mau jalan-jalan?"

"Kak, ke danau, yuk!"

"Kak, nanti sore ke danau, ya!"

Sejak hari pertama di Cibuyutan, anak-anak tak bosan-bosannya menawarkan kami pergi ke Danau atau sekadar mengelilingi kampung. Danau memang menjadi hal pertama yang dikenalkan anak-anak Cibuyutan kepada para relawan atau mahasiswa yang mengadakan kegiatan di kampung ini. Anak-anak pun dengan senang hati akan mengantarkan kakak-kakaknya menuju Danau atau pun tempat menarik lainnya seperti Lapang dan Batu Besar.

Merasa masih butuh penyesuaian dan pendekatan dengan banyak hal di Cibuyutan, saya memilih bercengkrama bersama Pak Idris di halaman warung miliknya yang letaknya di sebelah selatan sekolah. Duduk di atas kursi papan yang dibuatnya sendiri, sambil sesekali diajarkan cara membuat dan menjaga api agar tetap menyala di atas tungku yang digunakan sebagai alat memasak air. Sesekali, Teh Reni yang setia menjaga warung juga ikut nimbrung.

"Kak Hilmi, ayo ikut kita jalan-jalan!" 

"Emang mau jalan-jalan ke mana?"

"Ke danau, tapi mampir ke Kebun Pak Sama dulu."

"Ikut!!!"

Tiba-tiba ajakan Iara dan anak-anak yang sedang bermain di lingkungan sekolah membuyarkan obrolan kami. Walau sebenarnya masih asyik bercengkrama dengan Pak Idris, saya tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Tanpa pikir panjang, saya langsung berpamitan dengan Pak Idris dan Teh Reni. Mengikuti anak-anak berjalan menyusuri kampung.

-----

Perjalanan Dimulai!

"Rek ka mana?" Teriak Dapin dari halaman rumahnya.

"Ka danau. Hayuk atuh ikut." Ajak teman-teman lainnya.

Segera Dapin bergegas meninggalkan kambing-kambingnya yang sedang digembala. Bergabung bersama kami dan teman-teman lainnya yang sudah siap berkumpul di jalan. Begitu juga Lendrik, tak mau ketinggalan dengan teman-teman lainnya. Berlari kencang menyusul kami dari dalam rumahnya.

Kami berjalan ke arah selatan. Menyusuri rumah-rumah penduduk yang kebanyakan masih terbuat dari kayu. Memandangi perkampungan lain yang terlihat jauh di bawah sana. Melewati jalan setapak sempit yang kiri kanannya ditumbuhi semak belukar dan pepohonan besar.

Sesekali kami berpapasan dengan warga yang sedang mengangkut kayu picung menggunakan sepeda motor. Mereka melewati medan jalan yang sempit dan terjal dengan kayu-kayu berukuran besar yang diikat di bagian kiri dan kanan sepeda motor. Kayu-kayu ini nantinya akan dijual di kota. Beberapa digunakan untuk keperluan sendiri.

Sekian lama berjalan di bawah terik matahari, kami tiba di Kebun Pak Sama. Hamparan sawah yang luas dengan latar belakang perbukitan. Samar-samar, perkampungan lain juga terlihat jauh di bawah sana.

Saya membuntuti Kevin dan Dapin yang sengaja memisahkan diri dari rombongan. Berjalan hati-hati menyusuri pematang. Sejenak berhenti. Duduk di atas bebatuan, di bawah naungan pohon sambil sedikit berbincang.

"Itu gunung apa?" Tanya saya penasaran.

"Gunung Lingga." Jawab kompak Kevin dan Dapin.

"Kalian pernah ke sana?" Lagi-lagi saya bertanya.

"Pernah, dong." Jawab mereka kompak.

"Ayo kita lanjut ke danau." Teriak anak-anak lain di kejauhan.

