Cerita sebelumnya;
-----
Lapang menjadi tempat favorit kami selama di Cibuyutan. Padang rumput luas dengan suasana yang tenang membuat kami tak pernah absen ke tempat itu. Hampir tiap sore, terutama di hari-hari menjelang kepulangan, anak-anak tak bosan-bosannya mengajak ke sana.
Merebahkan diri, bercengkrama, dan berlarian satu sama lain memang asyik dilakukan di tempat ini. Terlebih teduhnya langit sore membuat kami betah berlama-lama di sana.
Lapang Cibuyutan |
Pernah saat relawan dan anak-anak lain lebih dulu kembali ke sekolah, beberapa anak yang tersisa di Lapang—Dapin, Deden, Topan, Aep, Yusup, dan Iki—enggan kembali. Mereka asyik bercengkrama di dalam vila. Terlihat serius seperti sedang menyusun strategi. Saya yang penasaran segera mendekat. Sedikit mendengar pembicaraan yang berbisik-bisik. Rupanya mereka ingin sekali mengajak saya pergi. Terlebih Dapin begitu semangat mengajak saya berkunjung ke kebunnya.
"Kak, ke kebun aku, ya!" Ajak Dapin.
"Nanti sebelum ke kebunnya Dapin bakal lewatin kebun aku, Kak." Ujar Deden.
"Tapi jangan ajak yang lain, Kak. Apalagi anak kecil. Ribet kalau nangis, Kak." Sahut anak-anak lain.
"Haha. Oke!"
Seketika kami tertawa. Sepertinya anak-anak yang tersisa ini mengerti perasaan saya. Betapa pusingnya menangani anak-anak kecil kelas 1–3 yang seringkali meributkan banyak hal, menangiskan banyak hal pula. Ya, walau mereka memang menggemaskan, tapi saat ini mungkin saya sedang berada di titik 'malas' berurusan dengan anak-anak kelas rendah. Di titik ini pula saya kembali tersadar bahwasanya menjadi guru memang butuh banyak perjuangan. Hormat saya untuk seluruh guru di negeri ini.
"Ayo, Kak!"
Perjalanan dimulai dengan menuruni jalan setapak ke arah lembah di sebelah Lapang yang anak-anak sebut dengan sebutan Lebak. Dari tempat ini terlihat jelas perbukitan dan pepohonan hijau nan jauh di sana. Terlihat pula sebuah pohon besar yang mencolok di kejauhan yang ternyata itu adalah pohon huni. Segera anak-anak berlarian ke sana.
"Kak, huni, Kak."
"Ayo ambil, Kak."
Topan, Aep, dan Iki dengan cekatan mengambili buah huni yang letaknya cukup tinggi. Sedangkan saya, Deden, dan Yusup menunggu di bawah. Menadah buah huni menggunakan tangan dan baju yang dijadikan wadah.
Pohon huni |
Pohon huni ini terletak di pinggiran kebun cabai yang luas. Terlihat pula beberapa warga sedang menyirami tanaman cabai yang baru saja memasuki masa tanam. Saat-saat seperti inilah banyak warga Cibuyutan yang sibuk menyirami tanamannya selama kurang lebih 2 minggu secara intens Hal ini dilakukan untuk menjaga tanaman cabai agar tidak mati.
Beberapa petak kebun cabai di sebelah pohon huni ini ternyata merupakan kebun milik orang tua Deden. Terlihat pula Ayah Deden sedang sibuk menyiram. Saya membuka obrolan, sedikit basa-basi sambil memperkenalkan diri. Ayah Deden bercerita bahwasanya beliau sudah stay di kebun sejak pagi. Begitu pula dengan warga lain. Menyirami tanaman cabai yang jumlahnya sangat banyak dengan menggunakan gayung. Satu gayung air untuk satu tanaman. Butuh effort yang besar, bukan?
Sambil menghabisi huni yang tadi diambil, kami beristirahat di pinggiran kebun Deden. Ditemani langit teduh, kami berbicara tentang banyak hal, mulai dari aktivitas mereka di sekolah, seluk-beluk Cibuyutan, hingga pertanyaan tentang cita-cita.
"Kakak cita-citanya mau jadi apa?" Tiba-tiba Topan bertanya.
Seperti orang yang sedang diwawancara, saya jelaskan sedikit demi sedikit tentang cita-cita saya.
"Kenapa kakak mau jadi guru?"
Rupanya mereka cukup antusias dan penasaran dengan profesi guru, sebuah cita-cita yang saya idamkan sejak kecil.
"Karena jadi guru itu seru. Bisa belajar dan bermain sama anak-anak. Contohnya sekarang, kakak bisa belajar dan bermain sama kalian, kan?"
Seperti scene ketika Pak Harfan menjelaskan tentang kapal Nabi Nuh dalam film laskar pelangi, anak-anak begitu serius mendengar cerita dan penjelasan dari saya. Namun tak lama semuanya buyar ketika Dapin dengan malu-malu berbicara kepada saya.
"Kak, aku ke kebun aku dulu, ya. Nanti kakak nyusul aja. Di sana kebunnya. Kelihatan, kan?"
