Cerita Sebelumnya:
Rangkasbitung dan Pertemuan dengan Orang-orang Luar Biasa
-----
Hari Inspirasi
Barisan angkot merah di depan wisma sudah siap mengantar kami menuju sekolah masing-masing. Beruntung saya dan teman-teman kelompok mendapatkan sekolah yang tak jauh dengan pusat kota. Berbeda dengan kelompok lain yang letak sekolahnya cukup jauh dari pusat kota. Menempuh perjalanan sekitar 20-30 menit melewati beberapa titik jalan yang rusak.
Angkot merah yang kelompok kami naiki mulai bergegas. Menyusuri jalanan Kota Rangkasbitung yang terlihat rapi. Bersamaan dengan orang-orang yang berangkat kerja. Beberapa anak sekolah pun tampak menunggu angkutan di pinggir jalan. Beberapa lainnya terlihat diantar orang tua mereka menggunakan sepeda motor.
Beberapa menit kemudian, kami tiba di halaman SDN 1 Cijoro Pasir. Tampak sudah ada Kak Novi yang menunggu. Ibu muda yang merupakan orang yang telah lama berkecimpung di dunia pendidikan ini sengaja langsung menyusul ke sekolah karena ada beberapa urusan di malam harinya. Tampak pula adik-adik lucu menyambut kami dengan senyuman sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
"Halo kakak!"
"Kakak mau ngajar di sini?"
Kepala sekolah dan dewan guru juga menyambut kami dengan hangat. Mempersilakan kami duduk sebentar di ruang guru. Istirahat sejenak sambil menunggu anak-anak siap.
Tak lama berselang, Pak Didi selaku kepala sekolah bersama dengan guru-guru lain membantu kami menyiapkan anak-anak berbaris di lapangan. Mereka pun mengenalkan kami kepada anak-anak sebelum akhirnya kami memulai kegiatan.
Kegiatan diawali dengan seremonial pembukaan. Sebagai MC saya sempat gugup di awal. Beruntung pihak sekolah yang sangat welcome, ditambah anak-anak yang mudah diatur membuat saya lama-kelamaan bisa ikut larut dalam suasana.
Sebelum memasuki kelas kami melakukan senam bersama yang dipimpin oleh Kak Ellysa. Saya yang awalnya pesimis dengan kondisi anak-anak yang mudah bosan ternyata dibuat pecah dalam suasana. Senam Hokky Pokky yang dibawakan Kak Ellysa mampu membuat kami yang ada di lapangan itu tertawa lepas. Gerakannya yang maju mundur seperti orang yang ingin berlari ini pun mendapatkan apresiasi dari guru-guru.
"Nama senamnya apa, Kak? Seru banget, deh." Tanya salah seorang guru kepada kami.
Cukup dengan keringat yang semakin membasahi pakaian, akhirnya anak-anak kami arahkan masuk ke kelasnya masing-masing. Para relawan pun mulai bersiap dengan media pembelajarannya. Saya sendiri nantinya akan memperkenalkan profesi guru kepada adik-adik di sini. Sedangkan relawan lain ada yang mengenalkan profesi dokter, guru inklusi, koki, pengusaha, dan youtuber.
Selama 30 menit di kelas, para relawan nantinya tak hanya memperkenalkan profesinya masing-masing, tetapi juga berinteraksi dengan anak-anak terkait cita-cita dan memotivasi mereka untuk semangat meraih cita-cita. Sebelum memperkenalkan profesi, kami juga mengajak anak-anak untuk mengisi nametag yang berisikan nama dan cita-cita kemudian diikatkan di atas kepala. Menjelang akhir pembelajaran anak-anak juga kami beri ruang untuk berkreasi. Mereka kami ajak menuliskan cita-cita dan harapan mereka di sebuah kertas origami, kemudian ditempel di kertas karton dan dipajang di dinding kelas.
