Perjuangan (Bag. 8)

Cerita sebelumnya;

Bagian 7 - Anjing

-----

Senam merupakan rutinitas yang dilakukan anak-anak MI Miftahussholah 2 tiap Sabtu pagi. Sejak pukul 7 kurang, mereka sudah bersiap dengan seragam olahraga berwarna kuning. Berlarian di lapangan sembari menunggu senam dimulai. Beberapa lainnya asyik sarapan. Menyantap Nasi Uduk Mama Aep yang mereka beli di lapangan bawah seharga Rp2.000.

Anak-anak kelas VI

Senam pagi ini dipandu oleh Aya, relawan asal Purwakarta yang dengan mahir memandu anak-anak melakukan senam seribu dan salah satu senam asal daerahnya. Suasana yang awalnya kondusif lama-kelamaan menjadi sedikit chaos. Seperti biasa, penyebabnya adalah anak-anak kelas 6 yang menjaili adik-adik kelasnya. Beruntung, senam segera berakhir dan kegiatan dilanjutkan dengan pelajaran kesukaan anak-anak, apalagi kalau bukan menggambar.

Gambar persawahan dengan jalan raya di tengahnya dan pegunungan sebagai latar belakang menjadi gambar kesukaan anak-anak di sini—dan mungkin anak-anak di sekolah lain, termasuk saya ketika masih duduk di bangku sekolah. Saya dan teman-teman relawan lain yang kedapatan meng-handle anak-anak kelas tinggi mencoba mengenalkan hal baru bagi anak-anak. Mereka kami minta untuk menggambarkan apa saja yang berkaitan dengan cita-cita mereka. Banyak dari mereka yang sangat excited dengan profesi polisi, dokter dan tentara. 

"Kak, aku mau jadi polisi. Tolong bantuin gambar polisi, dong." Minta Dapin malu-malu.

Suasana kelas pun sedikit lebih kondusif dibanding hari-hari lainnya. Anak-anak begitu fokus dengan rancangan gambarnya masing-masing. Sementara Kevin mencoba mencari referensi gambar astronot menggunakan handphone milik Aura. Anak ini memang sangat excited dengan profesi tersebut. Foto profil di WhatsApp-nya yang jarang aktif juga berupa gambar animasi yang berkaitan dengan astronot.

Beberapa menit berlalu, pikiran saya yang sedang asyik dengan anak-anak seketika buyar ketika salah satu dari mereka yang sedang menggambar di selasar memanggil.

"Kak, dipanggil Pak Guru. Kakak diajak ikut cari kayu bakar, tuh."

Segera saya menemui Pak Idris yang sedang merapikan sisa kayu bakar di samping warungnya. Beliau sejak hari pertama memang sudah berjanji akan mengajak saya mencari kayu bakar yang menjadi bahan bakar utama untuk memasak air, salah satu kebutuhan utama bagi para relawan.

Kami berdua segera bergegas menuju hutan setelah sebelumnya saya menitipkan anak-anak kepada relawan lain. Menaiki motor supra yang telah dimodifikasi layaknya motor offroad. Menyusuri jalan ke arah bawah. Sedikit menjauh dari perkampungan ke arah timur. 

"Di sini tempatnya, A. Nanti kita jalan sedikit ke bawah. Air minumnya dibawa, ya."

Setelah memarkirkan motor di pinggir jalan, kami mulai memasuki area hutan yang pepohonannya mulai sedikit gundul. Panasnya terik matahari yang menembus naungan pohon cukup membuat kulit saya terasa terbakar.

Pak Idris mulai memilih potongan kayu yang berserakan. Beberapa berukuran kecil yang merupakan sisa-sisa penebangan sebelumnya. Beberapa lainnya masih berupa pepohonan besar yang telah mati, lengkap dengan batang, dahan, dan ranting. Pak Idris dengan lihai segera memotong kayu-kayu tersebut dengan golok tajamnya. Pukulan goloknya pun menghasilkan bunyi khas yang keras. Terlihat sangat mudah bagi saya yang melihatnya.