Tanpa basa-basi Dapin bergegas lari meninggalkan kami. Ia segera ke kebunnya yang letaknya terlihat di kejauhan. Badan kecilnya semakin lama semakin mengecil. Menandakan kalau ia semakin jauh.
Dapin terlihat berlari menuju kebunnya di kejauhan |
Beberapa menit terhanyut dalam obrolan, anak-anak mengajak saya menyusul Dapin. Berjalan perlahan menyusuri perkebunan cabai. Beberapa jalurnya sedikit menanjak. Beruntung, teduhnya langit sore tak membuat kami merasa lelah. Beberapa kali pula kami bertemu dengan warga yang sedang menyiram tanaman cabai. Saling bertegur sapa dan membalas senyum. Menyejukkan sekali.
Sekian langkah berjalan, kami tiba di kebun Dapin. Terlihat Dapin dan ibunya sibuk menanami bibit cabai yang baru saja disemai. Sambil berbincang satu sama lain, ibu Dapin mempersilakan saya untuk ikut menanam bibit cabai.
Dapin membantu ibunya menanam bibit cabai |
"Kak, daunnya jangan kena tanah, ya. Nanti mati."
Dapin sendiri merupakan salah satu peserta didik di MI Miftahussholah 2 yang terkenal rajin membantu orang tuanya berkebun. Sepulang sekolah ia juga sering menggembala kerbau dan kambing. Beberapa kali ia bercerita kalau pernah bermalam di sebuah gubuk di kebunnya hanya karena lembur menyiram cabai. Pernah pula saya melihat Dapin sedang menggotong sebuah kayu besar, untuk membuat kursi rusbang katanya.
Hari semakin sore, kami bergegas pulang, namun Dapin tetap di kebun membantu ibunya. Berjalan melewati jalur yang berbeda. Melewati kolam kecil di antara bebatuan. Anak-anak dengan cepat menuruni kolam tersebut. Siapa tahu ada ikan, katanya begitu.
Putus asa karena ikan yang dicari tak kunjung mendekat, kami kembali melanjutkan perjalanan. Menanjaki sebuah bukit kecil dengan jalan setapak yang kiri-kanannya ilalang. Semakin lama semakin tinggi, anak-anak menunjukkan saya sesuatu.
"Kak, lihat ke sana ada Gunung Batu."
"Keren, ya, Kak."
Benar saja, puncak Gunung Batu yang bentuknya lancip itu terlihat di belakang perbukitan. Cukup takjub karena gunung yang selama ini tersembunyi dari Cibuyutan dapat terlihat dari bukit ini. Kembali saya menjadi incaran pertanyaan anak-anak.
Puncak Gunung Batu di kejauhan |
"Kakak pernah ke sana?"
"Susah gak, Kak? Soalnya waktu itu pernah ada yang meninggal di sana."
Kami kembali menuruni bukit ke arah timur sambil saya menjawab pertanyaan anak-anak. Tampaknya mereka cukup bersemangat menanggapi jawaban saya yang sebelumnya pernah beberapa kali ke Gunung Batu. Seperti ada hal baru yang mereka dapatkan tentang Gunung Batu dan sedikit dunia pendakian yang sebelumnya tak mereka ketahui.
Anak-anak juga bercerita bagaimana sulitnya hidup tanpa listrik beberapa tahun lalu. Gelap gulita tanpa penerangan. Hanya mengandalkan tenaga surya yang tenaganya seringkali keok. Terlebih jika musim hujan datang.
"Dulu listrik cuma nyala kalau maghrib aja, Kak. Baru nyala sebentar udah mati lagi." Ucap Aep mengenang beberapa tahun lalu.
"Listriknya pake tenaga surya, Kak. Itu gardunya." Tambah Aep sambil menunjukkan gardu listrik tenaga surya di bawah sana.
Gardu listrik tenaga surya yang terletak di kiri bawah dengan latar belakang Gunung Sungging |
"Dulu pernah ada orang Korea yang ke sini loh, Kak. Kalau gak salah buat bantu-bantu masalah listrik." Sambungnya lagi.
"Kalau mau nonton tv siang-siang, kita harus patungan dulu buat beli bensin, Kak. Bensinnya buat nyalain genset." Tiba-tiba Topan menyambung pembicaraan.
"Terus, ya, Kak, kalau musim hujan listrik gak nyala. Jadi kita gelap-gelapan." Tambah Aep.
"Pokoknya gak enak banget, Kak."
Terenyuh ketika membayangkan bagaimana tertinggalnya Cibuyutan beberapa tahun lalu. Tanpa adanya listrik dan penerangan. Gelap gulita ketika malam, terlebih saat musim hujan. Masih tak percaya tapi itulah kenyataannya.
Tak terasa langkah kami telah tiba di Warung Teh Reni. Aep, Topan, Deden, dan Yusup kembali ke rumahnya ke arah selatan. Hanya Iki seorang diri yang berjalan kembali ke utara. Sedangkan saya kembali ke sekolah dengan disambut pisang goreng buatan Iara, makanan paling enak selama di Cibuyutan yang jadi rebutan para relawan.
Bersambung...
0 Komentar