Jakarta, 31 Oktober 2020
Gerimis rintik masih membasahi jalanan di sekitar rumah Saomi. Semerbak petrichor sedari tadi menghiasi indra penciuman kami. Petikan gitar yang dimainkan Cahaya mengalun sendu. Canda tawa ketika mengulang metode ice breaking pada mata kuliah hizbul wathan berhasil membuatku merasa tambah tenang ketika bersama mereka.
"Abis ini keliling Jakarta, yuk. Kita malem mingguan bareng-bareng."
"Yuk lah. Sekitaran Senayan - Sudirman asik nih."
"Eh, tapi gua mau ke Halim dulu nganter barang."
"Yaudah kita ke Halim dulu, abis itu langsung ke Senayan."
Ajakan bermalam mingguan itu tanpa pikir panjang langsung aku terima. Kondisi pikiranku yang belakangan ini sedang tidak baik-baik saja serasa hilang tanpa beban setelah menerima ajakan itu. Aku yang baru saja merasa kembali menjadi seorang "aku" yang seutuhnya ketika bersama mereka, merasa ingin berlama-lama ada di momen ini.
"Ibu gua sakit nih, barusan nelpon. Gua nggak ikut, ya."
Nida yang tiba-tiba mendapat kabar bahwa Ibunya sakit memutuskan untuk segera pulang. Pun dengan Faiq yang ternyata ada kegiatan lain. Saomi yang tampak bimbang karena ia sebenarnya juga ingin mengantar barang ke Halim, aku suruh ia untuk ke Halim saja. Cahaya yang tampak lelah karena sedari pagi sudah di rumah Saomi juga aku suruh pulang. Malam ini aku tidak memaksa teman-temanku untuk bermalam mingguan bersama. Sendiri pun tak masalah. Toh, beberapa waktu belakangan ini aku juga sering absen ketika kumpul bersama mereka karena urusan lain.
Namun Cahaya terus memaksaku untuk ikut, walau tidak jelas ke mana tujuanku malam ini.
"Gua ikut lah. Nanti ngopi di pinggir jalan aja, Bang."
"Yaudah. Hayuk berangkat."
Motorku dan Cahaya perlahan meninggalkan kawasan Pengadegan. Warung-warung tenda di pinggir jalan terlihat sibuk melayani pembeli. Kami mulai memasuki Jl. Gatot Subroto. Dilanjut mengarah ke Semanggi, memutar di Bundaran Senayan, hingga akhirnya tiba di kawasan perkantoran Jl. Jendral Sudirman. Gedung-gedung pencakar langit menghiasi sepanjang jalan. Lampu-lampu kota terlihat indah berbaur dengan siluet lampu kendaraan.
Aku dan Cahaya memutuskan untuk berhenti sejenak di pinggir jalan. Memarkirkan motor, kemudian menikmati lalu lalang kendaraan yang lewat. Cahaya mulai asyik dengan dunianya sendiri. Pun dengan aku yang asyik menikmati malam dengan caraku sendiri. Memandangi gedung-gedung perkantoran yang menjulang tinggi dengan ditemani semilir angin malam. Menyesapi kopi hitam dengan gelas plastik yang dibeli di pedagang yang berkeliling menggunakan sepeda.
Seketika aku teringat momen sepuluh tahun yang lalu. Ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Ketika aku sering diajak Bapakku ke kantornya di daerah Kuningan. Ikut menikmati fasilitas internet kantor yang dulu belum tentu bisa dinikmati masyarakat luas. Melihat kesibukan pekerja kantoran. Melihat indahnya persaudaraan antara pejabat kantor dengan pedagang dan tukang ojek kelas bawah. Dan yang paling membekas ketika aku dan Bapakku hendak pulang menuju Stasiun Sudirman melewati kawasan ini dengan berhiaskan semburat merah keemasan di langit.
Aku terbangun dari dudukku di trotoar yang tampak lebar dengan tanaman hias yang pinggirnya. Tak terasa sudah cukup lama aku hanyut dalam lamunanku. Hanyut dalam kenangan masa kecilku. Hanyut dalam segalanya di tengah kemilau lampu kota.
"Lu balik lewat mana, Bang? Tau jalannya, nggak?" tanya Cahaya kepadaku.
"Aman, Bang. Lewat Semanggi, Pancoran, nanti lurus aja ke arah Depok." jawabku meyakinkan.
Waktu sudah semakin larut. Aku dan Cahaya bergegas kembali menuju rumah masing-masing. Cahaya ke arah barat, sedangkan aku ke arah selatan. Aku melintasi kawasan Pancoran yang merupakan tempatku bermain di masa kecil. Mengarah ke selatan ke arah Pasar Minggu–Lenteng Agung di mana aku menghabiskan pahit manisnya masa-masa SMA-ku di daerah ini. Memasuki Kota Depok yang kini semakin maju dibanding pertama kali aku mengenal kota ini. Semakin ke selatan. Hingga aku tiba di peraduanku, Bojong Gede.
Ditulis di Bogor, 4 November 2020
0 Komentar