Memasuki kelas 3, saya salut dengan anak-anak yang sudah duduk rapi tanpa suara. Sepertinya mereka sebelumnya sudah diwanti-wanti oleh guru mereka. Satu anak yang menjadi pusat perhatian saya di kelas ini adalah Ndep. Peserta didik dengan nama asli Devano ini begitu aktif dan antusias dengan penjelasan saya terkait cita-cita dan profesi guru. Teman-temannya yang lain pun tak mau ketinggalan, ikut aktif menyampaikan pendapatnya tentang profesi guru dan cita-cita mereka. Uniknya, masih banyak dari mereka yang belum paham apa itu cita-cita, walaupun masing-masing dari mereka sudah memiliki cita-cita.
"Ada yang tau cita-cita itu apa, sih?"
"Rajin belajar, Kak."
"Rajin membaca dan menulis, Kak."
"Belajar dengan giat, Kak."
Sedikit membuat saya tersenyum, namun saya sangat bangga dengan mereka yang telah antusias menyampaikan pendapatnya. Dengan sedikit penjelasan dari saya, akhirnya mereka perlahan mulai memahami apa itu cita-cita. Begitu pula dengan profesi guru yang sedikit-sedikit saya ceritakan berdasarkan pengalaman saya menggunakan beberapa foto. Tak lupa apresiasi saya berikan kepada mereka yang aktif selama pembelajaran.
Setelah kurang lebih 30 menit, saya beranjak pindah ke kelas 4. Begitu pula relawan lain yang juga berpindah kelas. Sama seperti anak-anak kelas 3, masih banyak anak-anak kelas 4 yang belum memahami apa itu cita-cita. Mereka hanya mengerti bahwa cita-cita hanyalah polisi, dokter, dan tentara tanpa memahami apa esensi dan bagaimana meraihnya. Tak satu pun dari mereka juga yang tertarik dengan profesi guru.
"Ada dari kalian yang cita-citanya mau jadi guru?"
"Enggak, Kak. Jadi guru ribet anak-anaknya susah diatur."
Celetukan dari Ken Dedes yang membuat kami tertawa tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi saya untuk mengenalkan lebih dalam kepada mereka tetang esensi cita-cita, bagaimana meraihnya, dan juga profesi guru yang saya bawakan.
Berbeda dengan kelas-kelas sebelumnya, ketika memasuki kelas 5, anak-anaknya sudah mulai memahami esensi cita-cita dan apa itu guru. Bahkan salah satu dari mereka ada yang cita-citanya ingin menjadi guru. Sebuah kebanggan bagi saya karena dari banyaknya anak di sekolah ini tampaknya hanya Putri seorang diri bercita-cita menjadi guru.
Sambil menuliskan cita-cita mereka di kertas origami yang kemudian ditempel di kertas karton, saya cukup banyak berinteraksi dengan anak-anak kelas 5 ini. Interaksi yang sedikit random memang. Menceritakan pengalaman saya bersama anak-anak Cibuyutan beberapa waktu lalu. Berbagi suka duka menjadi anak kuliahan. Menjelaskan apa itu Sinesia dan program Sehari Mengabdi. Bercerita tentang Rangkasbitung dan seisinya. Sharing seputar Provinsi Banten menggunakan peta. Mendengarkan percakapan mereka dengan bahasa Sunda Banten yang menggunakan kata aing sebagai kata pengganti orang pertama tunggal. Terkesan kasar bagi orang Sunda pada umumnya memang, tapi begitulah uniknya bahasa Sunda Banten yang tak mengenal adanya tingkatan bahasa, semuanya setara.
"Apa yang kalian ketahui ketika mendengar kata Banten?"
"Orang Sunda, Kak."
"Suku Baduy, Kak."
"Banyak orang bule, Kak."
