Kepulauan Seribu adalah kepulauan yang terletak di Teluk Jakarta. Kepulauan yang memiliki ratusan pulau kecil ini menyimpan keindahan bahari. Tak heran jika Kepulauan Seribu menjadi wisata andalan warga ibu kota. Beberapa pulau yang terletak di Kepulauan Seribu antara lain adalah Pulau Tidung, Pulau Pari, Pulau Untung Jawa, Pulau Bidadari, Pulau Pramuka, Pulau Harapan, Pulau Semak Daun, dan masih banyak lagi.
Belum lama ini, saya dan teman-teman saya mengunjungi Pulau Pari yang terletak di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kami berlima camping di Pantai Pasir Perawan dengan uang saku yang pas-pasan. Rata-rata kami membawa uang saku sebesar Rp200.000
Hari Pertama (Minggu, 23 April 2017)
Kami berlima kumpul di rumah Fajri di daerah Kalibata sekitar pukul 06.00. Untuk mengurangi pengeluaran, ayahnya Fajri berbaik hati mengantar kami berlima dengan mobil sampai dengan Pelabuhan Muara Angke.
Pukul 07.00 kami tiba di Pelabuhan Muara Angke dan langsung membeli tiket kapal yang menuju Pulau Pari dengan tarif Rp40.000. Untuk mendapatkan tiket tersebut dibutuhkan kesabaran ekstra untuk mengantri karena loket yang tersedia hanya satu, itupun loket darurat yang berbentuk tenda. Saran dari saya, kalau tidak mau mengantri terlalu lama, lebih baik datang lebih pagi atau ikut paket wisata.
Setelah dapat tiket, kami memasuki area dermaga dan diwajibkan membayar tiket peron seharga Rp2.000. Pelabuhan Muara Angke saat itu dipadati oleh kapal-kapal tradisional yang akan mengangkut penumpang ke berbagai pulau di Kepulauan Seribu. Kami menaiki KM Rindu Alam yang sudah cukup ramai. Kami dapat tempat di bagian atas kapal. Tepat pukul 08.00 KM Rindu Alam diberangkatkan menuju Pulau Pari. Perjalanan menuju Pulau Pari sangat mengasyikkan. Sepanjang perjalanan kami duduk di geladak luar. Memandangi lautan luas ditemani angin sepoi-sepoi yang menambah syahdu perjalanan itu. Untuk menuju Pulau Pari, KM Rindu Alam melewati beberapa pulau kecil seperti Pulau Rambut, Pulau Untung Jawa, Pulau Onrust, dan Pulau Bidadari.
Dua jam tak terasa, akhirnya KM Rindu Alam merapat di dermaga Pulau Pari sekitar pukul 10.00. Dari dermaga, kami langsung menuju Pantai Pasir Perawan yang terletak di bagian timur Pulau Pari. Kami menyusuri jalan yang terletak di pinggir pantai. Kami juga melewati rumah penduduk dan penginapan berupa homestay. Menurut saya, rumah penduduk di Pulau Pari belum sebagus di Pulau Tidung yang saya kunjungi beberapa tahun yang lalu. Rumah penduduk di Pulau Pari banyak yang masih menggunakan kayu. Selain itu Pulau Pari juga tak seramai Pulau Tidung.
Kembali ke cerita, sesampainya di Pantai Pasir Perawan kami langsung mendirikan tenda dan menyantap bekal yang dibawa. Saat itu, ada seorang bapak tua yang bertugas membersihkan pantai. Beliau bernama Pak Masna, kami memanggilnya Babeh Masna. Kami sempat mengobrol seputar Pulau Pari dengan beliau. Kami juga ditawari paket snorkling dengan harga Rp70.000 per orang. Namun setelah nego, akhirnya dapat harga Rp55.000 per orang dan sepakat berangkat jam 3 sore.
Saat itu waktu masih menunjukkan pukul 11.30. Kami langsung main air di Pantai Pasir Perawan. Cuaca saat itu sedang bersahabat, matahari tidak terlalu terik. Di sekitar pantai ini terdapat hutan bakau. Air di pantai ini berwarna hijau tosca. Pasir putihnya tidak ada karang, jadi tak perlu khawatir telapak kaki lecet karena karang. Pokoknya benar-benar perawan.
