Siapa yang tak kenal dengan Gunung Prau? Salah satu gunung favorit para pendaki yang memiliki pemandangan indah, terutama saat sunrise. Gunung Prau sendiri adalah salah satu gunung di Jawa Tengah yang terletak di perbatasan antara Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Batang, Kendal, dan Temanggung. Ada beberapa jalur pendakian untuk menuju puncak gunung ini, yaitu Patak Banteng, Dieng, Dwarawati, Kalilembu, dan juga Wates. Di antara jalur pendakian tersebut, jalur yang paling ramai dan diminati pendaki adalah Jalur Patak Banteng karena waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak cukup singkat, sekitar 2 - 3 jam saja
Di penghujung tahun 2018 lalu, saya dan adik saya berkesempatan untuk mencumbui indahnya Gunung Prau ini. Namun sayangnya, kami berdua belum bisa mendapatkan pemandangan golden sunrise dikarenakan saat itu terjadi badai. Untuk cerita selengkapnya bisa dibaca di bawah ini.
22 Desember 2018
Di penghujung tahun 2018 lalu, saya dan adik saya berkesempatan untuk mencumbui indahnya Gunung Prau ini. Namun sayangnya, kami berdua belum bisa mendapatkan pemandangan golden sunrise dikarenakan saat itu terjadi badai. Untuk cerita selengkapnya bisa dibaca di bawah ini.
22 Desember 2018
Sore itu sekitar pukul 17.45 kami tiba Terminal Klari (Karawang) untuk menunggu bus Dieng Indah yang akan mengantarkan kami menuju Terminal Mendolo Wonosobo. Perjalanan kali ini terbilang mendadak karena hanya direncanakan sekitar 1 minggu sebelum hari keberangkatan, itu pun hanya berdua. Untungnya tabungan kami ditambah dengan pinjaman perlengkapan dari teman mampu mencukupi kebutuhan selama perjalanan.
Kembali ke cerita, bus yang seharusnya berangkat pukul 19.00 baru diberangkatkan sekitar pukul 20.15. Alasannya klasik, menunggu bus penuh. Tarif Bus Dieng Indah saat itu Rp135.000 per orang, lebih mahal dari bus lain.
Di atas bus, kami berkenalan dengan sepasang pendaki yang sama-sama ingin mendaki Gunung Prau. Mereka berdua berasal dari CKM Karawang. Yang laki-laki kami panggil Bang Randi, sedangkan yang perempuan sebut saja Teteh karena saya lupa namanya . Karena sama-sama cuma berdua, jadilah kami berencana untuk mendaki bareng, lumayan kenalan baru.
Keberadaan Bang Randi dan Teteh saat itu benar-benar membantu kami berdua yang belum pernah ke Wonosobo sama sekali. Karena nenurut ceritanya, Bang Randi dan si Teteh sudah 3 kali mendaki Prau, dan saat itu merupakan pendakiannya yang ke-4 kalinya.
Keberadaan Bang Randi dan Teteh saat itu benar-benar membantu kami berdua yang belum pernah ke Wonosobo sama sekali. Karena nenurut ceritanya, Bang Randi dan si Teteh sudah 3 kali mendaki Prau, dan saat itu merupakan pendakiannya yang ke-4 kalinya.
23 Desember 2018
Sekitar pukul 06.00 bus mulai memasuki Terminal Mendolo Wonosobo. Udara sejuk menyambut kedatangan kami. Dari Terminal Mendolo, perjalanan dilanjutkan menuju Basecamp Patak Banteng dengan menggunakan minibus tujuan Dieng.
Pemandangan sepanjang perjalanan mulai dari Terminal Mendolo sampai dengan Basecamp sangat indah. Hamparan kebun sayur, pegunungan, dan pedesaan menghiasi perjalanan kami saat itu. Tak jarang kabut tebal juga menyelimuti bus kecil yang kami tumpangi. Perjalanan dari Terminal Mendolo sampai dengan Basecamp Patak Banteng berkisar antara 1,5 - 2 jam.
Sesampainya di basecamp kami mengurus simaksi dengan harga Rp10.000 per orang. Saat itu basecamp dipenuhi oleh para pendaki yang kebanyakan berasal dari luar kota. Kondisi basecamp sendiri terbilang sempit. Terdapat warung-warung yang menjual makanan ataupun menyewakan perlengkapan pendakian. Selain itu, terdapat mushola dan wc umum yang biasa digunakan untuk mandi.
Kami memulai pendakian sekitar pukul 09.00. Trek awal adalah menaiki puluhan atau mungkin ratusan anak tangga yang membuat napas menjadi tidak teratur. Setelah itu masih harus menyusuri jalan berbatu yang cukup menanjak sampai dengan Pos 1. Kami tiba di Pos 1 (Sikut Dewo) setelah 40 menit berjalan, lumayan lama karena si Teteh banyak istirahat. Pos 1 ini hanya berupa gubuk kecil yang hanya mampu menampung beberapa orang saja. Karena kondisi Pos 1 saat itu penuh, kami memilih melanjutkan perjalanan menuju Pos 2.
