Rangkasbitung dan Pertemuan dengan Orang-orang Luar Biasa

 

 Tulisan ini didedikasikan untuk relawan Komunitas Sisi Indonesia (Sinesia) beserta adik-adik di 5 sekolah yang telah berbagi cerita dan pengalaman dalam kegiatan Sehari Mengabdi yang dilaksanakan di Rangkasbitung, Lebak, Banten

-----

Udara panas menyelimuti Stasiun Tanah Abang siang itu. Banyak penumpang berjalan terburu-buru dari peron arah Bekasi menuju peron arah Rangkasbitung. Begitu pula saya yang ikut berjalan cepat sebab kereta arah Rangkasbitung yang akan saya naiki sebentar lagi berangkat.

Meninggalkan Stasiun Tanah Abang, kondisi kereta cukup ramai. Beberapa penumpang terlihat bergaya milenial. Mereka kebanyakan turun di Stasiun Rawa Buntu, Serpong, dan Cisauk. Beberapa lainnya terlihat bersahaja. Kebanyakan turun di antara Stasiun Parung Panjang hingga Rangkasbitung.

Hamparan persawahan dengan rumah khas pedesaan yang dulu menghiasi jalan mulai dari Serpong, Parung Panjang, hingga Rangkasbitung, kini perlahan telah berganti dengan perumahan-perumahan baru. Terlihat pula proses pembangunan proyek yang tak sedikit mengorbankan lahan pertanian. Sedikit sayang melihatnya.

Rangkasbitung, Kota Kecil yang Diselimuti Awan Mendung

Ditemani awan mendung yang cukup tebal, akhirnya saya tiba di Stasiun Rangkasbitung setelah menempuh perjalanan hampir dua jam. Cukup banyak perubahan yang saya rasakan jika dibandingkan dengan enam tahun lalu ketika saya turun dari KA Rangkas Jaya di stasiun ini. Peron tinggi saat ini sudah dibangun. Walaupun masih berupa besi rakitan, tetapi setidaknya memudahkan penumpang untuk naik turun kereta. Beberapa gerai makanan juga tersedia di stasiun ini. Cukup membantu saya yang sejak dari Tanah Abang menahan lapar. 

Keluar stasiun, hiruk pikuk pedagang asongan saling sahut menyahut dengan tukang ojek. Mereka terlihat bersemangat menawarkan jasa ataupun barang dagangan mereka. Terlihat pula beberapa sopir angkutan umum yang berteriak satu sama lain. Mencari peruntungan dari orang-orang yang baru saja keluar stasiun.

"Tarahu, tarahu, tahu gurih, tahu gurih."

"Yang mau minum. Cai, cai, cai."

"A, bade ngojek?"

"Bade ka mana, A?"

"Hayu Terminal Mandala, Mandala, Mandala."

"Pandeglang, Pandeglang, Pandeglang."

"Yang mau ke Baduy sini. Baduy, Baduy, Baduy."

Sambil tersenyum saya menolak tawaran mereka, khususnya tukang ojek dan sopir angkutan umum. Sengaja saya memilih berjalan kaki menuju wisma yang akan menjadi tempat saya bermalam nanti. Hitung-hitung olahraga sambil menikmati suasana kota yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Lebak ini.

Letak wisma yang tak jauh dari alun-alun membuat saya tertarik untuk mengunjungi alun-alun terlebih dahulu. Berjalan ke arah selatan, saya menyusuri Jalan Multatuli yang menjadi salah satu jalan protokol di kota ini. Suasana selepas hujan menemani langkah saya menyusuri jalanan kota. Aroma petrikor yang khas sedari tadi tak bosan-bosannya menghiasi indra penciuman.

Beberapa menit menyusuri trotoar Jalan Multatuli, saya tiba di alun-alun. Tak banyak perubahan di tempat ini. Masih seperti beberapa tahun lalu ketika saya dan beberapa teman singgah di kota ini dalam perjalanan menuju Leuwidamar. Tak banyak kendaraan berlalu-lalang. Terlihat rapi, tak seperti alun-alun pada umumnya yang rata-rata diramaikan oleh pedagang kaki lima. Ditambah udara sehabis hujan yang cukup sejuk. Damai sekali rasanya.


