Rintik hujan menemani perjalanan kami menyusuri Kota Bandung. Aroma petrichor yang disebabkan oleh pertemuan antara dinginnya rintik hujan dengan aspal panas membuat emosional kami seolah-olah sangat erat dengan kota ini. Lalu lalang kendaraan ditambah dengan keriuhan kawasan perniagaan menambah syahdu sore itu.
Hujan mulai reda sewaktu kami memasuki Jalan Mohammad Toha. Sembari melepas jas hujan, kami mampir di salah satu warung kaki lima untuk mengisi perut. Ya, kudapan yang sebelumnya kami makan di Kopi Toko Djawa tidak bisa bertahan lama di dalam lambung. Sebakul nasi panas dengan lauk ayam goreng dan sambal lalapan yang kami beli di warung kaki lima ini akhirnya mampu membuat perut kami menjadi lebih berisi.
Perjalanan kembali dilanjut, bermodal google maps kami mulai memasuki daerah Pameungpeuk. Langit mulai gelap ketika kendaraan kami tersendat di Pasar Banjaran. Selepas itu, perjalanan dilanjutkan dengan menaiki pegunungan ke arah selatan.
Beberapa menit setelah itu, kontur jalan mulai dihiasi dengan tanjakan dan tikungan yang tak terhitung jumlahnya. Bagi kami waktu masih terlampau sore, namun jarang sekali kami berpapasan dengan kendaraan lain. Suasana sunyi ditambah dengan atmosfer yang sedikit berbeda membuat kami khawatir dengan hal-hal yang tidak diinginkan.
Kota Dingin
Setelah dua jam lebih berkendara akhirnya kami tiba di Pangalengan, sebuah kota dingin yang terletak sekitar 40 km di selatan Kota Bandung. Kedatangan kami ke Pangalengan bermaksud untuk menjalin silaturahmi dengan salah satu kawan kami yang tinggal di sana. Lebih lanjut, tujuan kami datang ke Pangalengan yaitu untuk merehatkan pikiran dari penatnya Ibukota.
Sedari pukul tiga pagi Pangalengan turun hujan dengan intensitas tinggi. Hujan tersebut berkali-kali membangunkan kami yang belum lama terlelap. Dinginnya udara semakin menjadi-jadi, namun hangatnya selimut membuat kami enggan beranjak dari tempat tidur.
Kami baru benar-benar terbangun sekitar pukul setengah enam. Langit sudah mulai terang dan hujan telah reda. Pagi itu kami menikmati kabut di atas hammock yang terpasang di balkon rumah teman kami.
Hujan mulai reda sewaktu kami memasuki Jalan Mohammad Toha. Sembari melepas jas hujan, kami mampir di salah satu warung kaki lima untuk mengisi perut. Ya, kudapan yang sebelumnya kami makan di Kopi Toko Djawa tidak bisa bertahan lama di dalam lambung. Sebakul nasi panas dengan lauk ayam goreng dan sambal lalapan yang kami beli di warung kaki lima ini akhirnya mampu membuat perut kami menjadi lebih berisi.
Perjalanan kembali dilanjut, bermodal google maps kami mulai memasuki daerah Pameungpeuk. Langit mulai gelap ketika kendaraan kami tersendat di Pasar Banjaran. Selepas itu, perjalanan dilanjutkan dengan menaiki pegunungan ke arah selatan.
Beberapa menit setelah itu, kontur jalan mulai dihiasi dengan tanjakan dan tikungan yang tak terhitung jumlahnya. Bagi kami waktu masih terlampau sore, namun jarang sekali kami berpapasan dengan kendaraan lain. Suasana sunyi ditambah dengan atmosfer yang sedikit berbeda membuat kami khawatir dengan hal-hal yang tidak diinginkan.
Kota Dingin
Setelah dua jam lebih berkendara akhirnya kami tiba di Pangalengan, sebuah kota dingin yang terletak sekitar 40 km di selatan Kota Bandung. Kedatangan kami ke Pangalengan bermaksud untuk menjalin silaturahmi dengan salah satu kawan kami yang tinggal di sana. Lebih lanjut, tujuan kami datang ke Pangalengan yaitu untuk merehatkan pikiran dari penatnya Ibukota.
Obrolan dan canda tawa berhasil memecah kesunyian. Udara dingin senantiasa membaur di setiap gelak tawa. Tak lupa, beberapa jenis camilan dan coklat panas juga dihidangkan untuk menemani kami menghabiskan malam.