Satu hal yang membuat saya sedikit terharu yaitu kami sedang sharing-sharing seputar Provinsi Banten, salah satu anak yang bernama Satrio memberi saya secarik kertas yang berisikan gambar saya pada hari itu lengkap dengan nametag yang saya kenakan. Tingkah anak-anak memang lucu, tak bisa diprediksi pula.
Sebelum meninggalkan kelas, anak-anak meminta nomor whatsapp saya. Mencatatnya di bagian belakang buku untuk kemudian dihubungi ketika akhir pekan karena mereka hanya membuka handphone ketika akhir pekan. Buat kenang-kenangan katanya.
"Kak, nanti main-main ke sini lagi, ya!"
"Dadah, Kakak. Makasih, ya!"
Digugu dan Ditiru, Katanya Gitu
"Saya jadi guru di sini udah lumayan lama, mas. Dari tahun 2008 kalo gak salah." Ujar Pak Uci saat jam istirahat di lorong kelas.
"Saya dulu lulusan D2 SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Rangkasbitung. Abis lulus langsung tanda tangan SK (Surat Keterangan). Dulu mah pas awal-awal ditempatinnya bukan di sini, tapi di Gunungkencana, lumayan jauh, mas."
"Jadi guru mah enak, mas. Banyak ketemu sama anak-anak. Banyak mainnya. Banyak ketawanya. Pokoknya awet muda kalo jadi guru. Apalagi guru di kampung kayak begini, pasti dicintai muridnya, dipercaya sama orang tua murid juga."
Obrolan saya dengan Pak Ucih kembali menyadarkan saya betapa dicintainya seorang guru di mata anak-anak, terlebih jika guru tersebut memiliki kepribadian yang patut digugu dan ditiru oleh anak-anaknya.
"Intinya mah gimana kita bikin anak-anak jadi cinta sama kita. Kalau anak-anak udah cinta sama kita mau apa aja bakalan gampang." Ucap Pak Agus, guru muda yang ditugaskan sebagai guru olahraga di sekolah ini.
Sambil menyantap jamuan yang dihidangkan oleh guru-guru SDN 1 Cijoro Pasir, kami menceritakan banyak hal. Beristirahat sejenak, menyandarkan punggung di sofa ruang guru yang empuk.
"Namanya anak-anak ya begini, Kak. Kadang susah diatur, kadang gampang diatur." Celetuk salah satu guru senior.
"Tapi Alhamdulillah banget, Bu. Anak-anak di sini gampang banget diaturnya." Ucap salah satu dari kami.
Sebelum akhirnya meninggalkan sekolah, Pak Didi selaku kepala sekolah memberikan kesan pesan yang positif terhadap kegiatan Sehari Mengabdi yang dilaksanakan oleh relawan Sinesia ini. Begitu juga kami yang merespon dengan positif atas jamuan dan sambutan dari pihak sekolah. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada para guru yang telah banyak membantu kegiatan ini.
Respon positif yang diberikan Pak Didi atas diselenggarakannya kegiatan Sehari Mengabdi, dilakukan secara sederhana di ruang guru sambil menjamu kami dengan beberapa kudapan ringan. |
Multatuli dan Para Petinggi
Beranjak meninggalkan sekolah, para relawan tak langsung pulang ke daerahnya masing-masing. Hari itu juga kami melaksanakan refleksi antarsesama relawan di Pendopo Museum Multatuli. Lebih tepatnya sharing santai, mungkin. Sama-sama menyampaikan kesan pesan atas kegiatan ini. Menghadirkan para petinggi Kecamatan Rangkasbitung. Tak lupa kepala museum juga turut hadir dalam kegiatan refleksi ini.
Sambil menunggu teman-teman relawan dari sekolah lain yang belum tiba, relawan yang lebih dulu tiba diperkenankan masuk ke dalam Museum Multatuli. saya dan teman-teman relawan SDN 1 Cijoro Pasir masuk ke dalam Museum Multatuli. Air conditioner di dalam ruangan museum ini mampu mengusir panasnya udara Rangkasbitung siang itu.