Setelah puas main air di Pantai Pasir Perawan kami langsung menuju Pantai LIPI yang letaknya di ujung barat pulau, tepatnya di kawasan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Untuk menuju Pantai LIPI kami harus berjalan kaki melewati perkampungan penduduk. Mendekati Pantai LIPI, perkampungan penduduk tak lagi terlihat. Jalanan yang kami lewati diapit dengan pepohonan. Sepi, hanya ada kami berlima.
Akhirnya kami tiba di gerbang Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Di kawasan LIPI ini terdapat beberapa bangunan, namun semuanya kosong. Suasana siang itu sangat sepi, tak ada orang lain selain kami berlima. Kami berjalan menuju bagian ujung (barat) yang ternyata merupakan hutan bakau. Pantai di sini airnya sedang surut ditambah suasana yang sepi membuat kami memilih untuk meninggalkan tempat ini.
Saat kembali ke Pantai Pasir Perawan, kami melewati Pantai Bintang yang letaknya tak jauh dari Pantai LIPI. Kami mampir sebentar di pantai ini untuk sekedar bersantai. Suasana Pantai Bintang saat itu hanya ada beberapa pengunjung. Air laut sedang surut, kami hanya memandanginya dari bawah pohon.
Puas menikmati Pantai Bintang, kami kembali Pantai Pasir Perawan dengan cara menerobos perkampungan warga. Bukan tanpa alasan, kami menerobos perkampungan karena tidak memegang uang sama sekali (uangnya ada di tenda). Di perjalanan menuju Pantai Pasir Perawan, kami melaksanakan Sholat Zuhur di mushola pantai. Bangunannya unik, berbentuk seperti rumah panggung dan terbuat dari kayu.
Sesampainya di tenda, kami baru sadar kalau matrasnya Rendy ada di tenda pengunjung lain yang letaknya bersebelahan dengan tenda kami. Karena kesal dan dengan modal nekat, akhirnya Rendy mengambil matras itu di tenda sebelah. Duh, untungnya matras saya tidak ikut diambil tenda sebelah.
Pukul 15.00 kami dikabarkan oleh Babeh Masna kalau perahunya masih dalam perjalanan menuju Pulau Pari. Jadi kami harus menunggu sekitar 15 menit, it's okay. Sambil menunggu perahu, kami bersantai di ayunan jaring sambil mengobrol dengan warga sekitar yang usianya lebih tua dari Babeh Masna. Beliau merupakan orang asli Pulau Pari. Pekerjaan sehari-harinya sebagai penyewa perahu dengan tarif Rp10.000 per orang. Banyak hal tentang Pulau Pari yang diceritakan oleh beliau. Termasuk kayu mentru yang dijadikan sebagai bahan baku utama untuk membuat perahu nelayan.
Saat kembali ke Pantai Pasir Perawan, kami melewati Pantai Bintang yang letaknya tak jauh dari Pantai LIPI. Kami mampir sebentar di pantai ini untuk sekedar bersantai. Suasana Pantai Bintang saat itu hanya ada beberapa pengunjung. Air laut sedang surut, kami hanya memandanginya dari bawah pohon.
Puas menikmati Pantai Bintang, kami kembali Pantai Pasir Perawan dengan cara menerobos perkampungan warga. Bukan tanpa alasan, kami menerobos perkampungan karena tidak memegang uang sama sekali (uangnya ada di tenda). Di perjalanan menuju Pantai Pasir Perawan, kami melaksanakan Sholat Zuhur di mushola pantai. Bangunannya unik, berbentuk seperti rumah panggung dan terbuat dari kayu.
Sesampainya di tenda, kami baru sadar kalau matrasnya Rendy ada di tenda pengunjung lain yang letaknya bersebelahan dengan tenda kami. Karena kesal dan dengan modal nekat, akhirnya Rendy mengambil matras itu di tenda sebelah. Duh, untungnya matras saya tidak ikut diambil tenda sebelah.
Pukul 15.00 kami dikabarkan oleh Babeh Masna kalau perahunya masih dalam perjalanan menuju Pulau Pari. Jadi kami harus menunggu sekitar 15 menit, it's okay. Sambil menunggu perahu, kami bersantai di ayunan jaring sambil mengobrol dengan warga sekitar yang usianya lebih tua dari Babeh Masna. Beliau merupakan orang asli Pulau Pari. Pekerjaan sehari-harinya sebagai penyewa perahu dengan tarif Rp10.000 per orang. Banyak hal tentang Pulau Pari yang diceritakan oleh beliau. Termasuk kayu mentru yang dijadikan sebagai bahan baku utama untuk membuat perahu nelayan.