Tak lama, Kevin dan Dapin berlari ke arah anak-anak lain yang sedang berteduh di saung. Saya pun membuntuti. Berjalan sambil sedikit terkendala karena area persawahan ini berbentuk terasering—seperti tangga. Sedikit hilang keseimbangan bisa saja nyusruk ke dalam lumpur.

Meninggalkan Kebun Pak Sama, kami melanjutkan perjalanan menuju danau. Menyusuri jalan setapak dengan semak belukar yang lumayan tinggi di sepanjang jalan. Melompati beberapa jalan berlubang yang cukup berbahaya. Beberapa kali kami berhenti untuk menuruti kemauan anak-anak, mengambil buah huni dan jambu biji langsung dari pohonnya.

-----

Danau

Berjalan hati-hati menuruni jalan terjal yang kiri kanannya jurang, akhirnya kami tiba di perkebunan yang cukup luas. Sejenak kami beristirahat di saung kecil yang ada di pinggiran kebun. Terdapat aliran irigasi kecil dan mata air sebagai sumber alirannya. Bagai oasis di tengah gurun, kami menemukan mata air saat sedang haus-hausnya. 

Dari dalam saung, terlihat jelas danau di kejauhan. Tampak tenang di ujung perkebunan. Terasa teduh di bawah bukit-bukit yang menjulang tinggi dengan pepohonan rindang menghiasi.

Anak-anak berlarian kencang sambil tertawa bebas. Seakan-akan tak ada beban hidup—walau kenyataannya mereka memang tak memiliki beban hidup yang berarti. Sebagian dari kami tanpa pikir panjang langsung menceburkan diri. Sebagian lain sedikit berpikir apakah ikut basah-basahan dengan mereka atau tidak.

"Ayolah turun. Udah sampe sini masa gak turun." Ledek Ucil dan Iara kepada kami yang masih berada di atas.

"Oke, gue turun!" Jawab saya penuh semangat.

Genangan air yang tadinya jernih tak lama menjadi keruh dan berlumpur saat kami masuk ke dalamnya. Perlu berhati-hati untuk berjalan dan berenang di sini karena danau ini dasarnya adalah lumpur pekat. Walau begitu, anak-anak sangat senang berenang di sini.

"Kak, aku dapet kerang."

"Aku juga."

Seketika kami seperti sedang melakukan perlombaan mencari kerang. Anak-anak terlihat sangat antusias mengumpulkan kerang di pinggiran danau. Sebagian dari kami juga menemukan beberapa jenis ikan kecil. Perlahan-lahan kerang dan ikan yang kami tangkap telah terkumpul lumayan banyak. Tampaknya cukup untuk lauk nanti malam.

"Nanti kerang sama ikannya kita bakar bareng-bareng, ya!"

"Siaaap!!!"

-----

Batu Besar

"Kak, mau jalan-jalan lagi?"

Sepertinya jalan-jalan merupakan hal candu bagi anak-anak Cibuyutan. Sekali kami menuruti mereka jalan-jalan ke danau, mereka akan terus mengajak pergi ke tempat lain. Seakan-akan ada pesan tersirat dari mereka bahwasanya belum ke Cibuyutan kalau belum jalan-jalan mengelilingi kampung.

Sepulang sekolah, anak-anak tak henti-hentinya mengajak para relawan untuk mengelilingi Cibuyutan. Beberapa kali kami menolak ajakan tersebut karena harus menyiapkan beberapa hal untuk kegiatan esok hari. Belum lagi badan kami yang terkadang membutuhkan sedikit istirahat. Namun bagaimana mungkin ajakan itu tidak menggoyahkan pendirian kami, telebih saya yang perlahan mulai nyaman dengan anak-anak kelas 6 yang paling getol mengajak jalan-jalan.

"Kak, sekarang kita ke Batu Besar, ya."