Museum Multatuli sendiri merupakan museum anti kolonial pertama di Indonesia. Menceritakan sejarah kolonial Eropa di Indonesia, kebijakan tanam paksa, perlawanan rakyat Banten, hingga kisah buku Max Havelaar yang ditulis oleh Multatuli itu sendiri dengan nama asli Eduard Douwes Dekker. Selama di dalam museum kami juga ditemani oleh beberapa anak yang baru saja pulang sekolah. Mereka memang sering ke museum yang letaknya hanya bersebelahan dengan sekolah mereka. Main-main sambil numpang ngadem, katanya.
Anak-anak di Museum Multatuli; Marwa dan kawan-kawan. |
Sebelah utara Museum Multatuli terdapat Perpustakaan Saijah Adinda yang namanya terinspirasi dari kisah Saijah Adinda yang diceritakan di dalam buku Max Havelaar. Saat itu juga banyak relawan yang beristirahat di selasar perpustakaan ini. Banyak pula pelajar sekitar yang mengunjungi tempat yang nyaman ini
Sekitar pukul 13.00, para relawan berkumpul di sebuah pendopo yang letaknya tepat di depan Museum Multatuli. Bangunan teduh yang didirikan tahun 1925 ini tampaknya memang sering digunakan untuk acara-acara yang terkait dengan Museum Multatuli.
Sambutan diawali oleh Ibu Sekretaris Kecamatan Rangkasbitung. Mewakili Bapak Camat yang berhalangan hadir, beliau menyampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih kepada para relawan Sinesia yang telah melaksanakan kegiatan Sehari Mengabdi ini. Beliau juga banyak menceritakan keadaan pendidikan di Kabupaten Lebak, khususnya Kecamatan Rangkasbitung yang di mana walaupun masih termasuk pusat kota, tetapi masih banyak sekolah yang membutuhkan bantuan. Bahkan beberapa tahun lalu gerakan Indonesia Mengajar juga pernah melaksanakan pengabdian masyarakat di salah satu sekolah di Kecamatan Rangkasbitung ketika Kabupaten Lebak masih termasuk ke dalam daerah tertinggal.
Para petinggi Kecamatan Rangkasbitung. |
Begitu pula Bapak kepala UPTD Dinas Pendidikan Kecamatan Rangkasbitung yang menyampaikan banyak terima kasih kepada para relawan. Beliau sangat mengapresiasi kegiatan yang mengenalkan dan memotivasi anak-anak supaya lebih giat meraih cita-cita. Beliau juga banyak menjelaskan kondisi pendidikan di Kabupaten Lebak. Mulai dari Rangkasbitung sebagai pusat kota, Malingping di ujung Selatan, Leuwidamar yang menjadi tempat tinggal Suku Baduy, hingga Bayah yang berbatasan dengan Sukabumi. Semuanya sama-sama masih membutuhkan bantuan dari para relawan. Oleh karena itu beliau berharap kegiatan ini bisa terus berkelanjutan dan banyak komunitas lain yang ikut membantu pendidikan di Kabupaten Lebak.
Berbeda dengan sambutan-sambutan sebelumnya. Sambutan kepala Museum Multatuli, Pak Ubay saat itu cukup membuat kami takjub dengan kata-kata mutiara dari Multatuli yang beliau sampaikan.
“Sikap setengah hati tidak akan menghasilkan apa-apa. Setengah baik berarti tidak baik. Setengah benar berarti tidak benar.”
“Sebab kita bersuka-cita bukan karena memotong padi, kita bersuka cita karena memotong padi yang kita tanam sendiri.”
Beliau juga memberikan sepatah dua patah kata, tentang pentingnya fokus pada satu hal. Tak apa melakukan dan mengidolakan lain, tetapi tetap pada fokus pada satu hal yang kita tuju, sebutnya tegas.
