Cerita sebelumnya;
-----
Kamis pagi yang merupakan hari terakhir mengajar di kelas, saya mencoba berbagi sedikit informasi tentang negara-negara di dunia. Ternyata banyak dari anak-anak kelas 6 yang belum tahu bahkan belum pernah mendengar negara-negara selain Indonesia. Bahkan Asia Tenggara pun tak ada yang tahu. Hanya segelintir anak saja yang dapat menyebutkan negara-negara lain, itu pun hanya sebatas Inggris dan Amerika yang memang memiliki pengaruh cukup kuat di dunia.
Pembelajaran materi ASEAN |
Nama-nama daerah dan provinsi di Indonesia pun banyak dari mereka yang belum pernah mendengar. Kebanyakan dari mereka hanya mengetahui Cibuyutan, Jonggol, Cariu, Bogor, dan Jakarta. Kenampakan alam seperti gunung pun yang mereka tahu hanyalah Gunung Sungging dan Gunung Lingga yang letaknya memang di Cibuyutan. Sekali pun jauh, mereka hanya tahu Gunung Sanggabuana yang terletak di Karawang.
"Ada yang tahu sekarang kita sedang berada di pulau apa?"
"Jawa Tengah, Kak."
Agak sedikit terenyuh ketika mengetahui kondisi pengetahuan umum mereka, padahal hal-hal seperti ini sepatutnya sudah dipelajari sejak kelas 4 SD. Namun saya sangat mengapresiasi karena mereka begitu excited dengan materi yang merupakan hal baru bagi mereka. Terlebih ketika saya menjelaskan mengenai gunung berapi yang ada di bawah laut.
"Wah, seriusan ada, Kak?"
"Kedalaman lautnya berapa meter, Kak?" Ujar Topan dengan bersemangat.
Sebelum pembelajaran berakhir, sebuah peta besar yang menggambarkan kepulauan di Indonesia cukup menarik perhatian anak-anak. Peta itu juga yang membuat pembelajaran menjadi lebih interaktif. Sebelas dua belas dengan salah satu scene film Laskar Pelangi ketika Bu Muslimah melakukan sesi tanya jawab dengan anak-anak melalui peta.
Sepulang sekolah, anak-anak kelas 6 yang selama ini menjadi tanggungan, saya biarkan mereka membeli Indomie secara cuma-cuma di Warung Teh Reni. Hitung-hitung kali terakhir bersama mereka sekaligus ungkapan rasa terima kasih. Mereka yang seakan-akan tak percaya membuat saya sedikit terharu. Betapa tidak, anak-anak lugu ini tak yakin kalau saya sebentar lagi akan meninggalkan Cibuyutan.
"Kak, ini gratis?"
"Ini kakak yang bayarin?"
"Makasih, Kak."
"Kakak mau pulang, ya?"
Makan Indomie di Warung Teh Reni |
Foto terakhir setelah pembelajaran |
Menjelang sore, para relawan sedang sibuk-sibuknya menyiapkan pentas seni sekaligus perpisahan di malam harinya. Nadhira, Aya, dan Syaira terlihat bersemangat melatih anak-anak perempuan kelas 4-6 yang nanti malam akan menampilkan beberapa tarian. Relawan lain pun terlihat sibuk berlatih suara. Sedangkan beberapa relawan laki-laki yang tersisa membantu merapikan lapangan yang akan dijadikan tempat penyelenggaraan pentas seni.
Saya dan Tyas sejenak meninggalkan sekolah. Mencari lokasi yang pas untuk dijadikan tempat take video kesan pesan selama mengikuti kegiatan pengabdian masyarakat ini. Tyas yang sudah beberapa kali ke Cibuyutan menunjukkan sebuah tempat tersembunyi di utara sekolah. Letaknya yang di ketinggian membuat seluruh rumah warga di Cibuyutan jelas terlihat. Ilalang dengan bunga-bunga yang indah juga menghiasi tempat ini. Terdengar pula samar-samar suara dendang yang dinyalakan warga di kejauhan. Rasanya damai sekali. Seakan-akan tak percaya kalau nanti malam adalah malam terakhir kami di Cibuyutan sebelum esok harinya bergegas pulang.
