Nambo, Awal dari Petualangan Panjang (Bag. 1)

Cerita sebelumnya;

Cibuyutan; Out Of Comfort Zone

-----

"Selamat datang kami ucapkan kepada para penumpang, saat ini kereta anda telah tiba di Stasiun Nambo. Periksa kembali tiket dan barang bawaan anda, jangan sampai tertinggal di dalam rangkaian kereta. Terima kasih atas kepercayaan anda telah menggunakan jasa angkutan kereta api."

Pengumuman yang diiringi nada khas menyambut kedatangan saya di Stasiun Nambo, stasiun kecil yang terletak di bagian timur Kabupaten Bogor. Ramai penumpang berlalu-lalang, sebagian berjalan santai, sebagian lagi terburu-buru menaiki kereta. Petugas terlihat siap memberangkatkan kembali kereta ke arah Ibu Kota.

Celingak-celinguk kebingungan tanpa teman, tak sengaja saya bertemu Iara. Ia menjadi orang pertama yang saya sapa sejak masih di dalam stasiun. Punggung kecilnya yang sedang menggendong tas carrier berukuran besar cukup memudahkan saya untuk menebak bahwa ia adalah seorang relawan—sama seperti saya. 

"Dari Pendekar Mengajar, ya?" Tanya saya memberanikan diri kepada Iara.

"Iya. Kakak juga dari Pendekar? Siapa namanya?" Jawabnya sambil tersenyum.

"Hilmi." Ucap saya sambil mengulurkan tangan.

"Gue Iara, panggil aja Ara." Katanya singkat.

"Oke. Salam kenal, ya. Yang lain pada di mana?"

"Coba kita tunggu di luar aja, yuk."

Obrolan basa-basi sewajarnya orang yang baru kenal menemani langkah kami menuju halaman stasiun. Iara bercerita bahwasanya ia berasal dari Srengseng Sawah. Seketika kami seperti orang yang sudah akrab sejak lama karena saya sedikit banyak tahu tentang Srengseng Sawah, tempat di mana saya menghabiskan masa-masa SMA beberapa tahun silam.

Di halaman, sudah ada beberapa relawan lain menunggu. Ilham yang belakangan kerap disapa Agus memberanikan diri untuk menyapa saya lebih dulu. Lelaki dengan perawakan badan yang tinggi besar ini berasal dari Jawa Tengah. Berdasarkan ceritanya, ia sedang menempuh pendidikan di salah satu sekolah tinggi kedinasan di daerah Tangerang Selatan. 

Kehadiran Agus tentu saja membawa angin segar bagi saya. Setidaknya ia bisa menemani saya survival selama beberapa waktu ke depan di tengah banyaknya relawan perempuan. Apalagi ketika tahu bahwa ia berdarah Jawa. Praktis saja obrolan kami berdua didominasi oleh bahasa Jawa, terlebih untuk obrolan-obrolan sensitif yang dapat membuat ciut nyali kaum hawa.

Tak lama, satu per satu relawan yang sebelumnya tidak saling kenal mulai berkumpul di halaman stasiun. Kebanyakan dari mereka—termasuk saya—berdomisili di Jabodetabek. Beberapa dari Bandung dan Purwakarta, beberapa lainnya dari Semarang, bahkan ibu kota Sulawesi Selatan, Makassar.

Kami yang tergabung sebagai relawan Pendekar Mengajar Indonesia mulai berbasa-basi satu sama lain memperkenalkan dirinya masing-masing. Sambil menunggu mobil jemputan yang akan mengantarkan menuju kantor desa, kami mengobrolkan banyak hal. Fadhliah, perempuan asal Makassar ini cukup antusias menceritakan alasannya bergabung menjadi relawan Pendekar Mengajar Indonesia. Ia juga bercerita bahwasanya ini merupakan pengalaman pertamanya pergi ke Pulau Jawa. Bersama dengan Aura, mereka berdua terlihat akrab seperti telah berteman sejak lama.

"Kalian berdua sebelumnya udah saling kenal?" Tanya salah seorang dari kami kepada mereka berdua.

"Belum, ini pertama kalinya kita kenal. Aku semalam pas turun dari pesawat dijemput Aura di bandara, terus nginep di rumahnya." Jawabnya antusias.

"Wih, udah kayak saudara, ya." Ucap kami takjub.

"Iya, dong. Saudara dari Pulau Jawa." Katanya sambil tertawa kecil.

Di sudut lain, terlihat salah satu relawan diantar keluarganya. Terlihat haru ketika ia mencium tangan kedua orang tuanya. Berpisah untuk sementara waktu. Dilanjut dengan lambaian kedua tangan.

Mengusir kecanggungan, saya mencoba berkenalan dengan Fifi, salah satu panitia pelaksana yang mewawancarai saya ketika seleksi. Fifi yang awalnya saya kira sudah menyelesaikan studi di perguruan tinggi, ternyata sama seperti saya yang saat ini baru saja memasuki semester 7. Begitu pun dengan relawan lain yang saya kira sudah menyandang gelar sarjana, ternyata masih banyak yang baru duduk di semester awal. Seketika saya merasa tertampar dan bergumam.

"Dulu gue pas semester awal ke mana aja? Mereka yang ada di sini udah berkecimpung sejak semester awal. Sedangkan gue pas semester awal kerjaannya cuma haha-hihi."

Di bawah rindang pepohonan, Fifi selaku panitia pelaksana membagikan ceritanya kepada kami tentang Cibuyutan, sebuah kampung terpencil di Kabupaten Bogor yang akan menjadi tujuan kami. Ia juga menjelaskan sedikit banyak tentang seluk-beluk Pendekar Mengajar Indonesia, komunitas di bidang sosial dan pemberdayaan masyarakat yang rutin melaksanakan pengabdian di Kampung Cibuyutan. 

Sebelum menuju Cibuyutan, rencananya kami terlebih dahulu akan melaksanakan rangkaian kegiatan pembekalan relawan di Kantor Desa Sukarasa yang jaraknya sekitar 2 jam perjalanan dari Stasiun Nambo. Mobil jemputan pun datang setelah cukup lama kami menunggu. Masing-masing dari kami bergegas mengatur posisi. Para relawan perempuan menumpang mobil dengan pendingin udara, sedangkan saya dan Agus terpaksa menaiki mobil pickup di bawah terik matahari. 

Bersamaan dengan panas matahari yang semakin menggila, kami memulai perjalanan menuju Kantor Desa Sukarasa. Kawasan pabrik semen dengan debu yang cukup pekat menyelimuti awal perjalanan kami. Selang beberapa menit, rumah-rumah khas pedesaan dengan latar belakang persawahan dan pegunungan silih berganti. Di atas guncangan suspensi pickup, saya larut dalam lamunan, seakan-akan tak percaya bahwa manusia malas dan rebah seperti saya bisa menjadi bagian dari ini. Sepanjang perjalanan pun sesekali rasa ragu muncul. Bisakah saya melewati hari-hari ke depan yang penuh tantangan?  Pertanyaan yang jawabannya tak bisa saya pastikan ini perlahan lenyap di dalam lantunan doa.

Bismillah, petualangan panjang dimulai! 

Bersambung...

Bagian 2 - Gelap di Antara Gemerlap

Posting Komentar

0 Komentar