Dia Aktif, Bukan Nakal

Enam bulan berjalan ditugaskan sebagai wali kelas, banyak hal berkesan yang saya dapatkan dari anak-anak, terlebih ini merupakan kali pertama saya mengemban amanah ini. Satu hal yang paling membekas selama 6 bulan ini adalah salah satu anak didik yang begitu super. Penalarannya yang baik jika dibandingkan temannya yang lain. Pemikirannya lebih dewasa dari usia semestinya. Kemampuan akademiknya pun bisa dibilang mencukupi. Di samping itu, ia memiliki karakter yang unik. Aktif, berani, dan menyukai kegiatan di luar kelas. Tipikal anak yang tak akan nyenggol kalau tak disenggol. Hal itulah yang membuat ia terkesan nakal di mata teman-temannya. 

Dia bernama Farrel.

Sebenarnya ada banyak hal lucu dari Farrel yang seringkali membuat saya harus bersabar dan menahan tawa. Setiap hari setelah istirahat anak ini selalu masuk kelas dengan kondisi pakaian yang basah dan berkeringat. Kadang juga sepatunya sengaja ia lepas. Dengan kondisi pakaian yang tak karuan, masih saja ia berlari ke sana ke mari. Kadang sambil membawa piala kelas seraya memperagakan selebrasi pemain bola yang baru saja mencetak gol. Agak ketar-ketir saya melihatnya, khawatir ada omongan tak enak dari rekan guru lain terkait anak saya yang satu ini, si calon olahragawan.


Ketika Penilaian Akhir Tahun (PAT) beberapa hari lalu, ia berulah. Tangannya berdendang memukul meja seakan sedang bermain hadroh. Mulutnya tak bisa diam menanyakan jawaban kepada saya. Tanpa ia sadari tingkahnya mengganggu konsentrasi teman-temannya. Seketika lembar soal miliknya saya tarik. Sesaat mengecek jawaban yang ia kerjakan. Hampir semuanya benar!

"Bapak tau kamu sebenarnya pintar. Tapi kenapa begini kelakuannya? Kalau sikapnya seperti ini kira-kira pantes nggak naik ke kelas 3?" Tanya saya dengan nada yang sengaja dibuat seperti sedang emosi.

"Farrel coba maju sini. Bapak tanya, kamu mau ngerjain di sini atau di kelas 1B? Kan kita sudah ada perjanjian, kalau berisik pindah ke kelas 1B."

Ia maju perlahan, tanpa suara. Matanya mulai berkaca-kaca dan seketika menangis kencang. Sebelum kembali duduk ia sempat memukul papan tulis. Memang benar dia tipikal anak yang tidak bisa dikerasi. Bukan karena ia penakut, tapi jika dikerasi ia semakin menjadi. Agak menahan tawa melihat raut wajahnya yang sedang menangis, saya berusaha sebijaksana mungkin untuk menghadapi situasi ini.

"Kalau ada anak yang lagi nangis atau marah, jangan dibalas dengan emosional. Api lawan api malah makin panas." Mendadak saya teringat ucapan yang sering diucap ayah saya.

Kelas seketika bungkam. Farrel masih saja larut dalam tangisannya. Dalam sebulan ini sudah kali ke-2 ia menangis karena saya tegur. Agak canggung sebenarnya bagi saya setiap kali harus melewati situasi seperti ini.

Tepat sebelum Farrel menangis, salah satu orang tua murid ada yang menghubungi saya lewat WhatsApp. Mengirim sebuah pesan berupa titipan sarapan untuk saya yang dibawakan anaknya. Belum sempat menyampaikan terima kasih, sebuah pesan dari orang tua tersebut kembali masuk. Ia bercerita bahwa Mama Farrel menyurahkan isi hati kepadanya tentang kelakuan Farrel. Memang sehari sebelumnya saya menghubungi Mama Farrel. Memberikan sebuah laporan bahwa baju dan rambut anaknya basah semua karena main air. Mungkin hal itulah yang membuat Mama Farrel bercerita ke orang tua murid yang lain.

"Pagi-pagi Mama Farrel udah cerita ke saya kalau dia kemarin dihubungi Pak Hilmi karena anaknya main air. Dia ketar-ketir takut dipanggil ke sekolah, Pak. Memang Farrel senakal itu ya, Pak?"

"Dia aktif, bukan nakal." Jawab singkat saya memang sudah terpaten di dalam otak. Dalam kamus saya tidak ada anak nakal karena saya yakin setiap anak memiliki karakter yang berbeda.

Sebentar kemudian Farrel kembali tenang. Berjalan basa-basi melihat keadaan anak-anak lain. Diam-diam saya melirik kerjaan si anak super ini. Sesekali ia mengajak saya berbicara, tentunya dengan kondisi yang lebih tenang dari sebelumnya. Memang anak ini kadang harus dibuat dibuat nangis terlebih dahulu supaya dia bisa mengontrol dirinya. Beberapa waktu sebelumnya pun saya harus marah-marah di depan kelas, barulah ia manut. 

Beberapa menit berlalu, bel istirahat berbunyi. Anak laki-laki begitu antusias turun ke lapangan, termasuk Farrel. Biasanya ada pertandingan bon atau sepak bola antar kelas. Kali ini anak-anak memilih pertandingan bon. Lawan mainnya pun badannya lebih besar. Menonton mereka dari atas begitu seru. Sambil mengawasi dan ditemani beberapa anak yang tidak turun ke bawah. Menyaksikan Farrel menyerang pertahanan lawan. Zidan, Abidzar, dan Khoirul menjaga benteng. Beberapa kali terlihat Farrel dan Bagus berhasil menyentuh benteng pertahanan lawan. Bon!

