Tahun 90-an hingga akhir dekade 2000-an bisa dibilang merupakan tahun-tahun kejayaan bagi bus kota di Jakarta. Kala itu jalanan Ibu Kota dan kota-kota di sekitarnya selalu dipadati oleh bus-bus berukuran besar. Masih teringat dalam benak saya ketika kecil seringkali ikut orang tua naik bus ke berbagai penjuru Ibu Kota. Terminal Blok M dan Kampung Melayu tak lagi asing bagi saya pada waktu itu. Keriuhan pedagang asongan saling sahut-menyahut dengan pengamen yang berlarian dari satu bus ke bus lain. Komplotan copet diam-diam terlihat menggasak saku penumpang. Bus-bus reyot pun perlahan meninggalkan terminal ketika penumpang mulai membludak hingga bergelayut di pintu.
Perusahaan bus yang beroperasi saat itu antara lain Mayasari Bakti, Steady Safe, PPD, Himpurna, Jasa Utama, Agung Bhakti, dan Bianglala. Bus-bus tersebut berukuran besar dan lebih akrab disebut bus patas. Adapun bus 3/4 yaitu Metro Mini dan Kopaja yang dijuluki Si Raja Jalanan. Beberapa rute yang rutin saya naiki kala itu adalah Mayasari Bakti AC50 (Kampung Melayu–Kalideres), Mayasari Bakti R107 (Kampung Melayu–Blok M), Steady Safe 948 (Kampung Melayu–Tanjung Priok), Kopaja T57 (Kampung Rambutan–Blok M), dan beberapa lainnya.
Memandang gemerlap lampu kota dari dalam bus AC50 merupakan hal yang paling mengasyikkan ketika hendak ke Kalideres pada malam hari, terlebih ketika bus melewati kawasan Taman Anggrek. Pun dengan Mayasari R107 yang paling lama ditunggu kedatangannya sangat berjasa bagi saya dan Ibu ketika akan mengambil gaji bulanan di Kantor Walikota Jakarta Selatan. Selepas mengambil gaji, biasanya kami menumpang Kopaja T57 untuk sekadar makan makanan cepat saji di Kalibata Mall. Tak hanya cerita manis, cerita bobroknya Steady Safe 948 yang kerap mogok sering saya alami ketika akan berkunjung ke sanak famili di Tanjung Priok.
Cerita lain turut meramaikan kejayaan bus kota. Di antaranya PPD 43 jurusan Cililitan–Tanjung Priok yang hanya menempuh waktu 30 menit dengan kondisi bus yang selalu miring kiri karena full penumpang. Mayasari Bakti AC84 jurusan Depok–Pulogadung yang menjadi primadona mahasiswa karena jalurnya melintasi kampus-kampus ternama seperti UI, Gunadarma, UP, IISIP, dan UNJ. Sesaknya Jalan Margonda Raya yang selalu dipadati bus-bus patas AC81, AC82, AC84, P54, dan beberapa lainnya. Aksi kebut-kebutan dan saling berebut penumpang sudah menjadi makanan sehari-hari. Juga ketangguhan bus menerjang banjir kala musim hujan tiba. Belum lagi tawuran antar pelajar dan aksi pembajakan bus. Kisah cinta antara pengamen dengan penumpang pun melengkapi cerita kejayaan bus kota.
Cerita-cerita tersebut perlahan memudar. Semenjak dipercantiknya Transjakarta dan semakin bertambahnya jadwal keberangkatan Commuter Line, bus kota yang dulu berjaya kini ditinggal pelanggannya. Penumpang banyak yang beralih ke moda transportasi terbaru. Dan saat ini hanya tersisa operator Mayasari Bakti yang masih aktif mengaspal di jalanan Ibu Kota, itupun dengan jumlah armada yang semakin hari semakin menyusut. Beberapa operator lain—termasuk Mayasari Bakti—mencoba bertahan dengan bergabung ke divisi Transjakarta dan Transjabodetabek. Selebihnya hanya menjadi besi tua yang teronggok, menunggu hancur dimakan usia.
2 Komentar
mayasari the best
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus