Bogor, November 2020
"Dulu Pakde waktu masih kuliah di Jogja sering banget jadi pemandu wisata. Pakde paling seneng kalo dapet wisatawan dari Jepang sama Belanda, orangnya baik dan nggak perhitungan. Wisata andalan Jogja dari dulu, ya Malioboro, Parangtritis, sama Kaliurang. Pokoknya asyik, Mas."
Pakde Yudi (selanjutnya disebut Pakde) yang merupakan kakak ipar tertua dari Ibu asyik bercerita mengenang masa mudanya. Acara kumpul keluarga malam ini lebih banyak dihabiskan dengan bertukar cerita nostalgia. Terlebih Pakde yang memiliki banyak cerita sewaktu masih kuliah.
"Kamu masih inget nggak, Mas? Waktu kita jalan-jalan ke Jogja sama Wonosobo pake mobil Carry? Waktu ponakan Pakde masih pada kecil-kecil."
Jleb, Entah kenapa pertanyaan Pakde mengingatkanku pada masa-masa itu. Tiga belas tahun yang lalu, tepatnya tahun 2007. Ketika aku berumur tujuh tahun. Ketika kehidupan berjalan dengan penuh keceriaan seperti anak kecil pada umumnya.
Jawa Tengah - Yogyakarta, 2007
Seorang pria paruh baya terlihat mengayuh sepeda sambil membawa kayu bakar yang diikat di jok belakang. Kerumunan anak kecil yang baru saja selesai kegiatan keagamaan berjalan santai sambil menikmati semilir angin dari kendaraan yang lewat. Semburat merah keemasan mulai menghiasi langit. Cahayanya menembus sela-sela pepohonan.
Suzuki Carry 1,3 milik Pakde berjalan santai menembus rindangnya pepohonan. Gapura perbatasan antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah menyambut datangnya malam. Mobil hijau keluaran tahun 1992 itu mulai memasuki Kabupaten Cilacap. Bersiap menerabas rimba di tengah kegelapan. Berusaha melawan kantuk. Juga melawan takut akan kesunyian malam.
Kapasitas mobil yang seharusnya 7 orang, penuh sesak hingga 12 orang. Barisan depan diisi 3 orang. Barisan tengah diisi 4 orang. Barisan belakang diisi 5 orang. Maklum saja, mobil bekas yang baru dibeli Pakde terlihat mewah bagi keluarga besar Ibu yang terdiri dari tujuh bersaudara. Walau tak ber-AC dan tak secanggih mobil lainnya, namun mobil ini berhasil membuat adik-adik dan seluruh keponakan Pakde dapat melihat dunia luar.
Sekian jam berlalu, kami mulai memasuki Kabupaten Wonosobo. Udara dingin masuk melalui celah jendela. Embun mulai menyelimuti kaca bagian dalam. Ujung jemariku dingin menyentuh kaca yang bagian luarnya diselimuti kabut. Kami yang sedari tadi terlelap—kecuali Pakde—mulai terbangun karena beberapa keresahan. Atmosfer yang berbeda dengan Ibu Kota membuat kami terjaga.
Hampir tengah malam, akhirnya kami tiba di kediaman salah satu keluarga kami di daerah Wonosobo. Teh panas dengan beberapa kudapan malam menyambut kedatangan kami. Tuan rumah juga menyiapkan makan malam berupa ikan bakar hasil tangkapan dari kolam belakang. Tak banyak kejadian yang kuingat malam itu, namun malam itu selalu kuingat sebagai malam pertama aku pergi melihat dunia luar selain Jakarta.
Keesokan paginya, aku dan sepupuku diajak Bude—istri Pakde—mengelilingi desa untuk menikmati pemandangan. Menyusuri pematang sawah dengan latar belakang Gunung Sindoro. Menapaki jalan makadam yang merupakan satu-satunya jalan dari dan menuju desa.
Selanjutnya kami menuju pusat kota untuk berburu kuliner khas Wonosobo—Mie Ongklok. Menjelang sore, Pakde mengajak kami berenang di salah satu kolam renang yang tak jauh dari pusat kota. Udara yang dingin ditambah dengan air kolam layaknya es membuat aku dan sepupu-sepupuku kegirangan. Sungguh, sekali lagi harus kubilang bahwa hari itu selalu kuingat sebagai hari pertama aku melihat dunia luar selain Jakarta.
Langit perlahan mulai gelap, sang mentari sedari tadi tak terlihat, tertutup kabut tipis yang lama-kelamaan menebal. Kami bergegas meninggalkan Wonosobo untuk melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta. Menyusuri jalan lintas kota yang semakin malam semakin jauh dari kehidupan.
"Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu..."
"Terhanyut aku akan nostalgia, saat kita sering luangkan waktu, nikmati bersama suasana Jogja..."
Lagu Kla Project yang diputar di radio mobil menemani kedatangan kami di Yogyakarta sekitar pukul delapan malam. Menelusuri gemerlap malam yang basah. Melintasi tembok-tembok yang dihiasi lukisan mural dan grafiti yang bertuliskan "Mengenang satu tahun gempa Jogja 2006." Merasakan tiap sudut kota yang bersahaja, juga kehangatan yang senantiasa melekat.
Jalan Malioboro menjadi tujuan awal kami pada waktu itu. Hiruk pikuk musisi jalanan berbaur dengan wisatawan. Pedagang kaki lima yang sibuk menjajakan sajian khas. Asap putih yang membumbung tinggi dari para pedagang sate. Juga lalu lalang kendaraan yang tak ada habisnya.
Keesokan harinya, kami bergegas menuju Gunungkidul—daerah di selatan Yogyakarta—yang merupakan tanah kelahiran keluarga besar kami. Kakekku dari garis keturunan Ibu yang telah lama merantau di Jakarta sangat bahagia bisa kembali pulang ke daerah asalnya. Kembali berkumpul bersama keluarganya. Bersua dengan teman lamanya setelah sekian purnama tak bertemu. Dan saat itu aku menjadi saksi betapa bahagianya kakekku ketika duduk bersama adik dan kakak kandungnya yang usianya sama-sama telah senja. Saling bercengkrama satu sama lain. Saling berbagi tawa walau usia tak lagi muda.
Aku dan sepupu-sepupuku lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Ikut memberi makan hewan ternak. Membuat perapian untuk membakar jagung. Mencari kayu bakar di kebun. Main air di aliran irigasi. Berjalan ke sana ke mari menelusuri jalanan desa. Hingga diajak Pakde mengunjungi Pantai Baron yang letaknya cukup jauh. Sungguh, sebuah pengalaman tak terlupa bagi diriku yang saat itu masih berusia tujuh tahun.
Setelah beberapa hari, kami bersiap kembali ke Jakarta. Bersiap kembali ke kehidupan yang normal. Aku yang kembali bermain bersama teman-temanku. Kembali bermalas-malasan ketika belajar matematika. Kembali mengganggu Ibuku yang sedang mengajar di sekolah. Kembali menjadi seorang anak tujuh tahun yang manja.
Dan yang kutahu pasti, hari itu merupakan hari terakhir Kakekku bertemu langsung dengan adik dan kakak kandungnya, sebelum pada akhirnya Kakekku wafat beberapa tahun kemudian.
0 Komentar