Ucapan dan langkah Lendrik terlihat seperti tour guide yang sedang memandu wisatawan. Anak-anak yang lain pun terlihat berjalan beriringan. Kami menyusuri jalan berbatu yang tampaknya biasa dilewati kendaraan roda empat. Sesekali kami menyapa warga yang ada di sekitar. Mereka pun membalas sambil tersenyum hangat. 

Perjalanan menuju Batu Besar tak sejauh dan sesulit menuju Danau. Letak Batu Besar pun tak jauh dari jalan berbatu yang biasa dilalui kendaraan roda empat. Hanya perlu sedikit berjalan ke dalam sambil menerabas rerumputan. Berbeda dengan perjalanan menuju danau yang medannya cukup ekstrem.

Batu Besar yang dimaksud anak-anak di sini adalah sebuah batu setinggi kurang lebih 4–5 meter yang terdapat di pinggir kebun warga. Batu ini bisa dipanjat tanpa bantuan alat apapun. Bagian atas dari batu ini berbentuk datar dan beberapa bagiannya tertutup naungan pohon, sehingga bisa dijadikan tempat bersantai sambil memandangi Gunung Sungging.


Topan dan Rafa terlihat asyik membuat terompet kecil dari daun pisang. Sedangkan Iki, Rendi, dan beberapa anak lainnya sibuk mengambil buah huni yang pohonnya bersebelahan dengan Batu Besar. Mereka terlihat lincah berlarian menuruni Batu Besar, kemudian hinggap menaiki pepohonan tinggi. Buah-buah yang terkumpul tersebut cukup untuk mengisi pasokan energi kami yang telah terkuras.

"Kak, abis ini kita ke Lapang dulu, yuk!"

"Iya, kak. Kita ke Lapang dulu. Jangan langsung pulang."

-----

Lapang

Menuruti permintaan anak-anak, selepas dari Batu Besar kami langsung menuju Lapang. Menyusuri jalan berbatu yang beberapa titiknya sudah dicor—sebuah kemajuan bagi Cibuyutan. Memutari bagian utara kampung. Melewati jalan yang bagian kanannya lembah. Memetik ilalang yang tumbuh liar di sepanjang jalan sambil bernyanyi.

Setibanya di persimpangan, kami berjalan ke utara. Menyusuri jalan setapak yang dilalui saat pertama datang ke Cibuyutan. Sesekali melipir, memberi jalan bagi motor-motor gunung milik warga yang selesai berkebun. Tak jarang anak-anak juga menceritakan apa saja yang ada di sepanjang jalan.

"Kak, tau gak itu apa?" Tanya Adit kepada kami sambil menunjuk sesuatu.

"Enggak. Emang itu apa, Dit?" Tanya kami penasaran.

"Nanas Merah, Kak." Jawab Adit singkat.

Beberapa menit berjalan, kami mulai memasuki area yang anak-anak sebut sebagai Lapang. Bukan tempat bermain sepak bola seperti yang saya kira, melainkan padang rumput luas dengan bangunan kayu seperti saung di salah satu sudutnya yang anak-anak sebut sebagai vila. Lembah yang cukup dalam menghiasi pinggiran sisinya. Gunung Sungging pun tak mau kalah, terlihat samar di kejauhan. 

Ditemani sinar matahari yang semakin condong ke arah barat. Sebagian dari kami asyik berlarian sambil tertawa. Sebagian lainnya memilih merebahkan badan di atas rerumputan sambil memandangi teduhnya langit sore. Tak lupa saya mengabadikan momen berharga ini yang belum tentu akan terjadi lagi. 



Sore itu ditutup dengan gemuruh hujan di kejauhan. Anak-anak terlihat berlarian meninggalkan Lapang yang sebenarnya belum turun hujan. Sedangkan saya dan beberapa lainnya memilih diam. Mendengarkan gemuruh hujan dari balik bukit. Syahdu sekali.

Bersambung...

Bagian 6 - Buah Huni, Buah Melaka


Posting Komentar

0 Komentar