Bogor After a Long Time

Bicara tentang Kota Hujan, ternyata cukup banyak kenangan antara saya dengan kota ini sewaktu masih duduk di bangku sekolah menengah. Saat itu saya dan teman-teman yang sekolah dan berdomisili di pinggiran ibu kota seringkali melipir ke kota ini ketika weekend ataupun libur panjang. Masih tersimpan dalam ingatan saya ketika saya dan teman-teman dibuat bingung dengan rute angkot yang ada di kota ini, diincar preman saat sedang menunggu angkot arah Cihideung, nekat ngeteng ke Cibodas naik kol setan—sebutan mobil L300 yang digunakan untuk angkutan umum rute Bogor–Cianjur dan Bogor–Sukabumi, kucing-kucingan dengan polisi demi menghindar razia—karena saat itu kami belum memiliki SIM, terjebak hingga larut malam di Curug Cilember, hingga ingatan tentang masa kecil saya ketika seringkali diajak Ibu mengunjungi Taman Topi sepulang sekolah di hari Sabtu.

Saya yang orangnya sedikit random tiba-tiba saja langsung berpikir;

"Apa gua ke Bogor aja, ya? Mumpung pagi ini free nggak ada kuliah."

Benar saja, jiwa impulsif saya tiba-tiba menggerakkan kaki ini melangkah menuju Kota Hujan—tak sendiri, bersama kenangan masa sekolah tentunya.

Let's go!


Stasiun Bogor

Langit biru dengan gumpalan awan putih menyambut kedatangan saya di Stasiun Bogor. Tidak ada perubahan signifikan yang saya rasakan di stasiun ini. Masih tanpa atap dan terbuka di hampir seluruh peron, kecuali peron jalur 1 dan 2 yang memiliki atap kanopi peninggalan kolonial. 

Pagi itu Gunung Salak yang puncaknya tertutup awan seakan-akan malu menampakkan wujudnya. Ya, Gunung Salak sejak dulu memang menjadi ikon untuk menyambut penumpang yang baru saja turun di Stasiun Bogor. Jika beruntung, puncaknya terlihat jelas dari stasiun ini, bahkan punggungan gunung dan pepohonan di lerengnya dapat terlihat secara detail.

Stasiun Bogor dan Gunung Salak di kejauhan.


Alun-alun Kota Bogor

Saya keluar melalui pintu timur yang baru saja dibuka kembali beberapa waktu lalu. Jika dulu ketika keluar pintu timur kami disambut dengan hiruk pikuk angkutan umum, gelandangan, dan kumuhnya pedagang kaki lima, saat ini kondisinya sudah berubah 180 derajat. Tanah lapang yang luas dengan beberapa pepohonan besar dan bunga-bunga cantik di pinggirnya menyambut saya ketika keluar pintu timur. Lokasi yang dulunya adalah Taman Topi saat ini telah dirombak ulang menjadi Alun-alun Kota Bogor.

Tak hanya sebatas ruang terbuka, Alun-alun Kota Bogor juga memiliki nilai historis dan estetika yang tinggi. Selain karena bersebelahan dengan bangunan cagar budaya—Stasiun Bogor, indahnya Gunung Salak juga terlihat jelas dari tempat ini.

Alun-alun Kota Bogor dengan latar belakang Gunung Salak.

Bangunan Stasiun Bogor yang bersebelahan dengan Alun-alun Kota Bogor.


Trans Pakuan, Angkutan Masa Kini di Kota Hujan

Berjalan ke arah Jl. Kapten Muslihat—tempat di mana dulu kami hanya duduk berdiam diri sambil melihat lalu-lalang kendaraan, tak sengaja saya melihat beberapa bus berwarna abu-abu melintas. Bus yang ternyata bernama Trans Pakuan ini merupakan layanan bus kota yang melayani beberapa rute di Kota Bogor. Hingga tulisan ini dibuat, Trans Pakuan melayani beberapa rute, seperti:

  • K1 (Bubulak–Cidangiang)
  • K2 (Bubulak–Ciawi)
  • K5 (Stasiun Bogor–Ciparigi)
  • K6 (Parung Banteng–Air Mancur)