Santai kayak di pantai, selaw kayak di pulau :) |
Setelah menunggu beberapa menit, Babeh Masna kembali menghampiri kami. Kami dituntun oleh Babeh Masna menuju rumahnya untuk mengambil peralatan snorkling dan menuju tempat bersandarnya perahu di bagian selatan pulau. Kami memotong jalan melewati empang dan tembus di rumah penduduk yang rata-rata masih terbuat dari kayu. Sesampainya di bibir pantai, Babeh Masna memanggil adik iparnya untuk mengendarai perahu dan memandu kami berlima.
Motong jalan lewat belakang |
Pulau Pari juga punya empang |
Bagian selatan pulau |
Adik iparnya Babeh Masna juga terlihat sudah sepuh. Kami memanggil beliau dengan sebutan Babeh *semua aja dipanggil Babeh. Di tengah perjalanan menuju spot snorkling, Babeh bercerita banyak hal tentang Kepulauan Seribu dan pengalamannya menjelajah lautan luas menggunakan perahu kecil miliknya. Menurut cerita Babeh, kawasan Pulau Pari saat ini airnya sedang mengalami pencemaran dikarenakan limbah kiriman dari daratan Jakarta yang ikut terbawa arus. Babeh juga bercerita kalau beliau pernah berlayar menuju Bangka Belitung menggunakan perahu kecil miliknya selama 2 hari 2 malam dengan bantuan kompas dan perbekalan seadanya. Beliau juga hafal pulau-pulau di Kepulauan Seribu, termasuk Pulau Segama yang sudah masuk wilayah Lampung. Keren!
Perahu kecil Babeh yang pernah berlayar sampai Bangka Belitung |
Menuju spot snorkling |
Sesampainya di lokasi, kami langsung menyelami bawah laut. Banyak kumpulan ikan hias di sekitar kami. Terumbu karangnya juga terlihat walau airnya sedikit keruh karena pencemaran. Setelah puas snorkling kami kembali ke lokasi awal tempat bersandarnya perahu milik Babeh. Perjalanan pulang ditemani dengan matahari yang mulai terbenam. Indahnya...
Vitamin sea |
Tanpa pelampung |
Ikan-ikan |
Korban kapal tenggelam, haha |
Setelah perahu disandarkan, tak lupa kami meminta foto sama Babeh untuk kenang-kenangan. Di kejauhan terlihat Babeh Masna menunggu kedatangan kami. Kami mampir sebentar ke rumah Babeh Masna untuk mengembalikan peralatan snorkling dan mandi di WC umum dekat rumahnya.
With babeh |
Hari mulai gelap, namun kehidupan di Pantai Pasir Perawan baru dimulai. Kami makan malam ditemani dengan alunan musik. Suasana saat itu sangat ramai dan berisik karena ada acara dari salah satu rombongan yang jumlahnya ratusan. Kami pun tertidur, namun tidak pulas karena suasana malam itu sangat ramai.
Hari Kedua (Senin, 24 April 2017)
Pukul 05.00 kami terbangun. Pagi itu suasana pantai sudah sepi, acara semalam sudah selesai. Kami langsung menuju mushola untuk sholat subuh dan cuci muka. Sehabis dari musholla kami langsung merapikan tenda dan barang-barang yang lain. Disaat sedang merapikan tenda, Faldo baru sadar kalau kameranya ternyata hilang dari semalam. Kami mencoba mencari, namun tidak berhasil ditemukan. Kami mulai curiga dengan tenda sebelah, karena matrasnya Rendy kemarin juga diambil tenda sebelah. Gerak-gerik mereka dari semalam juga mencurigakan. Di sela-sela kekusutan, pagi itu saya manfaatkan untuk mengambil gambar Pantai Pasir Perawan menggunakan kamera ponsel.
Pantai Pasir Perawan di pagi hari |
Perahu nelayan di Pantai Pasir Perawan |
Sampai dengan pukul 08.00 kamera milik Faldo tetap tidak ditemukan. Sebelumnya kami sudah lapor ke petugas keamanan pantai. Pihaknya juga sudah menggeledah tas milik tenda sebelah yang dicurigai. Namun semuanya sia-sia. Faldo harus ikhlas pulang tanpa kamera kesayangannya.
