Gunung Munara dan Bogor Barat di Sore Itu

Minggu, 10 Januari 2016

"Mi. Ke Gunung Munara, yuk. Hari ini!" Tiba-tiba saya dikagetkan dengan chat masuk dari Acong, teman saya sewaktu SMP.

"Anjrit, dadakan amat. Besok-besok aja, lah." Saya menolak ajakan itu karena hari sudah lumayan siang.

"Gapapa, kesorean juga gapapa yang penting jadi. Yuk!" Acong membalas dengan sedikit paksaan yang sangat menggoda.

Setelah berdiskusi sebentar, keputusannya kami berangkat ke Gunung Munara hari itu juga. Kami juga mengajak Maman, teman SMP yang waktu itu juga pernah berangkat ke Sukabumi bersama-sama. Jadilah kami bertiga mengunjungi Gunung Munara dengan modal nekat.

For your information, Gunung Munara sebenarnya adalah sebuah bukit kecil yang terletak di Kampung Sawah, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Ketinggiannya sekitar 300 MDPL. Gunung yang sedang naik daun di rentang tahun 2015–2016 ini cocok dijadikan tempat berlatih sebelum mendaki ke gunung yang lebih tinggi lagi. Biasanya waktu yang ditempuh untuk bisa sampai puncak sekitar 1 jam. Oleh karena itu hampir semua pengunjungnya tidak bermalam di sana.

Titik kumpul kami bertiga di Stasiun Depok Baru. Dari Stasiun Depok Baru kami menggunakan angkot 03 menuju Pasar Parung. Perjalanan sampai dengan Pasar Parung ditempuh dalam waktu 1 jam. Selanjutnya kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Rumpin menggunakan angkutan umum lagi. Cukup prihatin melihat infrastruktur jalan di daerah ini, sebagian besar jalanannya rusak dan beberapa titik berlumpur. Inilah potret Kabupaten Bogor, kabupaten yang memiliki potensi bagus, namun sayangnya tidak diperhatikan oleh pemerintah. Kembali ke cerita, setelah 40 menit di atas angkot, kami kami akhirnya tiba di jalan masuk menuju basecamp Gunung Munara.

Jalan masuk menuju basecamp Gunung Munara yang diambil saat pulang

Kami menyusuri jalan tersebut untuk menuju basecamp Gunung Munara. Sesampainya di basecamp, sudah banyak pendaki yang turun dengan wajah lelah. Hmm, ternyata kami memang benar kesiangan. Sebelum bergegeas, tak lupa kami menunaikan ibadah Sholat Zuhur terlebih dahulu dan memohon doa agar dapat kembali ke rumah dengan selamat.

Pintu masuk Gunung Munara

Jalan menuju basecamp Gunung Munara yang diambil saat pulang

Tepat pukul 14.00 kami mulai berjalan menuju puncak. Trek awal sebelum pos 1 masih landai dan datar. Kami melewati jembatan bambu, persawahan, dan beberapa tanjakan yang belum terlalu terjal. Perjalanan dari basecamp menuju pos 1 sekitar 15 menit dan kami putuskan untuk istirahat di pos 1 untuk mengembalikan nafas yang mulai ngos-ngosan.

Jembatan bambu sebagai awal permulaan

Trek di awal melewati persawahan

Beberapa saat sebelum pos 1

Lepas pos 1 tantangan dimulai. Trek yang kami lewati semuanya adalah tanjakan tanpa bonus jalan datar apalagi turunan. Baru jalan 15 menit nafas saya sudah mulai ngos-ngosan. Trek yang kami lewati adalah jalan setapak yang sudah dibuatkan seperti tangga oleh warga sekitar. Beberapa kali kami melihat batu-batu yang ukurannya sangat besar. Beberapa menit kemudian kami tiba di pos 2 yang terdapat makam keramatnya. Kami istirahat di sana selama beberapa menit.

Pos 1 Gunung Munara

Pos 2 Gunung Munara

Di tengah perjalanan. Tampak Bukit Nyungcung di kejauhan.