Dengan cuma-cuma, alias gratis, saya tidak mau melewatkan kesempatan untuk mencoba menaiki layanan Trans Pakuan. Bus berukuran 3/4 ini memiliki fasilitas yang cukup memadai, seperti pendingin ruangan, kursi busa yang empuk, cctv, dan pintu otomatis. Penumpang bus ini hanya diperkenankan naik dan turun di halte atau bus stop yang tersedia. Selain itu, penumpang harus tetap melakukan tap-in di dalam bus menggunakan uang non-cash, seperti kartu e-money atau kartu bank lainnya—walaupun tarifnya gratis.

Bus Trans Pakuan yang mengaspal di Kota Bogor.

Tugu Kujang dan Angkutan Lawas yang Melintas

Hampir 1 jam mengelilingi beberapa rute Trans Pakuan, akhirnya saya tiba di Halte Cidangiang yang tak jauh dari Terminal Baranangsiang. Deretan mobil L300 yang terparkir tak jauh dari Halte Cidangiang mengingatkan saya ketika kami menghabiskan sisa masa putih abu-abu dengan berlibur ke Cibodas.

Angkutan L300 rute Bogor–Sukabumi dan Bogor–Cianjur.


Dari Cidangiang saya berjalan ke arah Tugu Kujang yang letaknya sekitar 200 meter ke arah utara. Beberapa saat saya berdiam diri, kagum melihat kemegahan monumen yang menjadi landmark Kota Bogor, juga mengingat kembali kala itu kami pulang larut malam dari arah Puncak melewati monumen ini.

Tugu Kujang.


Terus berjalan ke timur ke arah Otista, saya melihat ada beberapa angkutan lawas yang melintas. Beberapa di antaranya adalah Bus Pusaka jurusan Parung, Bus Miniarta jurusan Kampung Rambutan, dan Bus Rudi jurusan Rangkasbitung. Di tengah gempuran kendaraan pribadi dan angkutan modern, bus-bus lawas ini tetap beroperasi, walau tentu peminatnya tak sebanyak dulu.

Bus-bus lawas yang masih beroperasi.


Jalan Surya Kencana

Selepas dari Tugu Kujang, niat saya awalnya langsung kembali ke Stasiun Bogor menggunakan Trans Pakuan. Namun, karena Trans Pakuan yang saya naiki melewati Lawang Surya Kencana, akhirnya saya memutuskan untuk melipir sebentar.

Lawang Surya Kencana sendiri merupakan gapura besar berwarna merah yang menjadi gerbang masuk Jalan Surya Kencana—sebuah jalan yang menjadi pusat kuliner, perdagangan, dan kebudayaan Tionghoa di Kota Bogor.

Awal memasuki jalan ini, terlihat lalu-lalang Ibu-ibu dari Pasar Bogor—terletak di sisi timur Jalan Surya Kencana—dengan barang belanjaan yang cukup banyak, deretan angkot yang ngetem di pinggir jalan, juga hiruk-pikuk pedagang kaki lima yang menawarkan barang dagangannya. Terdengar pula obrolan bahasa Sunda di antara mereka yang sedang melakukan bongkar muat untuk kebutuhan toko kelontong.

Terus berjalan menyusuri jalur pedestrian, terdapat toko-toko di kiri dan kanan jalan yang menjual kuliner khas seperti laksa, toge goreng, lumpia basah, soto kuning, mie ayam, dan beberapa chinese food. Terdapat pula beberapa tempat ibadah umat Konghucu yang dihiasi ornamen dan lampion khas Tionghoa.

Jalur pedestrian di Jalan Surya Kencana.

Salah satu toko di Jalan Surya Kencana.


Lantunan tembang kenangan yang dinyanyikan salah satu musisi jalanan menutup perjalanan saya siang itu di Kota Bogor. Saya kembali ke stasiun untuk melanjutkan perjalanan pulang sambil berharap semoga bisa kembali mengunjungi kota ini suatu saat nanti.

Pelantun tembang kenangan di Jalan Surya Kencana.




Posting Komentar

0 Komentar