Sinesia dan Pertemuan dengan Orang-orang Luar Biasa

Terletak lima ratus meter dari alun-alun, saya memutuskan untuk berjalan kaki menuju wisma. Berbekal aplikasi google maps, saya menyusuri trotoar kota yang berada di bawah naungan pohon. Menelusuri pinggiran jalan yang basah. Menjejaki kota yang bersahaja ini. 

Sesampainya di Wisma Bangkit—tempat saya dan relawan lain bermalam, sudah ada beberapa relawan yang datang. Sambil tersenyum mereka menyapa saya. Sekadar berbasa-basi menanyakan nama dan asal daerah. Kebanyakan dari mereka berasal dari Banten, khususnya Serang dan Lebak. Warga lokal rupanya.

Saya dan teman-teman yang berada di Wisma Bangkit ini merupakan relawan yang tergabung ke dalam Komunitas Sisi Indonesia (Sinesia), salah satu komunitas yang aktif bergerak di bidang pendidikan dan sosial masyarakat. Sinesia sendiri telah beberapa kali berkiprah dalam bidang pengabdian masyarakat di Kabupaten Lebak yang dikemas dalam kegiatan Bakti Negeri. Sedangkan kegiatan yang akan kami selenggarakan keesokan harinya adalah kegiatan Sehari Mengabdi. Kegiatan ini merupakan kegiatan pengenalan berbagai macam profesi kepada anak-anak di beberapa sekolah di Kecamatan Rangkasbitung.

Kak Rayhan selaku founder Sinesia sangat friendly dan humoris kepada teman-teman relawan. Begitu pula kami sesama relawan perlahan mulai mengakrabkan diri satu sama lain tanpa ada yang namanya senioritas. Semua sama dan setara. Sama-sama relawan dengan niat yang sama; berbagi dan membantu adik-adik yang membutuhkan.

Berkenalan dengan Kak Fahmi yang usianya lima tahun lebih tua dari saya, ternyata beliau merupakan relawan aktif Sinesia. Relawan dokumentasi yang berasal dari Kalimantan ini menceritakan bagaimana keseruannya bergabung dengan Sinesia. Bersama dengan Kak Fahmi, Kak Rayhan juga menceritakan awal mula terbentuknya Sinesia.

"Aku udah lima kali berturut-turut ikut di kegiatan Sinesia. Dari waktu masih di Jogja aku ikut Rayhan terus." Ujar Kak Fahmi.

"Kak Fahmi yang paling setia sama Sinesia. Dari pertama terbentuk sampai sekarang masih aktif jadi relawan dokumentasi. Hasil fotonya bagus-bagus." Tambah Kak Rayhan.

"Emang awal terbentuknya Sinesia gimana, Kak?" Tanya saya kepada mereka berdua.

"Dari dulu aku emang suka kegiatan sosial kayak gini. Sering ikut volunteer juga. Seneng banget ketemu orang baru. Akhirnya kepikiran untuk merintis komunitas sendiri. Awalnya Sinesia bikin kegiatan di Jogja karena waktu itu aku, Kak Fahmi, dan teman-teman lainnya masih kuliah di Jogja. Tapi sekarang lebih aktif di Banten karena pengurusnya kebanyakan orang Banten. Aku juga kan sekarang tinggal di serang. Kalau Kak Fahmi di Tangerang." Jawab Kak Rayhan.

Sambil berbagi cerita, kami juga berkenalan dengan Kak Bella. Perempuan asal Kalimantan ini dengan semangat menceritakan kisahnya. Kami juga membicarakan banyak hal, terutama culture shock yang dialami Kak Bella.

"Aku asalnya dari Kalimantan, tapi sekarang kuliah di Makassar. Ini tadi pagi baru aja sampe di Soetta. Seharian aku naik kereta dari Soetta ke sini. Haha, seru banget." Ujar Kak Bella bersemangat.

"Ini kali pertama aku ke Pulau Jawa, Kak. Jujur aku sempet kaget denger orang-orang sini ngomongnya lo gue. Soalnya aku selama di Kalimantan dan Sulawesi ngomongnya aku kamu. Kalau lo gue kesannya kasar banget." Tambahnya lagi.

Seketika saya teringat dengan Fadhliah, salah satu teman relawan saya di Komunitas Pendekar Mengajar Indonesia yang berasal dari Makassar. Sama seperti Kak Bella, Fadhliah sebelumnya juga menuturkan hal yang sama. Bahwasanya mereka belum terbiasa dengan sebutan lo dan gue.

