Gelap di Antara Gemerlap (Bag. 2)

Cerita sebelumnya;

Bagian 1 - Nambo, Awal dari Petualangan Panjang

-----

Setelah 3 hari mengikuti kegiatan pembekalan sekaligus bonding antarsesama relawan di Kantor Desa Sukarasa, kami bergegas menuju Kampung Cibuyutan. Jarak antara kantor desa dengan perkampungan yang terletak di bagian paling atas dari Desa Sukarasa, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor ini sebenarnya hanya berkisar sekitar 6 km. Namun karena akses jalan yang sebagian besar belum memadai, perjalanan menempuh waktu yang cukup lama. Walau begitu, masyarakat sekitar patut bersyukur, sebab saat ini beberapa ruas jalan telah dilakukan pengecoran. Berbeda dengan beberapa tahun lalu ketika akses jalan sepenuhnya masih tanah bebatuan, perjalanan menuju Cibuyutan dari kantor desa harus ditempuh dalam waktu 1 jam lebih menggunakan sepeda motor.

Mumpung masih segar dan banyak tenaga—katanya, ditambah mobil yang dipinjami Pak Kades hanya bisa digunakan untuk mengangkut barang dan kebutuhan logistik kami selama 2 minggu ke depan, kami memilih berjalan kaki menuju Cibuyutan.  

Jalan yang kami lewati ini berbeda dengan jalan kendaraan bermotor yang berawal dari Karangmulya. Kami menyusuri jalan setapak yang bermula dari Nyengcle. Sesekali landai, namun lebih sering mendaki dan menuruni perbukitan. Deretan pegunungan dan pepohonan hijau yang amat rapat menghiasi perjalanan kami. Aliran sungai jernih dengan bebatuan besar di sekitarnya pun kami seberangi. Tak jarang pula kami bertemu dengan warga yang sedang berkebun.

"Mau ke mana, Neng?"

"Ke Cibuyutan, Bu."

"Atuh jauh, Neng. Hati-hati, ya."

Hampir dua jam menyusuri jalan setapak dengan ditemani panas matahari yang semakin menjadi-jadi, Cibuyutan tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Beberapa dari kami tampak kelelahan, duduk berbaring di atas tanah, di bawah teduh pepohonan. Beberapa lainnya terus melanjutkan perjalanan. Sekian menit berlalu, beberapa dari kami yang telah melanjutkan perjalanan kembali dengan membawa kabar baik.

"Cibuyutan udah keliatan di depan!" 

Mendengar hal itu, sontak tenaga kami yang telah terkuras habis seketika kembali penuh. Kami bergegas melanjutkan perjalanan. 

Keringat bercucuran saat kami mulai memasuki Cibuyutan. Dari persimpangan jalan yang seakan-akan menjadi gerbang masuk kampung ini, terlihat jelas rumah-rumah warga yang terletak di antara Gunung Lingga dengan Gunung Sungging. 

"Halo, kakak!"

"Kakak!"

Kami tiba di Cibuyutan tepat saat matahari berada di atas kepala. Sapaan hangat dari warga dan anak-anak di sepanjang jalan mulai dari persimpangan di sebelah utara tadi membangkitkan kembali semangat kami. Terlebih jajanan warung Teh Reni yang sangat menyegarkan tenggorokan. 

Rasa lelah dan seluruh energi yang keluar terbayar lunas oleh view yang ada di Cibuyutan.  Tak hanya Gunung Sungging dan Gunung Lingga yang terlihat jelas, pemukiman penduduk dan lanskap alam terlihat jauh di bawah sana, karena memang kampung ini letaknya paling tinggi di antara kampung lainnya. Deretan Pegunungan Sanggabuana yang ada di Karawang pun terlihat jelas dari kampung ini.

Selama di Cibuyutan, kami bermalam di salah satu ruangan sekolah satu-satunya yang ada di kampung ini, MI Miftahussholah 2—yang tentu saja kelak banyak melahirkan cerita bagi kami para relawan. Selama itu pula kami banyak dibantu oleh Pak Idris, satu dari beberapa guru yang mengajar di sekolah ini. Begitu juga Teh Reni, istri Pak Idris yang banyak membantu kami memenuhi kebutuhan pangan selama di Cibuyutan. 

Satu-satunya sekolah yang ada di Cibuyutan ini hanya melayani sampai jenjang pendidikan dasar. Selebihnya, jika ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, warga harus turun ke desa yang letaknya di bawah gunung, dengan melewati jalan tanah berbatu tentunya. Itulah yang menyebabkan banyak anak-anak di kampung ini harus berjuang lebih untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Sebagian memilih melanjutkan pendidikan di pesantren agar tidak perlu bolak-balik setiap hari. Selebihnya terpaksa tidak melanjutkan sekolah.

Fasilitas yang ada di MI Miftahussholah 2 pun belum mampu menunjang pembelajaran. Hanya terdapat 3 ruang kelas dan 1 perpustakaan yang dirangkap menjadi ruang guru. Tenaga pendidik yang ada di sekolah ini pun terbatas, beberapa di antaranya bahkan tinggal di desa lain sehingga harus menempuh jalan yang lumayan jauh. Begitu pula dengan sarana pembelajaran seperti bangku dan meja yang jumlahnya tak memenuhi kuota peserta didik, sehingga tak jarang peserta didik harus duduk 1 bangku berdua dengan temannya. 

Terlepas dari itu semua, satu hal yang membuat saya tercengang yaitu aliran listrik yang ternyata baru menerangi Cibuyutan selama kurang lebih 3 tahun belakangan. Sebelumnya, warga Cibuyutan mengandalkan listrik tenaga surya yang hanya mampu menerangi kampung ini selama 2 jam, mulai dari menjelang maghrib hingga selepas isya. Itu pun kalau siangnya matahari bersinar terang, sehingga dapat mengisi pasokan tenaga surya. Beda cerita kalau musim hujan, sinar matahari tak mampu mengisi pasokan tenaga surya, sehingga kalau malam warga Cibuyutan hanya bisa gelap-gelapan sambil memandangi gemerlap lampu perkampungan lain yang terletak jauh di bawah kampung ini.

Inilah kesan pertama saya saat menjejaki tanah Cibuyutan. Seperti berada di daerah pelosok yang jauh dari Ibu Kota. Padahal kenyataannya jarak antara pusat Ibu Kota dengan Cibuyutan jika ditarik garis lurus tak lebih dari 80 km.

Bersambung...

Bagian 3 - Dirgahayu

Posting Komentar

0 Komentar