Kuliner Pangalengan
Sambil bersantai, tuan rumah menyuguhkan kuliner asli Pangalengan sebagai menu sarapan. Menunya tidak jauh berbeda dengan makanan Sunda seperti pada umumnya. Namun yang membedakan, ada tambahan Cabai Gombong sebagai pelengkap sarapan kali ini. Cabai yang bentuknya seperti tomat ini disajikan dengan bumbu kecap sehingga menghasilkan rasa pedas manis. Tuan rumah juga menghidangkan minuman penutup berupa susu murni hangat sebagai tambahan energi sebelum berkebun.
Sambil bersantai, tuan rumah menyuguhkan kuliner asli Pangalengan sebagai menu sarapan. Menunya tidak jauh berbeda dengan makanan Sunda seperti pada umumnya. Namun yang membedakan, ada tambahan Cabai Gombong sebagai pelengkap sarapan kali ini. Cabai yang bentuknya seperti tomat ini disajikan dengan bumbu kecap sehingga menghasilkan rasa pedas manis. Tuan rumah juga menghidangkan minuman penutup berupa susu murni hangat sebagai tambahan energi sebelum berkebun.
Waktunya Berkebun!
Halaman depan rumah teman kami merupakan sebuah kandang sederhana yang digunakan untuk budidaya ternak ayam. Di sebelahnya terdapat beberapa tanaman kopi yang dibiarkan tumbuh liar. Kopi tersebut merupakan jenis Arabika Pangalengan (Arabica Java Preanger) yang bisa dipanen di waktu-waktu tertentu. Namun sayangnya, tanaman kopi bukanlah komoditas andalan daerah ini.
Komoditas andalan dari Pangalengan yaitu jenis sayuran seperti tomat, cabai, kol, dan wortel. Maka tak heran jika kita berkunjung ke sana ada banyak perkebunan yang membentang luas. Komoditas tersebut nantinya dikirim ke beberapa pasar induk yang ada di kota-kota besar.
Saat itu kami berkesempatan untuk mengambil buah alpukat langsung dari pohonnya. Hal ini tentu saja sangat menarik bagi kami yang terbiasa hidup di perkotaan. Kami berhasil mengumpulkan sekitar lima belas buah alpukat berukuran besar untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
Tak hanya alpukat, kami juga membawa pulang beberapa buah labu siam sisa panen beberapa waktu lalu. Kami juga ditawari untuk membawa pulang beberapa hasil bumi lainnya, namun kami menolak karena sudah cukup banyak merepotkan.
SDM yang Kurang Mumpuni
Berbicara tentang Pangalengan, daerah penghasil susu yang dikelilingi pegunungan ini sebenarnya memiliki potensi pariwisata yang tinggi. Daerah ini memiliki sumber daya alam melimpah, namun sayangnya tidak berjalan beriringan dengan sumber daya manusianya.
Menurut cerita dari teman kami, seharusnya Pangalengan bisa menyaingi Ciwidey dan Lembang, namun karena keterbatasan dan minimnya pengetahuan masayarakat, Pangalengan belum bisa menyaingi kedua daerah tersebut. Besar harapan dari teman kami kepada generasi muda untuk terus semangat mencari ilmu agar bisa mengubah pola pikir sehingga mampu memajukan daerahnya sendiri.
Lebih kurang jarum jam menunjukkan pukul sebelas, kami bersiap-siap merapikan barang bawaan. Kami bergegas meninggalkan Pangalengan, juga keindahan di setiap penjurunya.
Tak hanya alpukat, kami juga membawa pulang beberapa buah labu siam sisa panen beberapa waktu lalu. Kami juga ditawari untuk membawa pulang beberapa hasil bumi lainnya, namun kami menolak karena sudah cukup banyak merepotkan.
SDM yang Kurang Mumpuni
Berbicara tentang Pangalengan, daerah penghasil susu yang dikelilingi pegunungan ini sebenarnya memiliki potensi pariwisata yang tinggi. Daerah ini memiliki sumber daya alam melimpah, namun sayangnya tidak berjalan beriringan dengan sumber daya manusianya.
Menurut cerita dari teman kami, seharusnya Pangalengan bisa menyaingi Ciwidey dan Lembang, namun karena keterbatasan dan minimnya pengetahuan masayarakat, Pangalengan belum bisa menyaingi kedua daerah tersebut. Besar harapan dari teman kami kepada generasi muda untuk terus semangat mencari ilmu agar bisa mengubah pola pikir sehingga mampu memajukan daerahnya sendiri.
Lebih kurang jarum jam menunjukkan pukul sebelas, kami bersiap-siap merapikan barang bawaan. Kami bergegas meninggalkan Pangalengan, juga keindahan di setiap penjurunya.
0 Komentar