Pukul 08.30 kami meninggalkan Pantai Pasir Perawan dan kembali menuju dermaga. Sesampainya di dermaga belum terlihat aktivitas naik turun penumpang. Kapal-kapal menuju Muara Angke pun masih kosong tanpa penumpang. Menurut informasi dari petugas ticketing, hari itu ada 3 kapal menuju Muara Angke yang berangkat sekitar pukul 10.00 - 11.00. Kapal-kapal tersebut antara lain KM Rindu Alam, KM Satria Express, dan KM Ratu Serinding yang masing-masing tarifnya Rp40.000. Kami membeli tiket KM Rindu Alam karena kapal ini yang akan berangkat terlebih dahulu menuju Muara Angke.
Kami menaiki KM Rindu Alam sekitar pukul 09.00. Saat itu kapal masih kosong karena dijadwalkan akan berangkat pada pukul 10.00. Kami memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan posisi yang enak. Saya sempat tertidur beberapa menit dan akhirnya terbangun karena suara hiruk pikuk penumpang yang naik. Sekitar pukul 10.00 kapal sudah benar-benar full tetapi tidak juga diberangkatkan. Area ruang tunggu di dermaga juga sudah sepi. Menurut cerita dari penumpang sebelah, ternyata kapal masih menunggu 1 rombongan lagi yang berjumlah 4 orang. Penumpang di dalam kapal mulai emosi bahkan ada yang meminta awak kapal untuk meninggalkan rombongan itu. Ketika rombongan penumpang yang telat itu memasuki area dermaga, mereka disoraki oleh penumpang yang emosi. Sebagian penumpang lain termasuk saya tertawa melihat penumpang yang emosi, hahaha.
Sekitar pukul 10.20 KM Rindu Alam diberangkatkan menuju Muara Angke. Perjalanan pulang cukup membosankan. Udara panas dan teriknya matahari membuat saya tidak bisa tidur. Payahnya, KM Rindu Alam sempat dibalap oleh KM Satria Express di dekat Pulau Untung Jawa. Mendekati Muara Angke kami disuguhkan dengan pemandangan proyek reklamasi dan gedung-gedung pencakar langit yang berada di daratan ibu kota. Hingga akhirnya kapal merapat di dermaga Muara Angke tepat pukul 12.30.
Kembali ke Muara Angke dengan kapal yang sama |
Kedua orang tua Fajri sudah menunggu kami di ruang tunggu. Alhamdulillah, dengan baik hati mereka mau antar jemput kami untuk mengurangi pengeluaran. Sesampainya di rumah Fajri, kami diberi hidangan Tongseng Ayam. Pukul 15.00 kami kembali ke rumah masing-masing. Saya diantar Fajri ke Stasiun Pasar Minggu Baru dan akhirnya sampai rumah pukul 16.00. Sangat bersyukur karena saya masih diberi kesempatan untuk menjelajah keindahan ciptaan-Nya.
Pengeluaran Selama di Pulau Pari
Tiket Kapal (PP) -> Rp80.000
Tiket Peron 2x -> Rp4.000
Snorkling -> Rp55.000
Mandi 1x -> Rp5.000
Air 2 liter -> Rp20.000
Telor gulung -> Rp5.000
Keripik sukun 2 bungkus -> Rp20.000
Total -> Rp189.000
Tips Camping di Pulau Pari
1. Usahakan tiba di Muara Angke pukul 06.00 agar tidak terlalu lama antri tiketnya dan bisa memilih tempat di kapal.
2. Jaga selalu barang bawaan selama di kapal.
3. Jangan tinggalkan barang-barang berharga di dalam tenda.
4. Jika ada barang yang hilang segera lapor ke petugas keamanan pantai.
5. Tutup rapat tenda selama beraktivitas di luar tenda.
6. Biaya snorkling rata-rata Rp50.000 sampai dengan Rp80.000. Namun itu semua tergantung keahlian tawar menawar.
7. Jika tidak ingin snorkling, bisa menyewa perahu ke bapak tua yang berada di area tenda dengan tarif Rp10.000 per orang. Beliau akan mengajak mengelilingi Pantai Pasir Perawan termasuk hutan bakaunya.
8. Untuk menghemat biaya, lebih baik membawa bekal yang awet seperti rendang, teri, dan abon. Bisa juga bawa kompor untuk memasak. Jangan lupa bawa cemilan dan air mineral dari rumah.
9. Bersikap sopan kepada sesama pengunjung dan warga sekitar.
10. Selalu buang sampah pada tempatnya.
0 Komentar