Kondisi trek dari Pos 1 ke Pos 2 berupa jalan tanah yang telah disusun menjadi tangga. Namun karena sempitnya jalan dan banyaknya pendaki yang baru turun, kami harus jalan bergantian. Ada beberapa warung kecil di antara Pos 1 dan Pos 2, kami juga sempat beristirahat di warung tersebut sambil menikmati makanan yang dijual. Untuk harga makanan masih terbilang murah. Gorengan dan lontong dijual dengan harga Rp1.000, semangka Rp2.000, dan teh manis hangat Rp3.000.
Kondisi jalur pendakian yang ramai |
Kabut yang mulai turun |
Perjalanan terus berlanjut. Setelah melewati Pos 2 trek kembali menanjak. Perjalanan menuju Pos 3 ditemani dengan pemandangan hutan pinus yang memanjakan mata.
Selanjutnya, Pos 3 (Cacingan) berupa tanjakan yang didominasi oleh akar-akar pohon besar yang mirip cacing. Selain itu terdapat pula bongkahan bebatuan yang ukurannya sangat besar. Trek dari Pos 3 menuju Puncak semakin berat karena berupa tanjakan curam tanpa bonus. Di sepanjang jalur ini juga memakan waktu yang cukup lama karena beberapa kali harus beristirahat.
Setelah berjalan mendaki sekitar 3,5 jam akhirnya kami tiba di Puncak Prau dengan ketinggian 2565 MDPL. Kabut tebal menyambut kedatangan kami pada hari itu. Tanpa pikir panjang kami langsung bergegas mendirikan tenda dengan posisi yang bersebelahan.
Puncak dengan latar belakang kabut tebal |
Semakin sore cuaca semakin tidak bersahabat, kabut semakin tebal, lalu sekitar pukul 4 sore turun hujan yang cukup deras. Udara dingin pun mulai menusuk ke tulang.
Kabut |
Gelap pun tiba dan hujan belum juga reda. Perasaan waswas mulai menghantui karena angin berhembus sangat kencang hingga menggoyahkan tenda kami. Ya, malam itu kami diterjang badai.
Malam itu kami tidur tidak pulas karena angin terus berhembus kencang. Sekitar pukul 04.00 kami terbangun karena suasana semakin tidak karuan. Hujan semakin deras, udara semakin dingin, dan angin kencang membuat frame tenda menjadi bengkok, otomatis tenda dalam kondisi hampir roboh.
Waktu menunjukkan pukul 06.00, sudah mulai terang namun badai masih menerjang. Tenda kami saat itu hampir roboh, begitu pula dengan tenda Bang Randi. Bahkan banyak tenda lain yang sudah roboh duluan.
Dalam pikiran kami sudah tidak ada lagi yang namanya golden sunrise dan indahnya jejeran Gunung Sumbing-Sindoro. Pikiran kami saat itu hanya satu, pulang! Tanpa pikir panjang kami berempat sepakat untuk turun saat itu juga dan bergegas untuk menggulung tenda yang frame-nya sudah bengkok dan hampir patah.
Suasana saat badai, banyak tenda yang roboh |
Suasana saat badai |
Setelah menggulung tenda dan packing asal-asalan, kami berempat turun sekitar pukul 07.00 dengan keadaan baju yang basah. Perjalanan turun menjadi lebih berat karena ditemani dengan rintik hujan dan hembusan angin yang cukup kencang. Harus ekstra sabar dan hati-hati karena treknya menjadi sangat licin. Lengah sedikit bisa tidak selamat.
Alhamdulillah, setelah hampir berjalan hampir 3 jam kami berempat akhirnya sampai basecamp dengan selamat. Di basecamp kami langsung bersih-bersih dan packing ulang.
Untuk transportasi pulang menuju Terminal Mendolo masih tetap menggunakan bus kecil yang sudah menunggu penumpang di depan Basecamp Patakbanteng. Sedangkan dari Terminal Mendolo ada banyak sekali pilihan bus seperti Murni Jaya, Rosalia Indah, Dieng Indah, Pahala Kencana, dan Sinar Jaya dengan tujuan ke berbagai daerah di Jabodetabek. Tarifnya pun bervariasi mulai dari Rp90.000 - Rp135.000
Saat itu kami berempat berpisah di Terminal Mendolo. Saya dan adik langsung pulang menuju rumah orang tua di Bogor, sedangkan Bang Randi dan Teteh kembali ke Karawang. Sayangnya kami tidak bertukar kontak, barangkali Bang Randi atau Teteh baca blog ini bisa hubungi saya melalui komentar di bawah
0 Komentar