"Coba saya yang motong, Pak." Ujar saya kepada Pak Idris.

"Ini." Pak Idris segera memberikan goloknya.

"Pletok, pletok, pletok." 

"Pak, kok susah? Suaranya juga kenapa jadi begini? Beda banget suaranya kalo bapak yang motong." Ucap saya heran. 

"A, kalo kaya gitu mah kalah sama tenaga anak-anak kecil di sini."  Celetuk Pak Idris.

Seketika kami berdua tertawa. Terlebih Pak Idris yang tak henti-hentinya menertawakan saya memotong kayu. Berkali-kali mencoba, tetap saja cara saya memotong kayu tak semahir Pak Idris.

"Wah, kalo Bapak yang motong dari tadi udah dapet 30 batang. Bapak kan sekali mukul pake golok, kayunya langsung patah, kalo A' Hilmi butuh 30 kali pukulan baru deh kayunya patah." 

Sekali lagi, Pak Idris tak habis-habisnya tertawa meledek saya. Guru sekaligus kepala MI Miftahussholah 2 itu memang gemar bercandaterlebih dengan mahasiswa yang sedang melakukan kegiatan di Cibuyutan. Hal ini tentu saja menjadi hiburan di tengah teriknya sinar matahari.

"Atuh jangan begitu, Pak. Kan jadi malu saya."

Perlahan-lahan, kayu yang telah kami potong mulai terkumpul banyak. Sejenak Pak Idris mengajak saya istirahat di bawah pohon. Berteduh sekaligus bercengkrama sambil sedikit tertawa.

"Kalo lagi begini jadi inget masa kecil, A. Dulu Bapak sama temen-temen sering nyari kayu bakar, terus abis itu istirahat di bawah pohon sambil cerita-cerita." Ucap Pak Idris sambil menyalakan sebatang Exis Mild.

"Dulu tuh Cibuyutan tertinggal banget, A. Alhamdulillah-nya sekarang udah mulai ada perubahan." Sambung Pak Idris membuka obrolan.

"Tertinggalnya gimana, Pak?" 

"Pertama Bapak dateng ke sini sekitar tahun 2007 sama orang tua Bapak. Jalannya dulu masih jalan setapak, susah dilaui kendaraan. Listrik juga belum ada, A. Dulu almarhum orang tua Bapak sama almarhum Pak Mista, bapaknya Away yang sama-sama merintis sekolah buat anak-anak di sini. 

"Kerasa banget perjuangannya, A. Apalagi ketika Bapak ngelihat perjuangan almarhum orang tua Bapak, terlebih almarhum Pak Mista yang banyak banget berjuang buat pendidikan di Cibuyutan. Banyak yang merasa kehilangan ketika beliau meninggal, A."

Seketika kami berdua larut dalam obrolan, sambil sesekali meneguk air dari botol yang kami bawa.

"Kalau cuma dilihat dari segi materi, kerja di bidang pendidikan gak akan mampu buat mencukupi kebutuhan sehari-hari, A. Dipikir-pikir, penghasilan 350.000 sebulan cuma abis buat makan sama rokok aja paling. Tapi yang namanya rejeki pasti selalu ada. Bapak walaupun penghasilan kecil Alhamdulillah apa-apa bisa dibeli, apalagi untuk kebutuhan anak Bapak si Arsya. Kerja di pendidikan yang penting mah ikhlas berjuang, A. Ikhlas mengabdi untuk anak-anak."

"Alhamdulillah juga, berkat bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak, sekarang Cibuyutan mulai ada kemajuan. Infrastruktur jalan udah mulai bagus. Beberapa anak di sini juga ada yang kebutuhan pendidikannya dibiayai sampai dia jadi sarjana, A. Contohnya si Away." 

"Makanya Bapak seneng banget kalo ada mahasiswa atau komunitas yang dateng buat ngebantu. Anak-anak di sini pastinya juga seneng karena bisa belajar sekaligus bermain. Pembelajarannya juga gak monoton seperti sebelum-sebelumnya, A, karena banyak banget hal baru yang dikenalin sama kakak-kakak mahasiswa."

