Cerita sebelumnya;
Bagian 5 - Danau, Lapang, dan Batu Besar
-----
Buah Huni
Berjalan perlahan menyusuri jalan berbatu, mendadak anak-anak berlarian ke arah sebuah pohon besar. Lompat menggenggam ranting, kemudian memetik buah dengan bebas. Buah berwarna merah, hijau keputihan, dan beberapa warna kehitaman yang awalnya saya kira kopi—karena bentuknya mirip dan tersusun rapi di sebuah tangkai, ternyata bukan.
"Ini buah huni, Kak." Ucap Aep menjelaskan.
"Emg di kota gak ada?" Tanya Kevin penasaran.
"Enggak, kakak baru tau malah." Jawab saya sambil mencoba buah huni yang berwarna merah.
"Haseum atuh kak yang warnanya merah. Makan yang warnanya item biar manis." Ujar Kevin sambil sedikit tertawa.
"Kalau yang merah sama ijo enaknya dijadiin rujak, Kak." Tambah Deden singkat.
Rasa asam dari buah huni berwarna merah dan hijau keputihan cukup membuat wajah saya sedikit mengkerut. Kerasnya biji buah ini juga sempat membuat gigi saya sakit. Beruntung, manisnya buah huni yang berwarna kehitaman lumayan membuat lidah saya kembali normal.
"Ini bijinya serius dimakan?" Tanya saya penasaran.
"Iya, Kak. Langsung ditelen aja." Jawab anak-anak meyakini.
Saya yang awalnya mengira di-prank oleh anak-anak, ternyata tidak. Biji buah huni memang bisa langsung ditelan. Anak-anak di sini sama sekali tidak membuang biji buah huni ketika mereka sedang mengunyah. Begitu pula Teh Reni yang di waktu lain sempat menjelaskan bahwasanya biji buah huni boleh langsung ditelan. Tak perlu dikunyah, apalagi dibuang.
Huni sepertinya menjadi buah yang sering dimakan anak-anak Cibuyutan. Mereka seringkali memetik dan memakannya begitu saja. Buah ini juga sering terlihat di etalase Warung Teh Reni. Bukan untuk dijual, melainkan untuk dikonsumsi sendiri. Rasanya yang asam, manis, dan segar menjadi daya tarik tersendiri bagi buah ini.
Seperti penuturan anak-anak, selain dimakan langsung, buah huni juga bisa dijadikan rujak. Pernah suatu hari saya diajak Nopi dan Wina ngerujak di rumah Nopi. Awalnya saya kira buah huni hanya dijadikan campuran, dimakan bersamaan dengan buah lain. Namun ternyata buah ini menjadi satu-satunya buah yang ada di rujak tersebut. Buah huni muda yang berwarna merah dan hijau keputihan langsung diulek berbarengan dengan cabai, gula merah, dan bumbu-bumbu lainnya. Sebelas dua belas dengan rujak bebek.
Setelah diulek cukup halus, rujak langsung dimakan dari ulekannya menggunakan sendok. Sensasinya sangat unik. Perpaduan rasa asam dan pedas cukup membuat lidah dan mata kembali segar.
Buah Melaka
"Ayo manjat pohon dulu, Kak. Buahnya ada banyak, nih." Ajak Aep dan Topan sepulang kami dari Lapang.
Mereka berdua tanpa pikir panjang langsung berlari menaiki pohon yang tingginya sekitar 4 meter ini. Saya pun ikut menyusul. Perlahan-lahan menaiki pohon, karena ini merupakan pengalaman pertama bagi saya. Berbeda dengan Aep dan Topan yang dengan lincah memetik buah yang ada di pohon ini.
"Enggeus euy. Geus meunang loba." Teriak Kevin dan Deden dari bawah.
"Turun, Kak. Nanti banyak semut." Tambahnya lagi.
"Sireum sireum." Teriak Aep yang badannya mulai digigiti semut.
Kawanan semut yang menggigiti tubuh Aep sontak membuat kami bertiga bergegas turun ke bawah. Untung saja buah yang kami ambil sudah terkumpul cukup banyak. Lumayan untuk dinikmati bersama-sama.
"Ini namanya buah melaka, Kak." Ujar Deden penuh semangat.
"Enak kalau dibuat jadi manisan." Tambahnya lagi
Buah seukuran biji kelereng ini memiliki warna hijau sedikit kecoklatan. Buah ini menghasilkan sensasi rasa asam dan pahit ketika dikunyah. Namun setelahnya buah ini akan meninggalkan rasa manis di lidah. Sebuah perpaduan rasa yang unik.
Bagi saya, mengenal buah huni dan buah melaka merupakan pengalaman baru. Dapat mencoba dan memetik langsung buah-buah yang sudah langka ini. Buah yang sangat sulit ditemukan di perkotaan ini—bahkan mendengarnya saja belum pernah—bisa tumbuh subur di Cibuyutan. Sebuah potensi yang seharusnya dijaga dan dikembangkan. Semoga bisa tetap bertahan.
Bersambung...
0 Komentar