Memasuki malam, MI Miftahussholah 2 diramaikan oleh anak-anak dan warga sekitar yang akan menyaksikan kegiatan pentas seni sekaligus perpisahan dengan para relawan. Seperti biasa, tingkah anak-anak yang susah diatur membuat kami cukup kewalahan, terlebih kondisi sekitar dalam keadaan remang-remang. Namun suasana menjadi kondusif ketika Putri dan Fadhliah mulai membuka kegiatan ini dengan ucapan salam khas dari daerah asal mereka, Makassar dan Minangkabau. Sontak anak-anak dan warga sekitar tertawa mendengar bahasa yang baru mereka dengar itu.
Beberapa menit basa-basi, acara diisi dengan pementasan seni tari dari siswa perempuan MI Miftahussholah 2. Apik sekali penampilan Rahel dan kawan-kawan. Berbalut gincu dan bedak yang membuat pangling, mereka menari dengan lihai. Sorak dan tepuk tangan dari para penonton pun terdengar.
Memasuki acara puncak, para relawan dan anak-anak Cibuyutan menyanyikan lagu Laskar Pelangi. Berdiri melingkar sambil merangkul satu sama lain. Seketika bulu kuduk di sekujur tubuh saya berdiri. Tak terasa air mata menetes. Relawan dan anak-anak pun terlihat berlinang air mata. Ini merupakan kali pertama bagi saya mendengar sekaligus menyanyikan lagu laskar pelangi sambil menangis. Lirik dan kisahnya persis seperti yang kami rasakan bersama anak-anak Cibuyutan. Mereka yang kesehariannya berbaur dengan alam dan tetap semangat meraih cita-cita di tengah keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan.
"Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia. Berlarilah tanpa lelah, sampai engkau meraihnya."
"Laskar pelangi, takkan terikat waktu."
"Bebaskan mimpimu di angkasa. Warnai bintang di jiwa."
Alunan musik dan lirik yang kami nyanyikan seakan-akan membuka mata telinga kami bahwa Laskar Pelangi benar adanya.
Beberapa menit berlalu, akhirnya acara selesai. Banyak dari anak-anak yang tak beranjak pulang. Berfoto ria bersama kakak-kakak relawan dan lagi-lagi saling bercanda tawa. Untuk terakhir kali, katanya.
Saya dan anak-anak kelas 6 pun berdiri melingkar sambil mengucapkan sepatah dua patah kata. Sedikit memberi motivasi kepada mereka sekaligus ucapan terima kasih atas kebersamaan beberapa waktu ini. Haru sekali rasanya.
Ketika anak-anak bergegas pulang dan para relawan segera beberes, tiba-tiba Topan menghampiri saya. Tangan kirinya sibuk melepas gelang yang tepakai di tangan kanannya seraya seraya memberikan gelang tersebut kepada saya.
"Kak, ini kenang-kenangan buat Kakak."
Tanpa berpikir panjang, saya langsung melepas jam tangan kesayangan saya dan saya pakaikan di pergelangan tangan Topan. Ia memeluk saya dan air mata kami pun tak terbendung lagi.
Topan, si anak hebat |
Begitu pula Iki, anak paling hiperaktif di kelas 5 yang pada sore harinya secara tiba-tiba memukul perut saya, malam ini ia mengucapkan permohonan maafnya melalui surat kecil yang ia buat. Anak yang tertarik dengan bela diri ini sambil malu-malu memberikan surat kecilnya kepada saya. Matanya pun terlihat berkaca-kaca.
"Kak, ini surat buat kakak. Iki minta maaf, ya."
Surat dari Iki |
Selepas pukul sepuluh, suasana MI Miftahussholah 2 kembali sepi seperti biasanya. Hanya sahut-menyahut lolongan anjing yang mampu memecah kesunyian kampung ini. Kami pun menikmati suasana ini untuk terakhir kalinya sambil membuka obrolan yang lebih intim. Saling menuliskan unek-unek antarsesama relawan di potongan kertas yang diputar dari relawan yang satu ke relawan yang lain.
Setengah jam berlalu, kertas telah memasuki putaran terakhir. Masing-masing dari kami membuka surat yang telah diputar. Begitu haru dan sumringah membacanya. Ungkapan kata-kata dari teman sesama relawan yang telah bersama-sama selama kurang lebih 2 minggu ini.