"Bapak juga suka ngajakin mahasiswa atau anak-anak komunitas buat nyari kayu bakar atau sekedar keliling kampung, A. Biar pada tau kalau Cibuyutan tuh begini. Makanya Bapak ngajakin A' Hilmi nyari kayu bakar, kan."

Semakin lama obrolan semakin dalam. Banyak hal yang kami bicarakan. Hingga tak terasa setengah bungkus Exis Mild telah habis. Kami segera bergegas merapikan tumpukan kayu bakar. Mengikatnya di atas dashboard motor. Kembali ke sekolah dengan menyusuri jalan yang beberapa titiknya sudah dicor. 

Sepanjang perjalanan pulang, saya masih larut dalam cerita Pak Idris. Kagum dengan perjuangan orang-orang di balik berdirinya MI Miftahussholah 2. Sedikit menjawab rasa penasaran saya juga, tentang Arsya dan Away yang selalu akur di saat teman-teman lainnya selalu saja meributkan hal-hal yang tidak jelas. Mungkin salah satu alasannya karena ikatan batin yang kuat dari kedua orang tua mereka yang sama-sama merintis berdirinya MI Miftahussholah 2.

Away (kiri) dan Arsya (Kanan)

Mereka yang selalu akur

"Pak Idris, kok air di kamar mandi kecil, ya?" Lapor teman-teman relawan kepada Pak Idris yang baru saja meluruskan kakinya di kursi kayu depan warungnya.

"Gimana A Hilmi? Siap gak kalau nanti kita ngecek mata air di gunung?" Tanya Pak Idris kepada saya sebelum beliau merespon laporan sekaligus pertanyaan dari teman-teman relawan.

"Siap, Pak!"

"Ya udah, sekarang istirahat dulu aja, A."

Beberapa jam berlalu, kami berdua kembali menaiki supra gunung milik Pak Idris sebelum matahari semakin condong ke arah barat. Menanjaki bukit curam di sebelah barat sekolah. Tak pernah saya bayangkan sebelumnya kalau ternyata jalan setapak menuju arah bukit ini bisa dilalui motor. Terengah-engah, supra gunung milik Pak Idris tampaknya kesusahan menanjaki bukit ini.

"Gubrakkk."

Benar saja, kami berdua jatuh terjengkang. Sedangkan motor yang dikendarai Pak Idris ban depannya terangkat ke atas, sebelum akhirnya jatuh ke bawah dengan posisi yang bertolak belakang dari posisi awal . Sontak, kami jadi bahan tertawaan bagi teman-teman relawan yang sedari tadi memperhatikan kami dari warung yang letaknya di bawah.

Pak Idris terlihat kewalahan mengembalikan motor ke posisi semula. Beberapa detik duduk nge-freeze, saya bergegas bangun sambil sedikit tertawa. Pak Idris pun membalasnya dengan tawa.

"Gapapa, A. Buat oleh-oleh cerita dari Cibuyutan."

Tak lama berselang, kami tiba di puncak bukit tersebut. Dilanjut dengan menyusuri jalan tanah ke arah selatan. Kembali berpapasan dengan warga yang sedang mengangkut kayu picung. Hingga akhirnya kami tiba di ujung jalan. Memarkirkan motor, lalu berjalan kaki menyusuri kebun milik orang tua Lendrik dengan latar belakang bukit dengan pepohonan yang rapat.

Terus berjalan, kami mulai memasuki hutan dengan vegetasi yang cukup rapat. Berjalan mendaki dengan jalan setapak yang samar-samar mulai tak terlihat. Tertutup naungan pohon tinggi yang mampu menghalangi masuknya sinar matahari. Terkesan sunyi karena tak ada orang selain kami berdua. Pak Idris sesekali mengeluarkan goloknya untuk menebas rerumputan dan tanaman liar yang menutupi jalan. 

