Anjing (Bag. 7)

Cerita sebelumnya;

Bagian 6 - Buah Huni, Buah Melaka

-----

Udara sejuk menyelimuti Cibuyutan pagi ini. Beberapa relawan mulai terlihat sibuk. Ada yang bebersih diri, merapikan halaman sekolah, menyiapkan sarapan, ada pula yang masih larut di dalam mimpi. Saya bangun sedikit lebih siang. Bersiap melakukan sholat subuh kala fajar mulai menyingsing. Bergegas mengambil air wudhu di MCK. Tapi ada satu hal yang membuat tanda tanya, sandal saya hanya ada 1, pasangannya hilang entah ke mana.

"Sandal gue yang sebelah kanan mana, ya?" Tanya saya kepada teman-teman yang sedang merapikan halaman sekolah.

"Itu, Mi." Jawab aura tertawa sambil menunjuk ke arah bak sampah.

"Ini sendal gue digigitin anjing?" Tanya saya heran.

"Hahaha, iya." Jawab teman-teman yang lain sambil tertawa.

Sial, sandal yang baru dibeli seminggu sebelum berangkat ke Cibuyutan, sobek di bagian kanannya. Buru-buru saya mencuci sandal itu dari air liur yang sempat membasahi. Sembari dicoba, apakah masih layak pakai atau tidak. Jawabannya masih, tapi memang agak longgar dari sebelumnya. Tampilannya pun jadi sedikit memalukan. Memang dasar anjing.

Sejak pertama di Cibuyutan, kawanan anjing memang tak bosan-bosannya menemani kami. Banyak warga yang membiarkan bahkan merawat anjing-anjing ini layaknya kucing untuk memberantas babi hutan yang kerapkali mengganggu. Anjing-anjing ini juga sengaja dibiarkan untuk menjaga lingkungan rumah dari kawanan maling atau penjahat yang beraksi di malam hari. 

Satu ekor anjing dewasa dan anak-anaknya selalu siaga di depan sekolah. Awalnya kami merasa waswas dengan air liur dan tingkah mereka yang dikhawatirkan akan menyerang manusia. Beruntung lama-kelamaan kami mulai terbiasa. Tingkahnya pun kadang menggemaskan. Terlebih mereka tak pernah menyerang manusia.

Tapi tetap saja, yang namanya hewan tetaplah hewan. Mereka takkan pernah bisa berpikir layaknya manusia. Terbukti, kali ini kawanan anjing menggerogoti sandal saya. Sebelumnya pun pernah beberapa kali mereka bercanda tak kenal waktu. Saling gigit-gigitan dan merengek satu sama lain saat kami sedang makan dan evaluasi. Tak masalah memang, namun suara mereka membuat kami terkejut.

Tak hanya itu, ada beberapa hal menyebalkan lainnya dibalik tingkah lucu kawanan anjing ini. Kerang dan ikan-ikan kecil dari danau yang rencananya akan kami jadikan santap malam, sialnya lebih dulu dijilati oleh kawanan anjing. Kawanan anjing ini juga seringkali memberantakkan sampah-sampah yang sudah dirapikan. Sangat menyebalkan, bukan?

Pernah juga beberapa malam sebelum sandal saya dikoyak kawanan anjing, ketika anak-anak MI Miftahussholah 2 sedang mengikuti kegiatan PERSAMI (perkemahan Sabtu Minggu) di sekolah, ada beberapa anak kelas rendah yang minta diantarkan pulang karena tidak bisa tidur. Saat itu saya berinisiatif mengantarkan Away dengan ditemani Agus dan beberapa anak sebagai penunjuk jalan, Iki dan Deden. Perjalanan menuju rumah Away berjalan tanpa hambatan. Hingga akhirnya kami dapat memulangkan Away di tengah kegelapan.

"Kak, pulangnya ikutin aku, ya! Kita lewat rumah Deden." Ujar Iki.

Jalan pulang melewati rumah Deden yang saya kira akan lebih baik, ternyata tidak sama sekali. Kami diharuskan menuruni jalan tanah yang licin. Beberapa kali pula kami hampir jatuh terperosok. 

Melihat gerak-gerik Agus yang kesulitan saat berjalan cukup membuat saya sakit perut menahan tawa. Semakin lama semakin tak tahan. Tawa itu pun pecah bersamaan dengan lolongan anjing yang saling menyambar satu sama lain. Kampung Cibuyutan yang awalnya sunyi seketika diramaikan oleh lolongan anjing yang saling sahut-menyahut.

"Kak, jangan berisik, nanti dikira maling." Bisik Iki waswas.

Perasaan panik mulai menghantui kami. Terlebih ketika saya ingat bahwa kawanan anjing biasanya akan menggonggong kalau ada orang asing yang mengusik. Rasanya ingin lari, tapi tak mungkin. Berdiam diri apalagi. Tak ada yang bisa dilakukan selain terus berjalan.

Sial, kawanan anjing itu mengira kami maling!

Bersambung...

Bagian 8 - Perjuangan


Posting Komentar

0 Komentar