Malam terakhir di Cibuyutan ditutup dengan ucapam terima kasih dan permohonan maaf antarsesama relawan atas sikap dan perbuatan selama ini.
-----
Seperti biasa, udara sejuk selalu menyambut pagi kami di Cibuyutan. Pagi ini agak sedikit berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Tak ada suara gaduh dari wajan dan cobek yang biasa kami gunakan untuk masak. Tak ada harum aroma masakan dari dapur dadakan yang kami buat di pojok sekolah. Tak terlihat pula relawan yang mempersiapkan media pembelajaran ataupun program kerja seperti biasanya. Semua terlihat sibuk merapikan barang-barang pribadi. Beberapa menata nasi uduk dan gorengan yang sebelumnya dipesan di Mama Aep untuk sarapan pagi ini.
Anak-anak Cibuyutan juga terlihat mendatangi sekolah beberapa saat setelah matahari terbit. Mereka sengaja datang lebih awal dari biasanya. Tahu kalau kami akan turun pagi ini.
Nasi uduk yang kami pesan di Mama Aep cukup untuk mengganjal perut kami sebelum berjalan turun ke kantor desa. Cukup pula menambah tenaga kami untuk merapikan sekolah sebelum kami tinggalkan.
Air mata lagi-lagi menetes ketika kami melakukan salam perpisahan dengan anak-anak yang sedari tadi mengerubungi kami. Terlebih ketika saya berpamitan dengan Pak Idris dan Teh Reni yang telah banyak kami repotkan selama hampir 2 minggu ini.
"Kalau mau nangis nggak usah ditahan-tahan atuh, A." Ujar Teh Reni sambil sedikit tertawa.
"Hati-hati ya, A. Terima kasih udah main ke Cibuyutan. Kapan-kapan ke sini lagi ya, A. Maaf Bapak nggak bisa banyak ngomong. Bapak juga sedih, A." Ucap Pak Idris dengan mata yang berkaca-kaca.
Sambil menangis, anak-anak ikut mengantar kami hingga ke persimpangan jalan yang menjadi pintu masuk Cibuyutan.
Pada akhirnya kami berpisah di persimpangan itu, tempat pertama kami memandang Cibuyutan sekitar 2 minggu lalu. Teriakan anak-anak yang seakan meminta kami untuk terus di Cibuyutan perlahan lenyap. Lanskap perkampungan dengan latar belakang Gunung Sungging dan Gunung Lingga itu pun perlahan tak terlihat lagi.
Pagi itu kami meninggalkan Cibuyutan. Kampung kecil yang telah mengajarkan kami banyak hal. Mengajak kami untuk terus bersyukur. Memberikan kami arti kehidupan. Juga banyak kenangan manis yang sulit untuk terlupa.
Foto terakhir bersama Pak Idris |
Foto terakhir bersama anak-anak kelas 6 |
Special thanks to:
- Bapak Idris Apandi selaku kepala MI Miftahussholah 2 yang telah banyak membantu di segala hal.
- Teh Reni, istri Pak Idris yang telah banyak kami repotkan untuk urusan dapur.
- Bapak RT Kampung Cibuyutan.
- Bapak RW Kampung Cibuyutan.
- Dua belas anak hebat kelas 6 MI Miftahussholah 2; Rahel Amanda, Kevin Aditya, Muhammad Rafa, Topan, Aditia Dermawan, Lendrik, Saepul Rifki Gunawan (Aep), Siti Silva Naspariah, Mila Raina Putri, Rendi, Anim (Deden), dan Dapin.
- Anak-anak Cibuyutan, dan
- Seluruh warga Cibuyutan.
"terima kasih telah mengajarkan dan mengenalkan banyak hal, mulai dari pedagogi, matematika, rasi bintang, gunung sungging, gunung lingga, buah huni, buah melaka, danau, lapang, batu besar, kebun pak sama, kebun dapin, kebun deden, pohon randu angker, rumah aep, warung teh reni, rumah pak rt, lolongan anjing, listrik tenaga surya, kehangatan, kekeluargaan, dan banyak lainnya."
Selesai.
0 Komentar