Beberapa menit berjalan, kami berhenti di sebuah punggungan bukit. Sejenak duduk sambil meluruskan kaki. Dari tempat ini terlihat jelas sebuah lembah yang sangat dalam, berbentuk seperti aliran sungai. Jika saya menengok ke arah kiri, maka lembah ini terlihat seperti menyatu dengan sebuah gunung. Sedangkan jika menengok ke kanan, lembah ini samar-samar seperti berakhir di dataran yang lebih rendah. Terlihat pula barisan bukit lain di seberang lembah tersebut.

"Keren, ya, A." Celetuk Pak Idris.

Pak Idris

Perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri jalan yang  di sebelahnya terdapat aliran kecil yang ternyata merupakan mata air warga Cibuyutan. Aliran ini yang bersumber dari atas gunung ini kemudian disalurkan ke perkampungan warga untuk keperluan sehari-hari menggunakan pipa-pipa yang sangat panjang. Kami mulai membersihkan aliran air tersebut dari sampah dedaunan yang menyumbat.

"Sampah dedaunan yang nyumbat kayak gini yang jadi penyebabab air di kamar mandi kecil alirannya, A." Ujar Pak Idris.

"Oh gitu, Pak. Ini kalo musim hujan berarti airnya keruh, dong? Ini aja kita cuma ambilin sampah dedaunan kering airnya langsung keruh, tanah-tanahnya ikut kebawa aliran air." Tanya saya penasaran.

"Iya, A. Tapi sebentar doang, kok." Jawab Pak Idris.

Mata air warga Cibuyutan

Setelah dirasa bersih dari sampah dedaunan, kami bergegas meninggalkan mata air tersebut. Berjalan menurun dengan terbata-bata. Beberapa kali berhenti sejenak membersihkan celana dari rumput liar yang menempel. 

Selepas hutan dengan vegetasi yang cukup rapat, kami bertemu dengan orang tua Lendrik yang sedang berkebun dengan beberapa warga lain yang merupakan teman sekolah Pak Idris. Duduk santai di bawah gubuk kecil milik orang tua Lendrik. Menyeruput kopi yang airnya direbus menggunakan ketel dan kayu bakar sambil melihat beberapa warga yang sedang menyiram tanaman cabai. Asyik sekali.

Perjalanan kembali ke sekolah, pandangan Pak Idris sesekali difokuskan kepada pipa-pipa panjang di sepanjang jalan. Beberapa kali pula kami berhenti untuk mengecek kondisi sambungan pipa tersebut. Pasalnya, selain sampah dedaunan di daerah hulu, sambungan pipa yang terlepas juga merupakan penyebab kecilnya aliran air di rumah warga. Beruntungnya saat itu tak ada sambungan pipa yang terlepas.

Sesampainya di sekolah, Pak Idris bercerita kalau pipa-pipa panjang yang mengaliri air dari atas gunung menuju rumah warga merupakan bantuan dari salah satu perusahaan milik negara sekitar 15 tahun silam. Pipa-pipa tersebut walaupun diberikan secara cuma-cuma tetap harus disusun dan disambungkan secara gotong royong. Perawatannya pun diserahkan kepada warga. Makanya kalau ada sambungan pipa yang terlepas atau sumbatan di daerah hulu, harus ada beberapa warga yang memperbaiki. Butuh perjuangan lebih memang, dibanding kami—para relawan—yang tinggal enak menikmati air bersih PDAM di rumah masing-masing.

Air, infrastruktur jalan, pendidikan, dan sedikit kemajuan yang ada di Cibuyutan saat ini tentu saja tidak didapatkan dengan mudah. Banyak sekali perjuangan yang dilakukan warga demi terwujudnya kesejahteraan, walau sampai saat ini masih banyak warga Cibuyutan yang belum sejahtera hidupnya. 

"Kalau mudah mah namanya bukan perjuangan, A." Tutup Pak Idris sore itu.

Bersambung...

Bagian 9 - Kebun Dapin, Kebun Deden

Posting Komentar

0 Komentar