Hangat (Bag. 10)

Cerita sebelumnya;

Bagian 9 - Kebun Dapin, Kebun Deden

-----

Malam-malam di Cibuyutan kebanyakan kami habiskan untuk persiapan kegiatan esok hari. Terlihat di sudut kelas beberapa relawan membicarakan rencana kegiatan yang akan dilaksanakan esok hari bersama Pak RW dan warga sekitar. Tampak di sudut lainnya beberapa relawan berlatih peran untuk kegiatan mendongeng. Ada pula yang mempersiapkan media pembelajaran beserta ice breaking

Kegiatan tersebut biasanya selesai pukul 10 malam. Selanjutnya beberapa relawan bergegas istirahat. Sedangkan beberapa lainnya tetap terjaga hingga dini hari. Berbincang hangat. Membicarakan apa pun itu. Mulai dari dunia perkuliahan, organisasi, percintaan, hingga benda-benda luar angkasa.

Selasar sekolah yang remang-remang menjadi tempat favorit kami untuk berbincang hangat, bahasa kerennya deep talk. Sambil memandangi city light perkampungan yang berada jauh di bawah sana. Sesekali pula lolongan anjing saling sahut menyahut, menyelinap masuk di antara obrolan kami.


Iara begitu antusias menceritakan hubungan pertemanannya dengan seseorang yang ia kenal di dating app. Tyas yang sepertinya ragu dalam perjalanan cintanya, meluapkan seluruh isi hatinya. Begitu pula Reza yang patah hatinya yang tak kunjung usai. Tak mau kalah, saya pun menceritakan apa saja yang dirasa menjadi beban. Sedangkan Nana dan Nadhira, sambil bercerita ia sibuk dengan rutinitas skincare malam. 

Berbeda dengan Agus, taruna salah satu sekolah kedinasan ini dengan asyik menceritakan rasi bintang. Berbekal aplikasi di handphone-nya, rasi bintang dapat terlihat jelas melalui aplikasi tersebut. Kami semua terpesona, terlebih Agus juga menjelaskan satu per satu tentang rasi bintang tersebut.

"Itu Jupiter, yang paling terang. Di sebelahnya ada rasi bintang Pisces, di sebelahnya lagi Andromeda..."

"Coba kamu lihat, matahari di sini kelihatannya ada di bawah kita, kan? Itu berarti matahari membelakangi kita, makanya sekarang gelap."

Saking terpukau dengan apa yang ada di handphone Agus, sampai-sampai kami turun ke lapangan untuk melihat rasi bintang secara langsung. Sejenak pandangan kami menengadah ke atas. Benar saja, kerlip gemintang terlihat jelas di atas sana. Indah sekali.

Tak hanya itu, Agus juga menjelaskan banyak tentang benda-benda luar angkasa. Lagi-lagi, kami sangat terpesona. Seperti seluruh beban hidup dan keluhan kesah yang sebelumnya kami luapkan bersama seketika hilang.

"Cahaya bintang saat ini bisa aja cahaya masa lalu, ketika bintangnya mati dan meledak, kemudian cahaya baru sampai ke bumi sekarang, karena jarak dari bintang ke bumi bisa sampai jutaan tahun cahaya yang mana satu tahun cahaya aja jaraknya jauh banget..."

"Sebenarnya bisa aja ada kehidupan lain di luar bumi, tapi sampai saat ini belum bisa dipastikan karena kita belum menemukannya. Mungkin aja mereka juga nyari kita..."

-----

Pernah sesekali beberapa dari kami menghabiskan malam di rumah Pak RT. Menyusuri jalanan berbatu yang gelap gulita. Memandangi gemerlap lampu perkampungan di bawah sana sebelum akhirnya tiba di rumah salah satu tokoh masyarakat yang sudah beberapa periode ini mengemban amanah.

Kami yang awalnya berkunjung ke rumah Pak RT hanya untuk meminjam lampu lama-kelamaan larut dalam obrolan. Pak RT begitu semangat menceritakan banyak hal tentang Cibuyutan. Terlebih ada Pak Rusdi, salah seorang guru MI Miftahussholah 2 yang juga ikut larut dalam obrolan kami.

"Dari dulu Bapak paling seneng kalau ada mahasiswa atau komunitas yang berkunjung ke Cibuyutan. Selama tujuan mereka baik, Bapak dan warga sini bakal welcome sama mereka. Rumah Bapak mah dari dulu selalu jadi tempat tidur dan tempat istirahatnya mahasiswa. Hp Bapak juga isinya kontak mahasiswa semua." Ujar Pak RT seakan-akan mengawali pembicaraan

"Mahasiswa yang pertama dateng ke Cibuyutan tuh anak-anak UNJ. Jamannya dulu belum ada listrik mereka gelap-gelapan tidur di sini."