Pos 1 dan pos 2 sudah kami lewati, puncak sudah semakin dekat. Kami tambah semangat ketika pengunjung lain bilang kalau puncak sudah dekat. Dengan penuh semangat akhirnya kami sampai di Puncak Batu Belah sekitar pukul 15.00. Untuk menuju puncak harus menaiki batu yang tingginya sekitar 7 meter. Dengan dibantu tali webbing yang terpasang, kami sampai di Puncak Batu Belah. Tidak ada kata yang saya ucapkan selain MasyaAllah. Deretan pegunungan di daerah Bogor Barat terlihat dari sini.

Pemandangan dari puncak

Mendung dan berkabut

Kawasan hutan

Beberapa menit memijakkan kaki di puncak, kabut mulai turun. Semua tampak putih dan radius penglihatan tidak terlalu jauh. Udara terasa cukup dingin dan akhirnya hujan turun. Kami turun ke bawah dengan terburu - buru dan mengakibatkan saya terpeleset. Kami pun berteduh di sebuah pondok yang letaknya tidak jauh dari puncak. Hujan turun sekitar 20 menit dan cukup membuat kami mati gaya di pondokan kecil. Sangat disayangkan karena di pondokan kecil ini banyak sampah berserakan dan coretan vandalisme di setiap sudutnya.

Tepat pukul 15.50 kami bertiga turun ke bawah. Perjalanan turun jauh lebih berat daripada perjalanan naik karena jalannya sangat licin sehabis diguyur hujan. Dalam perjalanan turun, kami sempat istirahat beberapa kali karena kondisi jalan yang tak memungkinkan. Jalanan licin menyebabkan kami harus berhati-hati, tak jarang ada pengunjung lain yang terpeleset dan menjadi bahan tawaan.

Syukur, sekitar pukul 17.00 kami tiba di basecamp dengan selamat. Buru-buru membersihkan kaki di sungai dan menunaikan ibadah Sholat Ashar sebelum pulang.

Turunan curam yang licin

Licin brayy

Licin brayy

Kotor semua

Sungai tempat bersih - bersih

Tepat pukul 17.10 kami bergegas pulang. Tetapi kami diberitahu oleh penjaga warung kalau sudah lewat dari jam 5 tidak ada lagi angkutan umum yang lewat. Kami bertiga sempat panik dan kebingungan. Mengusir kepanikan, kami sedikit bermusyawarah sambil foto-foto sepanjang perjalanan menuju jalan raya. Sesampainya di jalan raya kami mencari tumpangan mobil bak atau truk agar bisa sampai Parung. Tidak lama menunggu saya melihat mobil bak Grand Max silver yang kosong. Tanpa basa basi langsung kami berhentikan.

"Bang mau ke mana?" Kami bertanya penuh harap.

"Mau ke Parung." Jawabnya.

"Wah serius, Bang? Numpang, ya?" Kami menjawab dengan semangat.

"Iya, naik aja." Jawabnya sambil mempersilahkan kami naik.

Alhamdulillah, akhirnya kami dapat tumpangan sampai Parung. Mobil melaju dengan cepat melewati perkebunan, hutan, dan deretan perbukitan. Pemandangan yang ditawarkan cukup memanjakan mata. Kami terpesona ketika mobil bak yang kami tumpangi melewati Bukit Nyungcung dan Jembatan Kali Cisadane. Memang pemandangan di Kabupaten Bogor khususnya Bogor Barat lumayan bisa memanjakan mata walaupun letaknya terpelosok.


Jembatan Kali Cisadane

Ini Acong

Bukit Nyungcung dan perkampungan sekitar


"Alhamdulillah banget ya dapet tumpangan sampe Parung." Saya iseng memulai obrolan.

"Iya hahaha." Acong menjawab.

"Gua ga tau daerah ini dah." Maman tiba-tiba nyeletuk.

"Daerah antah-berantah, Man. Jauh dari ibu kota." Saya menambahkan.

