KRL Jakarta–Bogor dari 2007 sampai 2016

Tak terasa, delapan tahun lebih saya menjadi pelanggan setia KRL. Dimulai sejak bulan September 2007, ketika keluarga kami pindah rumah ke kawasan Bojong Gede, tetapi masih kerja dan sekolah di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Praktis, KRL rute Jakarta–Bogor menjadi teman sehari-hari bagi keluarga kami.

Sebenarnya, bukan hanya kami yang sudah bertahun-tahun menggunakan jasa KRL, masih banyak orang lain yang sudah lebih dulu menjadi penumpang setia KRL, bahkan ada yang sudah melebihi satu dasawarsa. Untuk urusan transportasi, KRL memang sangat membantu karena  harganya yang murah dan kecepatannya yang bisa diandalkan. Sebagian besar penumpang setianya adalah kaum penglaju yang terdiri dari pekerja kantoran, pedagang, karyawan, mahasiswa, dan juga pelajar seperti saya.

Sebelum tahun 2013, KRL di lintas Jakarta–Bogor terdiri dari banyak pilihan kelas, walaupun jadwal perjalanannya masih minim. Jika kita ingin cepat dan nyaman, KRL Pakuan Ekspres adalah pilihan tepat. Jika kita ingin merasakan pelayanan seperti Pakuan Ekspres tetapi dengan waktu tempuh yang lebih lama, KRL Ekonomi AC adalah pilihannya. Terakhir, jika ingin merasakan kehidupan masyarakat yang sesungguhnya, KRL Ekonomi adalah jawabannya. Rangkaian kereta dengan penumpang berjubel di segala sisi, bercampur baur dengan pedagang asongan, tukang buah, tukang lemari, dan juga copet yang menyamar seperti penumpang biasa.

KRL Ekonomi AC dipenuhi penumpang. Sumber: di sini

KRL Ekonomi. Sumber: di sini

KRL Pakuan Ekspres. Sumber: di sini

Selama 8 tahun menjadi pelanggan setia, sudah pasti merasakan manis pahitnya naik KRL. Jamannya masih ada KRL Pakuan Ekspres, KRL lain yang kelasnya lebih rendah (Ekonomi dan Ekonomi AC) terpaksa harus mengalah. Biasanya di Pasar Minggu dan Depok KRL Ekonomi dan Ekonomi AC rela berhenti lama hanya untuk menunggu disusul Pakuan Ekpres. Merasakan mogoknya KRL Ekonomi, membludaknya penumpang Ekonomi AC, hingga jatuhnya orang dari dalam kereta pernah saya rasakan. Terlantar di stasiun Tebet karena gangguan berjam-jam juga pernah saya rasakan. Naik KRL Ekonomi tanpa membeli karcis adalah hal lumrah. Bukan tanpa alasan, hampir semua penumpang KRL Ekonomi tidak membeli karcis karena memang tidak pernah ada pemeriksaan. Saya juga pernah kena kepret pedagang bunga di Stasiun Depok yang bunganya tidak sengaja saya injak.

Sebelum tahun 2010, setiap berangkat sekolah pasti selalu berdesakan naik KRL Ekonomi dari Stasiun Bojong Gede bersamaan dengan tumpukan lemari, keranjang sayuran, buah-buahan, dan kursi bambu yang akan dijual ke Jakarta. Sering pula naik di kabin masinis, tentunya dengan salam tempel ke masinis.

Pertengahan 2010 frekuensi perjalanan KRL Ekonomi AC ditambah karena pada saat itu beredar isu kalau KRL Ekonomi akan dihapus. Dan yang membuat saya senang adalah ditambahnya 1 jadwal KRL Ekonomi AC pukul 05.00 yang keberangkatan awalnya dari bukan dari Stasiun Bogor, melainkan Stasiun Bojong Gede. Praktis membuat kereta itu tidak terlalu padat dan mulai saat itu saya dan orang tua saya menjadi pelanggan setia KRL tersebut. Kami biasanya naik di gerbong 5 dan akrab dengan sesama penumpang di gerbong 5 . Terkadang penumpang di gerbong 5 juga saling berbagi makanan yang dibawa. Beberapa di antara mereka adalah sepasang suami istri asli Sleman yang menjadi guru sekolah Kristen di Jakarta Pusat. Masih teringat cerita dari mereka ketika rumahnya yang di kampung terkena dampak erupsi Gunung Merapi di akhir tahun 2010. Beberapa penumpang lain yang masih saya ingat adalah seorang wanita karir berumur sekitar 45 tahunan yang murah senyum. Ada pula seorang bapak guru dengan anaknya yang masih sekolah. Di gerbong 5 juga terdapat beberapa penumpang yang menjual makanan ringan untuk sekedar mengganjal perut, biasanya berupa donat, risol, dan jajan pasar lainnya. Mereka bukan pedagang asongan, melainkan pedagang pasar yang menggunakan KRL sebagai angkutan pilihannya.

Di pertengahan tahun 2011 seluruh perjalanan KRL Ekspres dihapus dan menghasilkan pro kontra. Banyak yang setuju banyak juga yang tidak setuju. Pada saat itu juga terjadi perubahan nama KRL Ekonomi AC menjadi KRL Commuter Line. Perjalanan KRL Commuter Line (Ekonomi AC) ditambah dan perjalanan KRL Ekonomi semakin berkurang. Isu KRL Ekonomi akan dihapus semakin santer. Banyak penumpang yang protes dengan kebijakan tersebut. Hasilnya, Stasiun Bekasi sempat diblokade  penumpang yang keberatan dengan kebijakan tersebut.

Aksi blokade di Stasiun Bekasi. Sumber: di sini

Akhirnya, terhitung mulai tanggal 23 Juli 2013 seluruh perjalanan KRL Ekonomi dihapus dan digantikan dengan KRL Commuter Line. Sistem E-Ticketing juga diterapkan untuk menggantikan tiket kertas. Tarifnya menjadi jadi lebih murah, untuk 25 km pertama sebesar Rp2.000 dan 10 km berikutnya Rp1.000. KRL juga sudah beroperasi hingga Maja, sebuah kecamatan di Kabupaten Lebak. Tidak lama lagi KRL juga akan memperpanjang rutenya sampai Rangkasbitung dan juga Cikarang. Saya dan mungkin para pengguna setia KRL yang lain patut bersyukur karena KRL saat ini jauh lebih baik.  Walau begitu, terkadang ingatan masa lalu tentang buruknya sistem KRL membuat saya menjadi rindu masa-masa seperti itu. Ah sudahlah, semua itu sudah berlalu.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Saya belum pernah menaiki KRL hehehhehe. Ke Jakarta aja dulu cuma singgah sejenak dan menghilang lagi :-D

    BalasHapus
  2. Main2 lah ke Jakarta lalu coba naik KRL, murah & nyaman hehehe

    BalasHapus