Memasuki malam, para relawan satu per satu mulai berdatangan. Tak lama kemudian kami berkumpul di aula. Menyantap makan malam sambil berkenalan satu sama lain. Dilanjut dengan pembagian kelompok berdasarkan sekolah. Beberapa sekolah yang keesokan harinya akan kami datangi adalah SDN 1 Cijoro Pasir, SDN 1 Sukamanah, SDN 2 Sukamanah, SDN 1 Nameng, dan SDN 2 Nameng. Seluruh sekolah tersebut terletak di Kecamatan Rangkasbitung. Masih termasuk kota memang. Tapi bukan berarti anak-anaknya tak membutuhkan bantuan dan motivasi.

Saya sendiri tergabung dengan kelompok SDN 1 Cijoro Pasir. Cukup takjub dengan Anin, salah satu teman sekelompok yang ternyata masih duduk di bangku sekolah. Kembali membuat saya menyesal tak berkecimpung di dunia kerelawanan sejak dulu.

Semakin malam, kelompok kami mulai terkumpul semua anggotanya. Ada Kak Fasha dan Anin yang berasal dari Serang. Kak Fitria dan Kak Halimah yang ternyata satu kampus di UIN Jakarta. Kak Siti dari Tangerang yang setiap hari pulang pergi kuliah di UNJ. Juga Kak Ellysa dan Kak Yuli yang ternyata berasal dari komunitas lain. Masing-masing dari mereka berasal dari Komunitas Arsa Banten dan Kejar Mimpi Serang. 

Duduk melingkar sambil membuat media pembelajaran yang dibuat dari kertas karton dan origami, kami mengobrolkan banyak hal. Kak Fasha, Kak Halimah, dan Anin yang sudah cukup lama bergabung di Sinesia menceritakan pengalamannya. Kak Siti ikut membagikan pengalamannya mengikuti kegiatan volunteer di kampusnya. Kak Ellysa dan Kak Yuli juga dengan senang hati menceritakan keseruan di komunitasnya masing-masing.


"Kalau di Arsa Banten nama kegiatan pengabdiannya SAFE. Gak cuma itu, ada banyak kegiatan lain yang gak kalah seru. Arsa juga bukan cuma di Banten aja, ada di banyak regional. InsyaAllah November nanti Arsa Banten bakalan open recruitment. Kalian ikut, dong." Ucap Kak Ellysa, guru muda bagi anak-anak berkebutuhan khusus.

"Kita hampir sama, Kak El. Kejar Mimpi juga bukan cuma di Serang aja, ada di banyak regional lain. Kegiatannya juga hampir sama. Sama-sama bergerak di bidang pendidikan sosial." Tambah Kak Yuli.

"Enaknya Arsa sama Kejar Mimpi tuh mereka ada kantor pusatnya. Kalau mau bikin kegiatan juga udah ada biayanya. Kalau Sinesia kan bener-bener independen. Gak terikat apa pun." Kak Fasha menambahkan

"Iya bener banget, Kak." Ujar Anin dan Kak Halimah.

"Emangnya Arsa sama Kejar Mimpi punya siapa, Kak?" Tanya saya dan Kak Fitria.

"Arsa punya Chairul Tanjung. Kalau Kejar Mimpi punya Bank CIMB Niaga. Makanya enak kalau mau bikin kegiatan uangnya ngalir terus." Ucap Kak Fasha.

"Wah enak, ya."

Rasa penasaran saya dengan Arsa Banten dan Kejar Mimpi Serang akhirnya di malam itu terjawab sudah. Dua komunitas yang berbeda itu memang kerap kali muncul di instagram Sinesia. Bahkan beberapa anggota Sinesia pun ternyata ada yang menjadi anggotanya.

"Kalau Kak Siti sebelumnya udah pernah ikut kegiatan volunteer?" Tanya saya kepada Kak Siti.

"Pernah, dong. Aku beberapa kali ikut kegiatan volunteer dari kampusku di UNJ. Masih sekitaran Pulau Jawa, kok."

"Kakak tau Kampung Sarjana, dong? Itu kan pencetusnya anak-anak UNJ, Kak. Waktu aku ikut volunteer di salah satu kampung di Bogor, ternyata beberapa anak di sana ada yang pendidikannya ditanggung sama Kampung Sarjana. Keren banget, Kak. Makanya Kampung Sarjana sama anak-anak UNJ bener-bener dikenang sama warga sana." Ujar saya sambil seketika flashback dengan kegiatan volunteer bersama Komunitas Pendekar Mengajar Indonesia di Kampung Cibuyutan beberapa waktu lalu.