"Tadi lawan kelas berapa?" Pancing saya selepas mereka menyelesaikan pertandingan bon.

"Kelas 3 sama 4, Pak"

"Pak. Kita menang, dong."

"Tadi aku bon ke lawan, Pak"

Obrolan seru mulai terjadi. Hal seperti ini memang sering saya pancing ketika mereka habis bermain di lapangan. Memfasilitasi hobi dan cita-cita mereka sebagai olahragawan yang belum tentu dapat mereka lakukan di rumah. Karena saya percaya sekolah merupakan rumah kedua bagi mereka.

Beberapa saat bel masuk berbunyi. PAT kembali dimulai. Kali ini merupakan mata pelajaran terakhir, SBdP. Bukan menulis atau menjawab soal. Hanya sebatas mewarnai sketsa yang telah saya siapkan sehari sebelumnya. 

Jadwal PAT terakhir ini sengaja saya buat menyenangkan bagi anak-anak. Sudah capek marah agaknya. Sambil mewarnai saya membuka sharing session bersama anak-anak. Obrolan tentang permainan bon dan permainan tradisional lainnya yang tak mereka ketahui. Farrel merupakan anak yang paling antusias setiap kali ada sharing session, begitu juga Khoirul, Bagus, Arjuna, dan teman-temannya yang lain.

"Eh jangan berisik, Pak Hilmi lagi cerita." Seru Farrel tiap kali saya membuka sharing session.

"Dulu bapak juga sering main bon. Tapi bapak nyebutnya bentengan."

"Ada juga permainan karambol, monopoli, ular tangga."

"Oh aku tau, Pak"

"Aku waktu main ular tangga curang, Pak. Haha" 

Seketika suasana kelas menjadi hangat. Saya memang menyukai obrolan dengan anak-anak. Terlebih tentang dunia dan keseharian mereka. Seputar permainan dan canda tawa. Seperti menyelami kembali masa kecil belasan tahun silam.

"Pak aku pernah naik kapal waktu ke Sumatera. Seru banget" Farrel kembali membuka obrolan

"Waktu itu aku nemenin ayah aku jadi petugas satgas di Medan. Naik kapal seru banget, Pak. Tapi pas pulang kapalnya serem. Masa aku disuruh pake pelampung."

Seketika kami semua terhanyut dalam obrolan. Tentang banyak hal yang menyenangkan. Kampung halaman, pengalaman seru, dan sebagainya. Siang ini kelas mendadak kondusif, tertib, tapi tetap menyenangkan.

"Seru banget mewarnai sambil cerita-cerita, ya." Celetuk Khoirul di akhir sesi.

Menjelang pulang, masih ada sebagian anak yang belum selesai mewarnai.  Beberapa anak yang sudah selesai saya biarkan mereka berekspresi sebebasnya. Berlarian di lorong kelas. Berteriak sekencang-kencangnya. Gelesor ke sana ke mari. Masuk ke kelas 1 yang telah kosong dan menyalami guru yang ada di dalamnya.

"Hari ini seru banget, ya." Ucap Farrel dan teman-temannya.

Bel tanda pulang telah berbunyi. PAT yang menjadi akhir dari pembelajaran di tahun ini pun usai. Sebelum pulang saya kembali memberikan anak-anak wejangan dan penguatan sebelum beberapa minggu lagi mereka naik ke kelas 3. Tak muluk harus pintar dan mengerti banyak hal, hanya sebatas bisa membagi waktu kapan harus belajar, kapan harus serius, kapan waktunya bermain dan tertawa, serta dengan siapa kita harus sopan.   

"Ini bukan hari terakhir bapak ngajarin kita, kan?" Pertanyaan yang sering mereka ucapkan ketika bergegas pulang. Tampaknya mereka begitu khawatir.

"Bukan, dong. Kan masih ada 2 minggu lagi." Jawab saya menenangkan.

Selepas anak-anak selesai piket, Farrel terlihat ngos-ngosan kembali ke kelas. Ia berlari dengan kondisi pakaian yang lepek. Jemari kakinya pun terlihat. Sepasang sepatunya ternyata tertinggal di dalam kelas. Lagi-lagi tingkah konyolnya membuat saya geleng-geleng kepala sambil tertawa.

"Farrel, nanti kamu cerita ke mama ya kalau hari ini kamu nangis di kelas. Mau kamu yang cerita atau bapak yang cerita ke mama kamu?" Ucap saya sambil sedikit tertawa ketika Farrel mengambil sepatunya.

"Iya nanti aku cerita kalau hari ini aku dimarahin terus nangis." Jawabnya malu sambil berlari turun ke bawah.

Sesampainya di bawah, tak sengaja saya bertemu Mama Farrel yang bersiap pulang.

"Farrel udah cerita belum, Mah?" Tanya saya dari kejauhan sambil sedikit berteriak.

"Belum, Pak. Tapi saya udah diceritain sama temennya yang lain. Anaknya malu nih, Pak." Jawabnya sambil tertawa. Terlihat Farrel yang dibonceng di depan mengarahkan wajahnya ke bawah.

"Maafin anak saya ya Pak kalau suka bikin gaduh kelas. Saya pamit pulang, Pak."

"Saya minta maaf juga ya kalau hari ini nangisin dia lagi. Hati-hati di jalan, Farrel."

Farrel dan mamanya bergegas meninggalkan halaman sekolah. Sampai di kejauhan ia masih terlihat menundukkan kepalanya. Siang ini tak habis-habisnya saya dibuat tertawa. Lagi-lagi dengan kelakuan anak yang sama, Farrel.

Ditulis di Condet, 8 Juni 2023.

Posting Komentar

0 Komentar