Dirgahayu (Bag. 3)

Cerita sebelumnya;

Bagian 2 - Gelap di Antara Gemerlap

-----

"Guys, kita besok jadi petugas upacara kemerdekaan, ya."

Ucapan Iara di malam 17 Agustus itu cukup membuat kami kelimpungan. Bagaimana tidak, sebagian besar dari kami yang tak memiliki pengalaman dan bakat paskibra dituntut untuk menjadi petugas upacara kemerdekaan, mendadak pula. Buru-buru membagi tugas, saya kedapatan menjadi pemimpin upacara. Teman-teman relawan lain pun semuanya mendapatkan tugasnya masing-masing. Ada yang menjadi pemimpin barisan, pengibar bendera, tim paduan suara, dan juga dokumentasi.

Berbekal percaya diri dan persiapan minim, upacara yang dihadiri oleh peserta didik MI Miftahussholah 2 dan tokoh masyarakat Cibuyutan ini berlangsung dengan khidmat. Pengibaran bendera merah putih yang diiringi lagu Indonesia Raya cukup membuat bulu kuduk saya berdiri. Jujur saja, ini merupakan pengalaman pertama saya mengikuti upacara kemerdekaan di daerah terpencil, ditugaskan sebagai pemimpinnya pula.


Sejak awal, pandangan saya terfokuskan kepada Pak Idris. Saya amat terharu ketika melihat beliau yang mengenakan pakaian KORPRI berwarna biru mulai memasuki lapangan upacara. Terlihat jelas betapa gagah dan tulusnya perjuangan seorang guru di daerah terpencil dalam upaya membantu memajukan pendidikan. 

"Mari kita isi kemerdekaan ini dengan hal-hal bermanfaat. Salah satunya adalah rajin belajar." Ucap Pak Idris kepada peserta didik MI Miftahussholah 2 dalam pidatonya sebagai pembina upacara.

Perkataan yang menurut saya mainstream, tapi sebenarnya mengandung makna yang sangat dalam. Terlebih untuk anak-anak Cibuyutan yang kesehariannya harus berjuang untuk memenuhi aspek pendidikan.

"Tanyakan semua hal-hal yang kalian ingin tanyakan kepada kakak-kakak Pendekar Mengajar. Cari tahu sebanyak-banyaknya. Gali sedalam-dalamnya. Mereka orang hebat." Sambung Pak Idris dalam pidatonya.

Jleb, seketika penutupan pidato dari Pak Idris seakan-akan menusuk dada saya, dan mungkin para relawan lain. Kami, terlebih saya yang tak memiliki apa-apa dipercaya oleh Pak Idris untuk membantu anak-anak Cibuyutan, khususnya MI Miftahussholah 2. Sebuah kebanggaan karena kami diterima dengan baik, sekaligus tantangan karena harus menjalankan tanggung jawab ini sebaik mungkin.

Upacara berakhir ketika matahari perlahan naik ke atas. Ketika ibu-ibu penjual makanan menjajakan dagangannya di lapangan bawah sekolah. Ketika anak-anak Cibuyutan tersenyum riang karena bisa belajar dan bermain dengan orang-orang baru, relawan Pendekar Mengajar Indonesia.

Terhanyut dalam lamunan, seketika saya berpikir; apa artinya merdeka jika anak-anak Cibuyutan yang notabene tak jauh dari jangkauan Ibu Kota masih saja harus berjuang lebih dalam menempuh pendidikan?

Bersambung...

Bagian 4 - Matematika? Siapa Takut!

Posting Komentar

0 Komentar