"Hahahahaha." Kami tertawa.

Senja mulai tiba, adzan Maghrib pun berkumandang. Mobil bak yang kami tumpangi terjebak macet di perempatan Ciseeng. Tiba - tiba sopir mobil bak memberi isyarat agar kami mendekat ke kaca mobil.

"Dek, saya mau ke Jampang, adeknya mau ke Parungnya mana?" Tanyanya kepada kami

"Ke Pasar Parung, Bang." Kami menjawab dengan cemas.

"Nanti kalian turun di depan aja, terus naek angkot lagi. Soalnya saya mau belok kanan ke arah Jampang." Tambahnya lagi.

"Oh, nanti yang tembusnya Pertigaan Jampang ya Bang?" Saya kembali bertanya

"Iya." Jawabnya singkat.

Setelah berembuk, kedua teman saya memutuskan untuk turun di perempatan Ciseeng. Selanjutnya mereka naik angkot menuju Pasar Parung dan melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Depok Baru. Sedangkan saya ikut mobil bak sampai Pertigaan Jampang karena tujuan saya adalah Bojong Gede. Agar lebih cepat saya lebih memilih ikut mobil bak sampai Pertigaan Jampang dan dari sana naik angkot sampai Bojong Gede.

Setelah kedua teman saya turun, hari mulai gelap dan saya hanya sendiri di belakang mobil bak terbuka. Udara semakin dingin dan saya mengambil jaket kesayangan untuk dipakai. Naik mobil bak terbuka di malam hari rasanya sangat syahdu. Terasa seperti pulang kampung menyusuri Jalan Raya Pantura. Jalan yang dilalui melewati perkebunan yang sudah tak terlihat karena gelapnya malam. Lima menit berlalu, hening, 10 menit berlalu hening, baru sekitar 15 menit mobil bak yang saya tumpangi sampai di pemukiman penduduk di daerah Jampang. Mobil sempat tersendat di pertigaan Jalan Raya Parung–Jampang.
Senja di atas mobil bak

Senja di atas mobil bak

"Bang, ini Jampang kan?" Saya memberanikan diri untuk bertanya.

"Iya, Dek." Ia menjawab.

"Bang, berarti nanti lewat Pertigaan Tonjong dong?" Saya bertanya lagi.

"Iya." Jawabnya singkat.

Akhirnya saya putuskan untuk ikut sampai Pertigaan Tonjong. Jalan Raya Parung di malam hari seperti jalan yang saya lewati ketika mudik, sepi dan jauh dari keramaian. Mobil terus menuju ke selatan, sudah tidak terlihat lalu lalang angkutan kota. Saya pun bertanya dalam hati apakah masih ada angkot menuju Bojong Gede. Entahlah.

"Dek, ini pertigaan Tonjong." Perkataan sopir itu membuyarkan lamunan saya.

"Oh iya, saya turun di sini ya. Makasih banyak, Bang."

Tanpa basa-basi saya langsung turun dan mobil bak tersebut kembali memacu kecepatannya ke arah Atang Sanjaya. Di sini saya merasa bingun karena tidak ada angkot. Untungnya tak lama kemudian ada tukang ojek yang menawarkan jasanya dengan tarif Rp30.000. Ternyata menurut abang ojek, angkot 117 Parung–Bojong Gede tidak lewat pertigaan Tonjong dan sudah jarang beroperasi hingga Pasar Parung karena rutenya banyak yang dipangkas menjadi Bojong Gede–Inkopad dan Bojong Gede–Pura.

Alhamdulillah, akhirnya saya sampai di rumah dengan selamat pukul 19.15. Saya bersyukur dan berterima kasih kepada Allah SWT karena memberikan saya nikmat yang tak terhingga dan tak terduga pada hari itu. Pada hari itu juga saya mendapat banyak pelajaran yang tak bisa saya sebutkan dengan kata-kata.

Bonus; Kotor semua

Posting Komentar

2 Komentar