“Saya tidak tertarik dengan Anies Baswedan, saya tidak peduli dengan Ahok, saya juga tidak tertawan dengan Jokowi. Saya tetap fokus pada satu hal, Multatuli.” Ucapnya tegas sekaligus menjadi penutup rangkaian kegiatan Sehari Mengabdi ini.
Sayonara
Diakhiri dengan foto bersama, para relawan bergegas kembali ke daerahnya masing-masing. Terasa haru bagi kami yang baru kenal 2 hari belakangan, tetapi rasa kekeluargaannya seperti sudah lama terjalin. Begitu pula cerita-cerita unik seputar kehidupan dan dunia kerelawanan yang membuat sore itu menjadi haru.
Relawan SDN 1 Cijoro Pasir. |
Beberapa relawan kembali dengan kendaraan pribadi. Beberapa lainnya, termasuk saya kembali pulang dengan menaiki kereta api. Cukup banyak perjalanan kereta ke arah Jakarta sore itu. Membuat kami tak perlu terburu-buru pulang.
Sambil mengisi daya handphone di stasiun, saya, Kak Novi, Kak Bela, dan Kak Nur menceritakan banyak hal. Mulai dari pengalaman kuliah, dunia relawan, hingga cerita dari daerahnya masing-masing. Satu per satu kereta berangkat, namun kami masih saja nyaman bercengkrama.
"Kak, kegiatan tadi seru banget, ya."
"Iya, makanya aku ikut, padahal aku udah vakum dari dunia pendidikan sekitar 10 tahun, loh. Dulu aku kuliah Pendidikan Luar Sekolah di Untirta, sering ikut kegiatan kayak begini juga. Pergi ke sana sini, cari pengalaman sebanyak-banyaknya, makanya dulu aku kuliahnya sempet nambah 1 tahun."
"Berarti Kak Novi sering ikut kegiatan volunteer, ya?"
"Iya, tapi dulu. Kalau baru-baru ini cuma ikut Sinesia sama Kelas Inspirasi. Kalian ikut Arsa Jakarta, dong. Aku rencananya mau daftar."
Gila, pikir saya dalam hati. Seorang ibu dua anak pun ternyata masih punya ghiroh untuk mengabdi. Membantu anak-anak di pelosok negeri yang membutuhkan. Ya, begitulah dunia relawan. Sekali tenggelam, maka akan terus menerus ketagihan menyelam.
Pukul setengah 5, kereta diberangkatkan dari Rangkasbitung. Menuju ibu kota, pusat peradaban di negeri ini. Mengantar kami kembali ke rumah masing-masing. Kak Nur turun di Tigaraksa, Kak Novi turun di Parung Panjang, sedangkan saya dan Kak Bella turun di Tanah Abang. Kak Bella melanjutkan perjalanan pulang ke arah bandara sebelum esok harinya terbang ke Makassar. Sedangkan saya kembali ke Bogor, membawa sejuta cerita dan pengalaman.
Sekali lagi, saya patut bersyukur karena telah diberi kesempatan menjadi bagian dari relawan Sinesia. Ikut mengenalkan berbagai profesi kepada adik-adik di Rangkasbitung. Berbagi cerita dengan teman-teman relawan dari berbagai daerah yang pengalamannya tak perlu diragukan lagi. Berinteraksi langsung dengan kebudayaan sekaligus bahasa sunda Banten yang luar biasa unik.
"Pengalaman luar biasa bisa menjadi bagian dari relawan Sinesia. Ikut mengenalkan berbagai profesi kepada adik-adik di Rangkasbitung. Berbagi cerita dengan teman-teman relawan dari berbagai daerah yang pengalamannya tak perlu diragukan lagi. Berinteraksi langsung dengan kebudayaan sekaligus bahasa sunda Banten yang luar biasa unik."
Special thanks to @sinesia.id @arsa_banten @kejarmimpi.serang
Selesai.
0 Komentar