"Bener banget, Kak. Kampung Sarjana emang keren. Kalau Kak Hilmi sebelumnya udah pernah ikut volunteer?"

"Aku pernah ikut komunitas mengajar di kampus, namanya UHAMKA Menyala. Belum lama ini juga ikut volunteer sama Pendekar Mengajar Indonesia. Sama-sama bergerak di bidang pendidikan sosial, Kak."

"Ih seru banget dengerin cerita dari kakak-kakak semua. Aku yang baru pertama ikut volunteer malah jadi kepengen ikut lagi." Ujar Kak Fitria.

"Intinya dunia volunteer itu seru, Kak. Gak cuma Arsa, Kejar Mimpi, atau Sinesia. Ada banyak komunitas lain yang sekali ikut bikin nagih." Ujar Kak Ellysa.

"Makanya mumpung masih pada kuliah manfaatin waktu sebaik-baiknya, cari pengalaman sebanyak-banyaknya. Kalau udah kerja bakalan susah." Sambung Kak Ellysa.

"BETUL." Teriak Kak Yuli sebelum akhirnya kami mengakhiri pembicaraan ini sambil merapikan barang-barang untuk esok hari.

Memasuki tengah malam, banyak relawan yang bergegas ke kamarnya masing-masing. Merebahkan badan sekaligus memejamkan. Mengisi tenaga untuk kegiatan esok hari. 

Menit demi menit berlalu, saya masih saja terjaga. Terus berusaha memejamkan mata sambil samar-samar tak sengaja mendengar percakapan Kak Yudi dan Kak Yusi di depan kamar yang menggunakan bahasa Sunda Banten yang dialeknya sangat khas.

Baru beberapa menit terlelap, saya terbangun dengan suara grasak-grusuk relawan lain yang bersiap mandi di masjid alun-alun. Air pagi itu rupanya mati. Banyak dari kami yang terpaksa mandi di masjid alun-alun. Begitu pula saya yang terpaksa harus "olahraga pagi" ke masjid alun-alun karena air mati.

-----

Hari mulai terang. Sebagian relawan sudah siap dengan segala perlengkapannya. Sebagian masih di masjid alun-alun. Sebagian lain masih di alam mimpi. Saya yang telah siap bergegas ke halaman depan. Duduk di meja bundar. Menghirup udara segar sambil menunggu teman-teman relawan lain menyiapkan diri. Di sebelah saya ada Kak Okta dan Kak Imam. Sama seperti Kak Ellysa, Kak Okta ternyata berasal dari Arsa Banten. Sedangkan Kak Imam, warga asli Malingping—daerah di ujung selatan Kabupaten Lebak—ini merupakan pegiat dongeng. Kak Imam juga seringkali menyambangi sekolah-sekolah di daerah asalnya untuk mendongeng.

"Saya kalau lagi kerja di Cileungsi tiap akhir pekan selalu menyempatkan diri buat ketemu anak-anak di sana. Saya bikin pojok baca di salah satu mushola di sana. Sedikit-sedikit biar anak-anak kenal literasi. Tiap habis baca buku, anak-anak saya suruh menulis kesan pesannya. Kadang juga diselipkan dongeng." Ujar Kak Imam.

"Kalau lagi pulang kampung ke Malingping saya juga suka ngisi dongeng di sekolah-sekolah yang ada di sana. Seru, deh. Apalagi kalau pihak sekolahnya welcome." Tambahnya lagi.

Pagi itu saya merasa sangat beruntung. Dapat bergabung dengan Sinesia dan mendapatkan banyak kenalan baru yang luar biasa. Mendengar cerita Kak Rayhan dan Kak Fahmi yang sama-sama berjuang merintis komunitas ini. Larut dalam cerita Kak Siti, Kak Ellysa, dan Kak Yuli. Mengenal Kak Okta yang ternyata satu almamater dengan saya. Takjub dengan Kak Imam yang berjuang sendiri mengenalkan dongeng kepada anak-anak. Juga cerita dan kehangatan dari teman-teman relawan lain saat di aula malam harinya.

Bersambung...

Cerita Selanjutnya:

Sehari Mengabdi; Selamanya Menginspirasi

Posting Komentar

0 Komentar