"Terus pernah juga dari UMJ dateng ke sini, mereka gotong royong membangun tempat ngaji buat anak-anak."

"Ada juga komunitas yang mengibarkan bendera merah putih di Gunung Sungging sama Gunung Lingga. Pokoknya benderanya gede banget. Itu gunung ketutupan sama bendera merah putih."

"Kalau dari Pendekar Mengajar ini udah ke-3 kalinya di Cibuyutan. Alhamdulillah berkelanjutan terus. Tahun lalu Pendekar Mengajar juga sempet bikin bak sampah di sebelah sekolah. Alhamdulillah bisa dipakai warga buat buang sekaligus bakar sampah."

Ada rasa bangga di dalam diri ketika komunitas yang kami ikuti ini disebut oleh Pak RT, sama-sama dapat memberi manfaat pula. Berbalut komedi dan tawa, kami tertegun dengan cerita-cerita yang disampaikan Pak RT.

"Dulu mahasiswa yang dateng ke sini lewatnya jalan dari arah Tegalaja, jalan yang mau ke arah Batu Besar itu. Jalan itu dulu jadi jalan utama kalau mau ke Cibuyutan. Kondisinya rusak parah. Tapi Alhamdulillah, karena ada pembangunan jembatan ke arah Karangmulya, pembangunan dan peningkatan jalan dipindah ke sana. Makanya sekarang jalan utama kalau mau ke sini lewatnya Karangmulya, bukan lagi Tegalaja." Lanjut Pak RT sambil tersenyum.

"Buat masalah listrik dan penerangan juga baru ada di Cibuyutan belum lama ini. Dulu di sini cuma ada tenaga surya yang nyala dari maghrib sampai isya. Malah kalau musim hujan gak bisa nyala karena gak ada pasokan sinar matahari." Cerita yang persis diceritakan anak-anak sepulang dari Kebun Dapin.

Puas menceritakan seluk-beluk Cibuyutan, obrolan beralih menjadi curahan hati Pak RT yang seringkali dijadikan mediator ketika warganya ada masalah rumah tangga. Beliau juga menceritakan suka duka menjadi ketua RT selama beberapa periode. Kami pun menanggapi dengan seru. Terlebih pembawaan cerita dari Pak RT yang tidak monoton.

Tak mau ketinggalan, Pak Rusdi mulai menceritakan suka duka mengajar anak SD. Obrolan kali ini lebih lucu karena beliau menceritakan hal-hal konyol yang kerap dilakukan anak-anak MI Miftahussholah 2.

"Kadang Bapak juga pusing. Anak yang 1 maunya begini, anak yang 1 lagi maunya begitu."

"Belum lagi kalau berantem. Nanti pasti ada aja yang nangis."

Seketika kami tertawa karena memang benar-benar relate dengan kondisi ketika kami mengajar.

"Bapak juga heran, anak-anak di sini kalau disuruh pilih belajar atau disetrap kok pada milih disetrap."

"Kalau disuruh pilih belajar atau berkebun anak-anak di sini juga pasti lebih milih berkebun. Tuh contohnya si Dimas anak Pak RT. Tadi dia bolos, kan? Ya karena tadi dia ke kebun."

Lagi-lagi kami dibuat tertawa dengan cerita Pak Rusdi. Terlebih Syaira dan Fadhliah yang meng-handle anak-anak kelas rendah dengan banyak keunikan.

"Tapi Alhamdulillah-nya, anak-anak di sini banyak yang berprestasi ikut lomba mewakili kecamatan. Beberapa di antaranya juga ada yang lanjut kuliah."

Satu dari banyak hal yang membuat kami bangga dengan anak-anak Cibuyutan; daya tangkap mereka begitu luar biasa. Terbukti ketika pembelajaran di kelas mereka begitu aktif dan kompetitif. Teman-teman relawan lain pun merasakannya. Makanya tak heran kalau Pak Rusdi bilang anak-anak Cibuyutan banyak yang ikut lomba mewakili kecamatan.

Tak terasa waktu telah memasuki tengah malam. Hampir sebungkus Exis Mild yang mengisi rongga paru-paru kami telah habis. Wajah ceria Pak RT dan Pak Rusdi pun kini tampak lelah karena seharian tadi dihabiskan di kebun. 

Sebelum kembali ke sekolah, kami berfoto sambil lagi-lagi menertawakan cerita konyol anak-anak MI Miftahussholah 2. Hangat  sekali.

Bersambung...

Bagian 11 - Laskar Pelangi

Posting Komentar

0 Komentar